Bagian 21

116 12 0
                                    

"Kamu dirawat disini dulu ya?" Keningku berkerut mendengar ucapan Gara "loh kenapa? Hasil rontgennya kan bagus, cuma terkilir aja kakinya,"

"Yakin mau pulang?," sorot matanya masih nampak khawatir padahal dokter sudah mengatakan jika pergelangan kakiku hanya terkilir saja.

"Aku nggak nyaman disini Bii, nggak suka, aku takut," dia menghela napas "ada aku disini jadi nggak ada yang perlu kamu takutkan Sya,"

Kugelengkan kepalaku pelan "nggak mau, mau pulang aja, please," aku mencoba memohon kepadanya.

"Atau kamu mau ada perawat yang standby di apartemen?"

"Bii, kalau orang lain dengar, kamu pasti jadi bahan tertawaan mereka," dia mendengus "apa hubungannya?"

Bagi dia segala sesuatu tentangku adalah hal yang mutlak jadi dia akan melakukan segalanya yang menurut dia terbaik untukku padahal kalau dilihat orang awam perhatiannya cenderung ke arah berlebihan atau bisa disebut overprotektif.

"Mau disini ya?" Bujuknya sekali lagi "pulang Bii, pulang ke apartemen atau kamu mau aku pulang ke apartemenku sendiri?"

"Oke kita pulang sekarang," putusnya setelah mendengar ancamanku.

Lengan kokohnya merengkuh tubuh mungilku membawaku kembali ke dalam rengkuhannya.

"Sakit nggak kakinya kalau menggantung begini?" Aku melirik kakiku dan kucoba untuk bergerak perlahan, rasa nyeri langsung menyambutku membuatku meringis.

"Kenapa Sya? Sakit lagi kakinya?" Dia menghentikan langkah, wajahnya nampak khawatir "nyeri aja, di rumah nanti tinggal minum obat biar nggak terlalu sakit,"

"Yakin tetap mau pulang?" Aku mengangguk "eum, udah buruan jalannya aku mau rebahan di kasur,"

Butuh waktu yang cukup lama untuk sampai kembali ke apartemen karena masih jam sibuk di ibu kota, kemacetan mengepung dimana-mana.

Sudah tiga puluh menit namun mobil yang kami tumpangi hanya berpindah tak lebih dari tiga ratus meter membuat Gara akhirnya menyiapkan helikopter untuk menjemput kami.

Dia melakukannya karena beberapa kali mendapatiku yang meringis menahan nyeri.

Sesampainya di apartemen bi Darsih terkejut melihat kakiku yang dibalut dengan perban.

"Non Qai kenapa?" Tanyanya khawatir "abis jatuh tadi bik," Gara membawaku ke kamar diikuti dengan bi Darsih di belakangnya.

"Tulangnya baik-baik aja kan non?" Tanya bi Darsih ketika Gara selesai membaringkanku di atas ranjang "baik kok bik, cuma terkilir aja,"

"Kalau cuma keselo apa mau bibik panggilkan tukang urut langganan bibik?" Tawar bik Darsih. "Bisa dipanggil ke rumah?"

"Bisa kok non, tempat tinggalnya juga masuk wilayah kota ini jadi nggak terlalu jauh,"

"Kalau diurut apa nggak makin sakit?" Sela Gara "justru harus diurut biar nggak bengkak keesokan harinya tuan, cuma non Qai bisa tahan sakit nggak?"

"Bisa kok, bibi buruan panggil orangnya kesini ya,"

Ternyata ucapanku salah, baru saja disentuh aku sudah merintih dan ketika mulai dipijat aku bahkan menjerit karena rasanya sakit sekali.

"Akhhh, aduh, ahh aduhduh, sakit Bii, sakiiit,"
"Pelan-pelan bu," ucap Gara yang nampak tidak tega melihatku menangis dan menjerit karena sakit "ya ampun den ini baru mbok pegang aja loh, belom diapa-apain,"

Hampir satu jam lamanya kakiku dipijat hingga suaraku terasa serak karena terlalu banyak menangis "nah, sudah selesai, besok dikompres pakai air hangat sambil mandi terus kalau jalan jangan jinjit harus ditapakin semua kakinya,"

Aku sudah tidak memiliki tenaga lagi untuk berbicara jadi aku hanya mengangguk saja.

Bik Darsih mengantarkan mbok tukang pijit keluar diikuti Erik yang baru saja datang dan terlihat mengeluarkan amplop berwarna putih.

"Mau mandi nggak?" Aku menggeleng lemah sambil menyamankan posisi rebahku, tenagaku sudah terkuras habis dan sekarang aku hanya ingin tidur dengan nyenyak.

"Sakit?" Aku mengangguk sambil mengubah posisi menjadi miring, kugenggam erat tangan Gara yang ada di atas kasur sedangkan tangan yang satunya menepuk punggungku dengan lembut.

"Tidur Sya, kutemani disini,"

Beberapa kali aku bergerak gelisah karena merasa tidak nyaman dengan kakiku "sakit?" Aku membuka mata dan menatap Gara yang juga menatapku dengan tatapan khawatir.

"Mau dikompres dengan es? Supaya rasa nyerinya reda?" Aku mengangguk membuat Gara secepat kilat keluar dari kamar, sepertinya sedang mengambil kompres untuk kakiku.

Tak butuh waktu lama dia kembali ke kamar dengan membawa gulungan matras olahraga dan sebuah baskom.

Setelah meletakkan barang yang dibawanya dengan perlahan dia mengangkat satu kakiku kemudian menyelipkan matras olahraga di bawah kakiku.

Dia sengaja mengalasi kakiku dengan matras agar air yang mengembun dari kompresan tidak mengenai kasur.

"Matrasnya bersih nggak Bii?" Tanyaku memastikan "bersih, aku ambil dari dalam lemari."

Gerakan tangannya begitu lembut, dari bagian betis dia mengusap kompresan yang berisi es batu perlahan turun ke bawah hingga menyentuh pergelangan kakiku yang tadinya masih nampak memerah namun kini terlihat sedikit membiru.

Berulang kali dia menggosoknya dengan lembut membuatku merasa nyaman akan sentuhannya hingga tak sadar aku terlelap dengan dia yang masih sibuk mengompres kakiku yang terkilir.

*****

Keesokan harinya aku terbangun dengan rasa nyeri yang tak kalah hebatnya dari semalam.

Aku bergerak gelisah sambil merintih, sialnya hanya ada aku di dalam kamar ini, hari sudah nampak terang sepertinya Gara sudah pergi ke kantor.

"Sya? Masih sakit kakinya?" Aku menoleh dan mendapati Gara melangkah masuk ke dalam kamar sambil membawa nampan berisi makanan.

"Nyeri Bii, sakit," aku mengadu dengan menahan tangis "kamu makan dulu, setelah itu minum obat baru mandi dan rendam kaki kamu,"

Gara meletakkan nampan di atas nakas kemudian membantuku untuk duduk, kucengkeram pundaknya ketika kakiku merasa tertarik dan rasanya cukup nyeri.

"Cari posisi yang nyaman Sya, biar nyerinya agak reda," dengan perlahan Gara membantuku menyamankan posisi kakiku yang terkilir, setelah memastikan aku merasa nyaman dia beralih mengambil sarapan untukku.

"Bubur ayam?"

"Eum, kamu biasa makan original seperti ini kan? Atau mau ditambah kuah?" Aku menggeleng "kamu tau kan aku kalo makan bubur ayam gimana?"

"Tanpa kuah, sambal ataupun kecap dan kamu tim bubur nggak diaduk," aku tersenyum lebar mendengar ucapannya yang tepat.

"Kamu masih ingat rupanya," dia tersenyum kecil sambil menyuapiku "aku nggak pernah lupa semua tentang kamu Sya,"

Ucapannya sontak membuatku tertegun "betapa besarnya cinta kamu untukku, sedangkan aku tidak bisa membalas apapun," aku menunduk enggan menatapnya.

"Perasaanku bukan tanggung jawabmu Sya, kalau perasaan milikku tidak terbalas itu urusanku, kamu nggak perlu khawatir atau merasa bersalah, karena mencintai orang lain adalah hak setiap manusia namun manusia tidak punya kewajiban untuk membalas semua perasaan orang lain dengan rasa yang sama,"

Gara meletakkan mangkuk kembali ke atas nampan kemudian kedua tangannya menyentuh wajahku dengan lembut hingga kunaikkan kepalaku dan kembali menatap wajahnya.

"Sama seperti kamu yang lebih memilih untuk menjauhi Alfian dari pada memaksanya untuk menerima rasa cinta yang kamu miliki, meski kamu tertatih-tatih untuk bangkit namun kamu masih sadar kalau kamu tidak bisa memaksakan apa yang bukan menjadi takdirmu, akupun sama, aku tidak meminta kamu membalas perasaanku, aku hanya meminta agar kamu tetap dalam jarak pandangku,"

Finding The HappinessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang