Aku mendesah bosan, sudah hampir dua jam menunggu tapi masih belum ada pemberitahuan jika penerbangan akan dibuka kembali.Kutegakkan tubuhku dan mulai mengamati keadaan sekitar, aku mendengus ketika mendapati beberapa gadis muda yang sedang asyik mencuri pandang ke arahku lebih tepatnya ke arah lelaki yang duduk di sebelahku dan sedang sibuk menekuri ponselnya itu.
Aku mulai memandang tidak suka ketika mereka mengeluarkan ponselnya dan aku yakin mereka sedang mengambil gambar atau mengambil video secara diam-diam.
Sebuah ide lalu terlintas di kepalaku, aku segera mengalihkan tatapan dari mereka.
Kutusuk-tusuk paha Gara menggunakan jari telunjukku hingga fokusnya teralih, dia menatapku seolah bertanya.
Ak tak berbicara melainkan menggunakan jari telunjukku memintanya mendekat ke arahku.
Tanpa banyak berkata dia segera mendekatkan kepalanya, dia mungkin berpikir aku akan membisikkan sesuatu.
Tapi tidak, yang kulakukan adalah mengecup pipinya, dia menjauhkan sedikit kepalanya menatapku penuh tanya namun aku hanya memiringkan kepala dan mengangkat bahu.
Dia tersenyum lalu memberikan kecupan manis di bibirku, jeritan histeris yang teredam terdengar jelas di telingaku dan sepertinya Gara juga menyadarinya.
"kemari, " dia menarikku untuk bersandar di dadanya dengan sebelah tangan melingkari tubuhku dan tangannya yang lain kembali sibuk dengan ponselnya, namun sesekali dia mengecup kepalaku.
"nanti kita pulang kemana?"
"kamu maunya pulang kemana?" dia balas bertanya "kamu bilangkan mulai besok WFH sampai banjir surut, kalau gitu pulang ke penthouse aja, aku susah masak kalau di apartemen,"
"oke, "
"tapi kita pulangnya gimana kalau Jakarta dikepung banjir begini?" pagi ini aku membaca berita yang sedang viral jika ibu kota sedang dikepung banjir kiriman dari daerah hulu.
"turun dari private jet kita pindah naik helikopter, ada beberapa jalan protokol yang masih bisa dilewati tapi lebih baik naik heli supaya kamu nggak terlalu lama di jalan,"
Selalu seperti ini, dia selalu mengutamakan kenyamananku, sepertinya prioritasnya adalah aku, aku, dan aku baru setelahnya urusan yang lain.
"Bii, makasih ya kamu selalu bikin aku bahagia, makasih juga udah bawa aku kesini, aku bahagia banget di sini,"
"kalau bahagia di sini kenapa mau pulang?" aku mendongak, rupanya dia juga menunduk hingga kami saling bertatap.
Aku mendapati diriku terus berlari, bersembunyi dari dunia, padahal aku hanya butuh seseorang yang mengerti diriku serta mendukungku.
Aku butuh support dari orang-orang terdekatku agar aku segera bangkit bukannya terus bersembunyi, merasakan kesakitan seorang diri.
Dan aku menyadari jika yang kubutuhkan adalah Sagara Bimasena, dimanapun aku berada asalkan dia juga berada di sisiku semuanya akan baik-baik saja.
"kupikir aku bahagia karena kota ini, tapi ternyata aku bahagia karena ada kamu,"
Selama di Shanghai Gara kerap kali menemaniku, kami menghabiskan waktu bersama selayaknya pasangan kekasih yang bahagia dan menurut dokter Sandra itu semua memberikan efek yang positif untuk perkembangan kesehatan mentalku.
"kalau aku tahu kamu lebih suka dikurung di kamar, akan kulakukan dari dulu Sya," kucubit perutnya mendapati ucapan mesumnya.
"kayaknya kamu harus jauh-jauh dari Erik deh biar nggak ketularan mesumnya," aku mencibir dan mendengus mengingat kejadian yang lalu.
"kalau kamu mau kita juga bisa membuatnya sendiri," aku mendelik dan langsung menepuki bibirnya dengan telapak tanganku "mesum banget ngomongnya, banyak orang di sini, jangan bikin malu," aku merutuk sedangkan dia tertawa saja, sepertinya dia menikmati menggoda dan melihat wajahku yang memerah.
*****
Aku cemberut melihat taoge yang berada di atas sambal "kenapa Qai?" Sepertinya Zaky melihat perubahan ekspresi wajahku yang tadinya antusias kini menjadi cemberut.
"Sebel banget harus nyisihin taogenya," tanpa berkata Zaky menarik piringku dan mulai menyisihkan taogenya ke dalam piring miliknya sendiri.
"Gini nih kalo nggak ada yang mau sama kakak kelewatan banget," dia mengulum senyum "memangnya masih ada perempuan yang tahan sering ditinggal tanpa kabar?"
"Ya harus dikabarin dulu lah, seenggaknya dibilangin dulu lagi giat atau apa biar ceweknya nggak bingung pacarnya ngilang kemana,"
Dia tersenyum kecut kemudian mengembalikan piringku yang sudah bersih dari taoge.
"Punya pengalaman pahit ya?" Aku menebak dari ekspresi wajahnya yang masam.
"Teman sih, tapi justru saya yang merasa trauma," aku mengangguk paham "emang kadang kisah orang tuh ngena banget ke diri kita kak, kayak yang gimana ya kalau aku juga begitu? Bisa nggak ya aku bangkit setelah diperlakukan seperti itu?"
"Mama saya bilang kalau saya penakut dan terlalu sensitif, padahal menurut saya hal seperti itu wajar mengingat bukan hanya satu teman saja yang memiliki pengalaman seperti itu,"
Kebanyakan yang berseragam itu hallo dek, hanya beberapa saja yang seperti Zaky ini.
"Teman kakak banyak yang begitu?" Dia mengangguk saja karena mulutnya sudah penuh dengan sesuap nasi rawon.
"Hebat sih bisa punya circle yang begitu, soalnya rata-rata yang berseragam cokelat kan hallo dek,"
"Hanya beberapa, teman seangkatan saya dulu dan kami bekerja di tempat yang berbeda-beda, kalau di kantor ya seperti apa kata kamu,"
Aku terkekeh mendengarnya "ehh tapi tumben kakak ngerti soal hallo dek?"
"Habis dikasih kuliah tiga sks sama teman beberapa hari yang lalu,"
Kekehanku menjadi tawa terbahak "pasti karena kakak susah nyambungnya pas diajak cerita sama teman kakak,"
"Dia kesal, katanya susah dapat cewek baik-baik karena citra cowok berseragam yang hallo dek,"
"Karena kebanyakan cewek baik-baik pasti mikir ratusan kali untuk dekat dengan pria berseragam yang sudah punya label hallo dek, tapi kakak nggak boleh patah semangat, suatu saat nanti kakak pasti ketemu kok sama jodoh kakak,"
"Saya harap secepatnya sebelum mama saya berubah jadi monster hanya karena perkara saya belum menikah,"
"Aku punya temen sih kak, dua, sama-sama jomlo cuma," aku menggantung kalimatku membuat dia menatapku dengan alis berkerut.
"Cuma apa? Masa lalu mereka belum selesai?" Aku mengangguk "jangan pernah menyodorkan orang baru kepada orang yang masa lalunya belum selesai Qai, karena nanti pasti akan berujung menyakitkan,"
Aku tertegun mendengarnya, masa laluku dengan Alfian belum usai, tapi aku sudah berhubungan layaknya sepasang kekasih dengan Gara.
Bagaimana jika nanti aku hanya akan berakhir menyakiti dia? Dia sudah berkorban banyak untukku namun yang bisa kubalas padanya hanyalah rasa sakit.
Tidak seharusnya aku melakukan hal ini kepada Gara, dia tidak pantas menerima perlakuan seperti ini dariku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Finding The Happiness
ChickLitSelain orang tua, yang kumiliki adalah dia. Tidak ada yang bisa mengerti diriku sebaik dia. Tidak ada yang bisa melindungiku sebaik dia. Tidak ada yang bisa menyayangiku sebaik dia. Dia, dia dan hanya dia Lamanya kebersamaan kami membuat rasa sayang...