Bagian 28

96 14 0
                                    

Kuamati rintik hujan yang kian lama kian deras mendera ibu kota. Langit terlihat begitu suram di siang hari seperti ini, semoga saja pertemuan Gara dan papanya bisa berjalan dengan baik, lagi pula Gara sudah berjanji akan berbaikan dengan papanya jadi aku tidak perlu mengkhawatirkan apapun.

Kini waktunya aku memikirkan diriku sendiri, kemarin aku melakukan terapi konseling dan kesimpulan yang di dapatkan selama terapi berlangsung adalah 'aku sedang berlari' aku mencoba menghindari sesuatu yang menyakitiku.

Sehingga aku memberikan seluruh fokusku terhadap hal-hal yang lain, bahkan masalah orang lain.

Hal itulah yang menyebabkan kondisi psikologisku semakin tertekan karena terlalu banyak yang kupikirkan. Menurut dokter Sandra pada dasarnya inti masalahku adalah cinta yang tak berbalas.

Semakin aku denial semakin terguncang pula kondisi mentalku, sampai dokter Sandra menyarankanku untuk melakukan hipnoterapi agar kondisi mentalku tidak semakin memburuk.

Namun aku tidak semerta merta mengiyakannya, aku mengatakan akan memikirkannya lebih dulu, karena aku ingin memahami diriku sendiri.

Jika harus mengingat semua kenangan dan melepaskannya satu persatu jujur aku belum siap. Karena pada dasarnya aku hanya ingin melupakan tanpa mengingatnya lagi.

"Ngelamunin apa?" Aku tersentak, langit nampak gelap seperti malam, lalu lampu kamar sudah dinyalakan hingga aku bisa melihat sosok Gara di kaca besar.

Tangannya sedang sibuk melepaskan kancing lengan bajunya kemudian dia berjalan menghampiriku yang masih belum beranjak dari depan kaca besar.

"Kalau aku bilang aku nggak tau, kamu khawatir nggak?" Kurasakan lengan Gara mengurung tubuhku dengan posesif dari belakang.

"It's okay, itu wajar mengingat kondisi kamu yang sekarang," kusentuh lengan Gara yang melingkar di perutku "gimana tadi?"

"Nggak gimana-gimana, biasa aja," wajah Gara nampak datar, tidak terlihat raut menahan marah ataupun kesal, wajahnya benar-benar datar.

"Kata tante Em, om Esa mau kasih kamu perusahaan,"

"Ya, tapi kutolak, aku sudah punya GG Group, aku nggak butuh rumah sakit kecil mereka," kutepuk lengannya merasa ucapan Gara yang cukup melecehkan.

"Itu rumah sakit besar loh Bii, punya beberapa cabang lagi, kalau aku yang dikasih mana mungkin aku tolak,"

"Kamu mau?"

"Kalau ada yang ngasih ya mau lah, sayangnya keluargaku paling besar warisannya juga sawah, bukan perusahaan kayak kamu,"

"Nikah sama aku Sya, setelah itu kamu akan punya warisan perusahaan,"

"Ehh ngomongin perusahan, kontrak kerjaku sudah habis loh dari dua minggu yang lalu," aku sengaja mengalihkan pembicaraan.

"Lalu?" Aku berdecak mendengar responnya "ya seharusnya aku udah bukan asisten kamu lagi, tadi aku cari-cari lowongan kerja terus keinget, emang ada perusahaan yang mau mempekerjakan orang sakit mental kayak aku begini?"

"Aku mau, besok Erik akan bawa kontraknya, kamu bisa kerja selama kamu mau,"

"Nanti kalau aku udah sembuh aku boleh cari pekerjaan lain?"

"Boleh, senyamannya kamu dan aku akan turuti semuanya," kuhela napas berat "tapi aku kapan sembuhnya? Kalau kata dokter Sandra depresiku ini udah masuk ke fase depresi sedang ya? Pantes sih, aku belum kepikiran mau mati aja soalnya,"

Tubuh Gara mendadak menegang kemudian pelukannya mengerat "aku tidak akan membiarkan kamu sampai di fase ingin mengakhiri hidup kamu sendiri,"

Aku mengulum senyum dan kuusap lembut punggung tangannya sembari bersuara dengan pelan.
"Thank you for being my hero,"

*****

Keesokan paginya setelah selesai membereskan meja makan Erik datang dan menyodorkanku selembar kertas "tanda tangan di sini Qai,"

Tanpa membaca aku segera membubuhkan tanda tangan di atas kertas itu, setelah selesai Erik kemudian menyerahkan selembar kertas lagi kepadaku.

"kamu baca peraturan nomor sebelas, di sini tertera kontak kerja kamu sampai batas waktu yang tidak ditentukan, jadi kamu nggak perlu tanda tangan kontrak lagi,"

"Loh sejak kapan ada peraturan begitu? Seingat saya peraturannya cuma ada sepuluh,"

Aku membacanya dengan teliti sebelum menandatangani kontraknya dan aku ingat dengan betul kalau aku tidak pernah mendapati peraturan nomor sebelas.

"Itu peraturan revisi ketika pak Saga baru kembali dari Jepang, karena tanda tangan kamu di lembar yang berbeda saya hanya merevisi tambahan dari pak Saga tanpa memberitahu kamu,"

"Kalian berdua sengaja?" Aku berkacak pinggang dan menatap jengkel Erik "komplain bisa dilakukan ke pak Saga karena beliau yang mengajukan revisi,"

"Terus saya tadi tanda tangan apa? Kalian mau nipu saya apa lagi?"

"Itu tadi surat alih saham SW Hospital dari pak Esa ke kamu sebesar empat puluh persen," mataku membulat mendengarnya.

"Ha? Apa? Saham SW Hospital? Ulah Bii lagi?" Aku mendadak histeris, tanpa menunggu jawaban Erik aku buru-buru keluar dari pantry dan masuk ke ruangan Gara.

"Biiiii," aku berseru kemudian menghampirinya, kepalanya langsung tegak dan menatapku penuh tanya "kamu apa-apaan siih? Kamu beneran udah nggak waras ya?"

"Kenapa marah-marah? Sini," aku berjalan sambil menghentak-hentakkan kaki ke arahnya, dengan gerakan pelan dia mendorong mundur kursi yang dudukinya kemudian menarikku untuk duduk di pangkuannya.

"Pikiran kamu ketinggalan dimana sih? Bisa-bisanya kamu alihkan saham SW Hospital ke aku, "

"Bukannya kamu sendiri yang kemarin bilang mau dapat warisan perusahaan?" Kepalaku berkedut-kedut sekarang.

"Bukan perusahaan papa kamu juga Bii, kalau istri sama anaknya gak terima gimana? Kamu mau aku di permalukan di depan umum lagi kayak kasus Anne kemarin?"

Sorot mata Gara menajam, tatapan menahan senyumnya hilang seketika "akan kupastikan dia tidak berdaya untuk sekedar berhadapan dengan kamu, lagi pula setelah ini perempuan itu bukan bagian dari keluarga Wisesa lagi,"

Sepertinya aku melewatkan sesuatu, mengingat kebencian Gara, tidak akan semudah itu dia berbaikan dengan papanya walaupun aku yang meminta.

"Kamu kasih syarat apa?" Aku bertanya dengan suara lirih, mendadak takut dengan sifat arogan pria di hadapanku ini.

"Kubilang padanya aku mau mengambil alih SW Hospital dengan dua syarat, syarat yang pertama dia harus menceraikan istrinya lalu syarat yang kedua seluruh saham yang akan diberikan kepadaku harus dipindah tangankan ke kamu dan aku hanya mengelolanya saja, kupikir dia akan berpikir lama, namun pagi ini kuasa hukumnya datang dan menyerahkan surat perjanjian beserta surat alih kuasa saham SW Hospital,"

Aku terbelalak mendengar syarat yang diajukan oleh Gara, dia bahkan membuat papanya menceraikan istrinya, sudah kuduga tidak semudah itu membuat Gara memaafkan papanya.

"Jadi kamu baikan sama om Esa bukan karena aku?" Gara menggeleng "tentu karena kamu, karena kalau bukan kamu yang meminta mana mungkin aku sudi melihat wajah pria yang sudah menyakiti mama dan juga menelantarkanku,"

Wajah Gara nampak menahan amarah.

"Kamu tau Sya? Dia bahkan berhenti menafkahiku karena istrinya tidak terima jika dia masih mengirimkan uang untukku, dia begitu mencintai istrinya, tapi sayangnya dikala dia sibuk membesarkan SW Hospital istrinya malah berselingkuh dan dengan tidak tahu malunya mengatakan jika anak yang dihasilkan dari perselingkuhan itu adalah darah daging Sagara Wisesa, bukankah sungguh lucu dia menelantarkan kami hanya untuk disakiti perempuan itu,"

Finding The HappinessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang