Bagian 16

91 15 0
                                    

Aku berbaring miring ke arah kaca besar yang menampilkan pemandangan hujan lebat, langit nampak gelap karena mendung namun tak terlihat kilatan petir.

Sepertinya pemerintah dengan serius berusaha menurunkan tingkat polusi di ibukota agar kualitas udara di ibukota menjadi layak untuk dihirup.

"Mikirin siapa?" Dia datang dan duduk di atas kursi tepat di samping brankarku tangannya memegang semangkuk sup.

"Mikirin pemerintah, kayaknya mereka niat banget bikin kualitas udara di sini membaik," dia mendengus "kota ini wajah negara dan kejadian kemarin disorot media-media mancanegara jadi sudah pasti pemerintah ingin menyelamatkan wajah mereka,"

"Kenapa kamu kayaknya sensi begitu sama pemerintah? Biasanya kan enggak?" Aku tahu dia tidak pernah mengikuti politik tapi tidak pernah juga berkomentar seperti itu membuatku menjadi merasa aneh dia mengatakan ucapan seperti 'menyelamatkan wajah'

"Pria berengsek kemarin adalah anggota dewan, disaat masyarakatnya mengalami berbagai problematika kehidupan dia masih bisa berjudi dan bersenang-senang, seharusnya syarat mendaftar anggota dewan yang utama adalah berakal sehat,"

Sorot matanya berubah menjadi tajam membuatku meringis "anggap saja kejadian kemarin nggak pernah terjadi, aku merasa nggak nyaman mengingatnya,"

Aku mencoba meminta belas kasihan kepadanya "kamu harus lupa tapi untukku tidak, tidak sebelum dia dan teman-temannya membayar dengan harga yang setimpal,"

Aku menghela napas berat kemudian berusaha untuk bangkit, merubah posisi menjadi duduk.

Dengan cepat ia meletakkan mangkuk sup di atas nakas kemudian membantuku duduk "aku baik-baik aja, hasil pemeriksaan juga bagus, bukankah itu sudah cukup?"

Dia bangkit kemudian duduk di tepi brankar jemarinya terulur menyentuh luka kecil di keningku yang sudah dibalut dengan plester.

"Dia melukai kamu sampai seperti ini mana mungkin aku bisa melepaskannya begitu saja, dia harus membayarnya," matanya nampak fokus memerhatikan lukaku namun suaranya terdengar sedikit mengeram menahan amarah.

"Masih marah?" Jemarinya turun beralih mengusap pipiku "masih, aku bahkan masih mengingat dengan jelas ucapan kamu di dalam mobil dan sekarang giliranku membuat dia merasa dilecehkan oleh rakyatnya sendiri,"

Aku mengusalkan wajahku di ceruk lehernya sambil memeluk erat tubuhnya "sejak kejadian itu aku sering berpikiran yang macam-macam,"

"Mau konsultasi dengan psikiater?" Kujauhkan wajahku dari lehernya agar bisa menatap wajahnya "tapi aku nggak mau sendirian,"

"Aku yang akan temani kamu, kemarin dokter Shiren memang menyarankan untuk konsultasi dengan psikiater semacam trauma healing mengingat sejak kejadian itu kamu beberapa kali kedapatan melamun,"

"Jujur, aku takut banget Bii kalau kak Zaky nggak datang aku pasti ja-" tidak bisa, aku tidak sanggup untuk melanjutkan ucapanku.

Kedua tangannya terangkat dan mengusap pipiku yang sudah basah "ssshhhh," bukannya berhenti tangisku malah semakin menjadi.

Dengan lembut ia rengkuh tubuhku sembari membenamkan wajahku ke dalam dekapan hangatnya.

Tak perlu merangkai kata, dekapan dan juga usapan lembutnya begitu menenangkan untukku.

Dua hari berlalu begitu cepat, seharusnya aku masuk kerja kemarin, namun kondisiku masih tidak memungkinkan.

Menurut dokter Sandra aku mengalami PTSD, aku tidak takut bertemu dengan lawan jenis hanya saja jika mereka menatapku lebih lama rasa cemas dan takut langsung menghampiriku bahkan kemarin ketika seorang perawat laki-laki datang untuk melepas infus dan bertanya apakah prosedurnya menyakitiku atau tidak tanganku mendadak gemetar dan napasku tersengal-sengal.

Ingatan kejadian di kelab itu berputar lagi di kepalaku, tatapan lapar pria bajingan itu muncul terus menerus bagaikan kaset rusak.

Taapan mata laparnya yang seakan menelanjangiku dan membuatku nampak seperti pelacur membuatku bergidik takut.

Beruntungnya dia ada di sana, dengan cepat dia meminta perawat itu pergi kemudian memeluk dan menenangkanku.

Karena kejadian itu dia lebih memilih membawaku ke penthousenya dari pada memulangkanku ke apartemen.

"Gimana aku bisa kerja kalau aku masih trauma begini?" Dia mengusap kepalaku dengan lembut "kamu bisa kerja kalau kamu sudah sembuh, urusan yang lainnya nggak perlu kamu pikirkan, masalah bos kamu aku yang selesaikan, yang terpenting saat ini adalah kesehatan kamu jadi jangan pikirkan apapun selain kesehatan kamu, bisa?"

Aku mengangguk dengan ragu, karena jujur tiap ada kesempatan aku sering melamun dan berpikiran yang tidak-tidak.

Hampir satu minggu berlalu aku masih berada di penthouse miliknya, yang kulakukan hanya makan dan tidur, tidak ada sosmed ataupun siaran tivi.

Aku berusaha menenangkan pikiranku agar aku lekas sembuh "ngelamun?" Aku berjengit ketika mendapatinya masuk ke dalam kamar.

Sepertinya dia baru saja pulang, lengan kemejanya sudah digulung hingga siku dan dasinya sudah nampak tidak rapi.

"Kabar Kinara gimana?"

"Mau telepon?" Dia duduk di tepi ranjang dan merogoh sakunya, sejak aku di rumah sakit dia memang membawa ponselku agar aku bisa beristirahat dengan lebih baik.

"Nggak mau, aku nggak mau bahas hal itu lagi," aku menggeleng dengan cepat.

"Oke, habis ini kamu mandi, kamu nggak lupa kan kalau hari ini jadwal terapi dengan dokter Sandra?"

Aku mengangguk "iya, tapi nanti lewat lobi ya? Supanya aku bisa lihat orang-orang," selama ini aku tidak pernah melihat banyak orang ketika berada di rumah sakit.

Lorong rumah sakit itu terasa sepi, padahal poli dokter spesialis berjajar di sana namun tidak banyak orang di sana, ditambah lagi semua pasien yang ada di sana hanyalah perempuan tidak ada laki-laki satu orangpun.

"Yakin?" Matanya nampak serius menatapku "eumm, ada kamu juga, aku pasti baik-baik aja kalau ada kamu," dia menghela napas berat tapi kemudian mengusap kepalaku dengan lembut.

Hari berlalu dengan cepat seminggu setelahnya aku sudah jauh lebih baik, aku bisa berbicara dengan Kinara bahkan ketika dia tidak sengaja menyinggung kejadian itu aku masih merasa baik-baik saja.

Namun ketika tadi Zaky menghubungiku dan menanyai kapan aku bisa memberikan keterangan soal kejadian itu aku meminta maaf karena belum bisa melakukannya.

Setelah percakapan kami berakhir aku mengambil gelas yang sudah kosong berniat untuk mengambil air.

Namun ketika keluar aku mendapati pak Erik sekretaris pak Sagara masuk ke ruang kerja milik Bii sembari menunduk sibuk memeriksa sesuatu di ipadnya.

Dengan langkah pelan aku melangkah mendekati ruang kerja yang pintunya terbuka lebar itu.

"ada beberapa karyawan yang bergunjing dengan ketidak hadiran Qailula di kantor selama dua pekan ini, "

"Pecat mereka,"

"Baik pak, lalu untuk tanggal masuk kerja Qailula bapak harus memberitahukan paling tidak sehari sebelumnya agar kami bisa merapikan pantry dan mengisi ulang bahannya terlebih dahulu,"

Apakah pak Saga mengutus pak Erik untuk menemuinya? Meminta kejelasan kapan aku bisa bekerja?

"Saya harus memastikan kesehatan Nafisya pulih seratus persen sebelum dia resmi masuk ke kantor,"

"Saya mengerti, untuk laporan investigasi kasusnya akan ada di meja kerja bapak besok pagi,"

"Hm, kamu bisa pulang sekang,"

"Selamat malam pak Saga,"

Gelas yang kupegang mendadak jatuh dan membuat dua orang yang ada di dalam ruangan itu terhenyak menyadari kehadiranku di sana.

"Nafisya," dia bergegas beranjak dari kursi kerja untuk menghampiriku, namun kakiku refleks melangkah mundur.

Saga? Sagara Bimasena? Dia adalah atasanku? Sang CEO?

Finding The HappinessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang