Bagian 30

89 10 0
                                    


Aku bangun terburu-buru ketika melihat jam digital sudah menunjukkan pukul sepuluh pagi, sepertinya tidurku sangat nyenyak hingga tak bangun ketika alarm yang sudah kusetel sebelum tidur semalam berbunyi pagi ini.

"Bii?" aku bergumam ketika mendapati Gara sedang sibuk di dapur "pagi," sapanya sambil menaruh telur di atas piring, "kamu bikin sarapan?" aku menatap tidak percaya dengan apa vang kulihat saat ini.

Seorang Sagara Bimasena memasak? Jika ada di penthouse dia sibuk meminta menu ini dan itu kepada juru masak kini dia sibuk memasak seorang diri "aku mau delivery order tapi aku ingat semalam sebelum tidur kamu bilang mau makan mi instan, jadi tadi pagi aku keluar untuk beli."

"maunya indomie Bii bukan mi sini," Gara "iya, kamu duduk sebentar, airnya baru mendidih," Gara mengambil mi instan dari tas belanja dan segera membuka bungkusnya "aku cuci muka sebentar deh."

Dengan langkah cepat aku kembali ke kamar untuk mengambil ikat rambut kemudian masuk ke dalam kamar mandi, kupilih untuk menyikat gigi terlebih dahulu baru mencuci muka. Setelah mengeringkan wajah aku segera kembali ke dapur dan rupanya Gara sudah menyeleaikan masakannya.

"kamu nggak makan? Di atas meja bar hanya ada sipiring mi dengan telur mata sapi "tadi sewaktu beli mi, aku beli hotdog, jadi sekarang masih kenyang, makan gih, atau mau disuapin?"

"boleh, tapi sambil nonton tivi ya?" Gara mengangguk kemudian mengangkat priring itu sedangkan aku mengambil gelas dan menuangkan air ke dalamnya kemudian kami berjalan beriringan menuju ruang keluarga.

"Tumben bukan Dylan Wang?" Tanyanya ketika aku memilih menonton drama Korea "kemaren nggak sengaja ngeliat spoiler di media sosial jadi sekarang mau lihat,"

"Udah move on dari Dylan Wang? Kamu kan ganti cowok setiap ganti drama," cibirnya.

"Belum sih, tadi pagi liat foto Dylan Wang masih histeris hahahahaha," Gara mengulum senyum sambil terus menyuapiku.

"Kalau kamu bahagia, aku juga bahagia,"

"Kalau gitu kapan-kapan kamu harus temenin aku nonton konser ya?"

"Jangankan nonton konser, aku akan bawa artis favorit kamu kalau kamu mau,"

"Aku tuh suka aja liat mereka, kalau nonton konser serasa tertular bahagianya orang lain, cuma kalo ketemu secara pribadi aku nggak suka, tau kan Bii semacam larut dalam haru bersama fansgirl mereka, mencari kebahagiaan diantara kebahagian orang lain,"

Gara menghela napas, dia tau apa yang kulakukan menunjukkan gejala depresi ringan "yang penting kamu bahagia,"

******

"Qailula," aku yang baru saja hendak keluar dari lobi menghentikan langkah dan menoleh ke belakang, kulihat seorang gadis berlari kecil ke arahku.

Siapa gadis ini? Kenapa dia bisa tahu namaku? Tiba-tiba para bodyguard langsung mengambil tempat di hadapanku menghadang gadis itu.

"Kamu benar Qailula kan? Saya harus bicara sesuatu yang penting sama kamu,"

"Apakah nona mengenalnya?" Aku menggeleng "maaf, nona kami dilarang berbicara dengan orang asing, silahkan pergi dari sini," ujar salah satu bodyguardku kepada gadis itu.

"Tapi saya harus berbicara dengannya, ini penting sekali," pinta gadis itu.

"Silahkan katakan di sini, karena para bodyguard tidak akan membiarkan saya berbicara empat mata dengan kamu,"

"Baiklah, tunggu sebentar," dia merogoh handbag yang dijinjingnya kemudian mengeluarkan sebuah ponsel.

Lalu dia menghadapkan ponselnya ke arahku dan juga terlihat oleh semua bodyguard.

Aku mematung melihat video yang diputar itu, namun para pengawal tidak menunjukkan reaksi apa-apa seolah-olah yang diperlihatkan gadis itu hanyalah sebuah video biasa.

"Sebaik apapun Erik kepada kamu, dia adalah milikku, jadi jauhi dia," lidahku kelu, aku benar-benar tidak tahu harus mengatakan apa.

"Oke, itu saja yang ingin kuperlihatkan, silahkan pikirkan kembali sebelum terjerumus rayuannya, karena bagi dia yang lainnya hanyalah budak seks baginya dan hanya aku yang diinginkan olehnya, baik itu hati ataupun tubuhku,"

Dia berlalu begitu saja sedangkan aku masih mematung mencoba mencerna apa yang sudah ia perlihatkan dan juga ucapannya kepadaku.

"Nona?" Aku mengerjap ketika salah satu bodyguard memanggilku "kembali ke atas," ucapku kemudian berjalan ke arah lift dengan diiringi oleh mereka.

Setibanya di apartemen kulepas ankle boots yang kupakai secara sembarangan kemudian segera menuju ke kamar.

Kucampakkan sling bag dan mantel yang kugunakan di atas sofa lalu bergelung di atas ranjang dengan selimut menutupi seluruh tubuhku.

Aku benar-benar merasa syok, dua puluh lima tahun hidupku baru kali ini aku melihat video porno, dan itu membuat seluruh tubuhku merinding.

Mungkin wajahku saat ini sudah berubah memerah seperti tomat, astaga bukan aku yang ada di video itu tapi kenapa aku yang merasa malu sekali?

Sedangkan gadis itu menunjukkannya tanpa rasa malu sedikitpun, apakah urat malunya sudah putus? Bahkan dia menunjukkannya bukan hanya kepadaku tapi kepada para bodyguard juga.

Membicarakan sola bodyguard, sekarang mereka pasti sudah melapor kepada Gara, lalu ketika Gara pulang dan bertanya kepadaku aku harus menjawab seperti apa? Apakah aku harus menjelaskan detail videonya? Tidak, tidak mungkin, bagaimana aku bisa merangkai kata-kata untuk menggambarkan adegan di video tadi?

Malam harinya ketika Gara pulang aku masih bergelung di bawah selimut "Sya? Nafisya?" Aku menahan selimut agar Gara tidak menyibaknya.

"Kamu kenapa? Perempuan tadi sakitin kamu?" Kenapa pertanyaannya selalu berujung apakah aku disakiti oleh orang lain? Dia benar-benar tidak bisa melihatku terluka sedikitpun.

"Bukan ihhhh, aku maluuuuu, udah kamu keluar, jangan di kamar, aku nggak tau harus ngomong apa," aku berucap sambil mengeratkan peganganku di selimut.

"Dia bikin kamu malu di depan banyak orang?" Kenapa laki-laki ini tidak mengerti juga sih? Akhirnya kusibak selimutku dan kutatap dia dengan tatapan marah.

"Bukan ihhh, aku malu aja Biii, masa aku nonton video porno di lobi, mana suara desahannya keras lagi, haduuuh mau ditaruh dimana mukaku di depan para bodyguard kamu?" aku mulai merengek.

"Kenapa harus malu? Bukan kamu kan yang ada di video itu?"

"Ya malu lah, badan telanjang dia diekspos begitu,"

"Seharusnya yang malu itu Erik, bukan kamu Nafisya,"

"Tetap aja maluuuuu," Gara menghela napas berat kemudian duduk di ranjang dan menarikku ke dalam dekapannya.

"Udah ya, dilupain aja, nanti aku kasih ultimatum sama Erik,"

Kulepas pelukannya dan kutatap Gara dengan kesal "bilang ke Erik aku nggak mau ketemu lagi sama peliharannya itu, aku nggak suka sama perempuan yang suka buka aib kayak dia, bikin malu nama perempuan aja,"

"Iya, nanti aku bilangin sama dia, sini," Gara kembali mendekapku dan aku juga balas mendekapnya, kami saling memeluk hingga akhirnya Gara bersuara lagi.

"Besok aku harus pulang, lusa ada RUPS, kamu mau stay disini?"

"Sendirian?"

"Satu hari aja, lusa, setelah RUPS aku balik kesini lagi,"

"Kerjaan kamu yang lainnya bisa ditinggal?"

"Kerja bisa dari mana saja Sya, itu hal yang mudah untukku, yang terpenting kamu, kamu mau kan stay di sini?"

"Kamu mau aku stay disini?"

"Iya, kamu lebih hidup di sini, bahkan sudah bisa lepas obat sebelum tidur malam. Lusa, saat kembali aku akan bawa dokter Sandra untuk periksa keadaan kamu, jadi kamu mau ya tinggal di sini lebih lama?"

"Tapi kamu harus janji nggak akan nemuin aku sama Erik sampai aku bisa lupain kejadian tadi,"

"Janji, atau kamu mau aku pecat Erik sekalian?"

"Biii, udah dibilangin jangan main pecat orang sembarangan, masih aja arogannya nggak hilang-hilang,"

Finding The HappinessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang