Bagian 19

102 14 1
                                    

Hari ini adalah hari pertamaku resmi bekerja sebagai asisten pribadi Sagara, tadi pagi kami sudah sarapan jadi untuk brunch hari ini kupilih membuat makanan pendamping saja.

"Qai?" Aku menoleh sembari mengeringkan tangan dengan tisu "ya pak? Ada masalah?" Erik sekretaris Sagara nampak menatap piring di hadapannya dengan tatapan bingung.

"Ini untuk pak Saga?" Aku berjalan mendekat ke arah kitchen island "iya, ada yang salah? Ubi rebus sama edamame bagus loh pak buat kesehatan,"

"Ya tahu, tapi ini untuk pak Saga loh Qai, bukan pegawai seperti kita," aku mendengus "kita sama-sama manusia pak, nggak usah membeda-bedakan, kalau bapak nggak mau anterin biar saya yang anterin sendiri," segera kuangkat piring itu dan berjalan keluar dari pantry.

"Qai nampannya ketinggalan," terdengar suara Erik mengingatkan membuatku menoleh "susah kalau bawa nampan saya nggak bisa buka pintunya,"

Keluar dari pantry aku segera menuju ruang kerja Gara, tanpa mengetuk aku langsung membuka pintu besar di hadapanku ini.

Aku yang melangkah masuk tanpa permisi disambut dengan tatapan Gara yang sepertinya langsung mengalihkan fokusnya dari berkas ke arah pintu.

"Erik mana?"

"Dia takut kamu marahin kalau bawain ini," kuletakkan piring yang kubawa dengan sedikit kasar membuat Gara mengernyit "sini," Gara menarik mundur kursi tempatnya duduk dan menepuk pahanya.

"Nggak mau, kamu nyebelin," seruku "Nafisya," dengan cemberut dan langkah kaki menghentak-hentak aku berjalan memutari mejanya hingga berdiri tepat di sampingnya dengan gerakan cepat dia menarik tanganku hingga aku limbung dan jatuh terduduk di atas pangkuannya.

"Masih marah?" Aku mendengus dan memalingkan wajah enggan menatap wajah tampannya.

"Aku tuh cuma mau pulang Bii, hidup mandiri, pergi kerja sendiri, nggak kayak gini, kamu nggak lihat apa sampai resepsionis aja bisik-bisik tadi lihat kamu bukain pintu mobil buat aku,"

Tangannya terulur menyentuh pipiku dan memalingkan wajahku agar menatapnya "kalau aku biarkan kamu sendirian kapan kamu bisa berhenti minum obatnya Sya?"

"Kalau kamu kekang aku terus gimana aku bisa sembuh Bii? Pikiranku makin kacau, aku cuma mau hidup tenang udah itu aja,"

Aku melakukan pemeriksaan lagi setelah mengamuk tempo hari, karena berhari-hari setelahnya aku mengalami perubahan emosi yang buruk dan mengalami insomnia.

menurut dokter Sandra aku mengalami gejala depresi ringan dan akhirnya beliau memberikanku obat agar aku bisa tidur di malam hari.

Pernah satu kali aku tidak meminumnya hingga semalaman aku tidak bisa tidur sementara pikiranku berkeliaran kemana-mana lalu di pagi harinya aku menangis hingga meraung-raung merasakan perasaan sedih, kecewa dan marah yang bercampur menjadi satu hingga aku merasa sesak yang tak tertahankan.

Setelah kejadian itu Gara setiap hari akan memastikan aku minum obat dan menemaniku hingga terlelap.

"Nggak ada jaminan kamu akan membaik kalau kamu tinggal sendiri di apartemen dan aku nggak mau ambil resiko apapun,"

Aku cemberut dan menunduk mendengar ucapannya yang tidak terbantahkan "Sya, lihat aku," jemarinya menyentuh daguku kemudian mengangkatnya pelan agar aku menatapnya kembali.

"Aku akan pecat resepsionisnya agar kamu bisa lebih leluasa," aku terperangah dengan ucapannya "gila kamu Bi, mana bisa kamu pecat orang gitu aja,"

"Bisa Sya, siapapun yang berbicara buruk tentang kamu harus siap menerima konsekuensinya dan kamu tau aku nggak pernah main-main dengan ucapanku,"

Finding The HappinessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang