Bagian 25

115 13 0
                                    

Qailula

Heiz_A : ini bocil playing victim banget. Tau malu dikit dong dek...

Victa728 : nggak fansnya nggak junjungannya punya otak tapi nggak pernah dipake

Noni_nan : nggak salah sih kalo si embaknya lapor polisi, fitnahnya kejauhan.

Joy_kim : ujungnya masih cari pembenaran buat dirinya sendiri, maling teriak maling nih betina.

An78Aii : kalo gue jadi dia gue juga bakalan lapor polisi, gilak aja muka mbaknya dishare disosmed dan dituding sebagai pelakor.

"Sekarang kamu bukan lagi public enemy," Gara yang tiba-tiba saja bersuara membuatku terkejut hingga aku tak sengaja menjatuhkan ponsel yang tengah kupegang.

"Biii, ngagetin ihhhh," kupungut ponsel milikku dari lantai kemudian mengeceknya.

"Nanti kalau rusak aku belikan yang baru lagi," aku mendengus dan menatap dia yang sudah duduk di sampingku dengan mata menyipit.

"Nyadar gak sih Bii kalo kamu beliin aku ponsel kayak beliin gorengan, padahal dulu aku beli ponsel aja harus nabung berbulan-bulan,"

"Makanya nikah sama aku biar kalau mau beli sesuatu nggak harus nabung dulu," kupukul pahanya dengan kesal "mana ada orang niat nikah cuma karena uang Bii,"

"Banyak, apa lagi untuk hubungan kerjasama antar perusahaan, selama itu saling menguntungkan nggak akan jadi masalah,"

"Dan kamu nggak keberatan kalau aku nikah sama kamu hanya karena uang?" Dia mengangguk mantap membuatku terperangah.

"Uang bukan masalah untukku, selama bisa memiliki kamu berapapun itu akan kubayar,"

"Pusing aku Bii, pusing banget ngeladenin kamu," aku bangkit dan hendak melangkah namun kakiku tiba-tiba terasa kebas kemudian nyeri menjalari pergelangan kakiku hingga merambat ke atas.

"Akkkhh," tubuhku limbung namun Gara dengan cepat menangkap tubuhku "kenapa? Sakit lagi kakinya?" Raut wajahnya nampak panik melihatku kesakitan.

"Kayaknya kebanyakan jalan tadi baru kerasa sekarang," Gara berlutut kemudian memeriksa kakiku dengan seksama.

"Kamu tunggu sebentar di sini," sepeninggal Gara aku mencoba menggerak-gerakkan kakiku yang awalnya terasa kebas kini terasa kesemutan, keningku semakin mengernyit merasakan rasa nyeri di area pergelangan kaki ditambah rasa kesemutan yang menjalar dari jari hingga ke paha.

Lalu ketika Gara kembali dan hendak mengompres pergelangan kakiku aku mengadu saat merasakan Gara menyentuh kakiku.

"Jangan disentuh dulu Bii, kaki aku kesemutan," aku menunduk dan menyingkirkan tangan Gara dari kakiku.

Gara meraih tanganku kemudian menggenggamnya erat "atur napasnya, jangan dilawan, jangan ditegangin kakinya,"

Sesaat kemudian rasa kesemutan yang kurasakan perlahan mereda menyisakan rasa nyeri yang masih menjalari disekitar pergelangan kakiku.

"Udah berhenti kesemutannya?" Aku mengangguk kemudian Gara melepaskan tanganku yang digenggamnya lalu mulai mengompres pergelangan kakiku, dia juga memijat area betis hingga aku merasa nyaman dan rasa nyeri yang kurasakan perlahan mereda.

Drrrtttt drrrtttt

Getaran ponsel milikku mengalihkan perhatianku yang sedari tadi sibuk mengamati wajah Gara yang nampak sangat tampan ketika sedang serius seperti ini.

"Ardhan minta nomor lo Qai," ucap Nana langsung tanpa basa basi "buat apa?"

"Katanya sih mau minta maaf tapi gue yakin dia pasti mau negosiasi sama lo," keningku berkerut mendengar ucapan Nana "negosiasi?" Ulangku.

"Soal si Anne," aku langsung menunduk menatap Gara yang masih sibuk mengompres kakiku "lo ngomong sendiri aja ya sama Bii,"

"Kok jadi Bii sih Qai? Kan yang punya nomor elo," seru Nana diseberang sana.

"Kan kata lo ini ada sangkut pautnya sama negosiasi kasus Anne jadi langsung ke Bii aja, biar dia yang putusin,"

"Kenapa Sya?" Fokusku terpecah aku tak lagi mendengarkan jawaban Nana karena pertanyaan yang dilontarkan oleh Gara.

"Ini si Nana telepon katanya Ardhan minta nomor aku dan kata Nana kayaknya ini ada sangkut pautnya sama kasus Anne,"

Gara langsung mengambil ponsel milikku kemudian berkata "gue nggak ngasih celah sedikitpun untuk kasus Anne, jadi bilang ke Ardhan dia nggak perlu repot-repot untuk bertemu dengan Nafisya,"

Tanpa menunggu jawaban Nana, Gara langsung mematikan smabungan telepon itu kemudian melemparkan ponselku ke atas ranjang "jangan dilempar ihhh, kebiasaan banget," aku mengomel kemudian memungut ponsel yang kini tergeletak di atas ranjang.

Sedangkan Gara memasang wajah tak peduli dan kembali sibuk mengompres kakiku.

"Kamu tumben nggak ngerengek minta aku lepasin Anne?" Tanya Gara tanpa menatapku "aku nggak mau bikin kamu makin marah, aku harus baik-baikin kamu biar aku dibolehin pulang ke apartemen, kalau kamu mau ikut aku pulang ke apartemen juga nggak apa-apa kok, kamu bisa tidur di kamar terus aku tidur di sofa."

Gerakan tangan Gara terhenti, dia meletakkan kompresan kembali ke dalam baskom kemudian bangkit, tubuhnya membungkuk, wajahnya tepat berada di depan wajahku, jarak bibirnya dari bibirku hanya beberapa jengkal saja.
"Kamu biarin aku tinggal di apartemen kamu?" Aku mengangguk "menurut kontrak kerja apartemen itu milik kamu Bii, aku cuma numpang, jadi nggak masalah kalau kamu tinggal disana juga, mungkin kedepannya aku bakalan beli kasur lantai biar aku nggak terus tidur di sofa,"

"Mana mungkin aku tega lihat kamu tidur di sofa, sekarang begini kuberikan satu penawaran lagi, kita tidur di kamar yang sama maka besok sepulangnya dari sini kita akan langsung pulang ke apartemen kamu,"

"Tidur sekamar? Tidur aja kan Bii?" Sudut bibir Gara terangkat memberikanku tatapan menyeringai "kalaupun lebih dari sekedar tidur sekamar aku akan menerimanya,"

"Mesuuuum!"

****

Keesokan harinya Gara benar-benar menepati ucapannya kemarin. Setibanya kami di Jakarta Gara langsung meminta sopir untuk mengantarkan kami ke apartemenku.

"Kamu hari ini libur?" Tanyaku pada Gara yang nampak sibuk memeriksa sesuatu di ipad miliknya.

"Kerja, nanti jam sepuluh ada meeting, kenapa? Kamu mau aku temani sebentar?" Aku menggeleng "cuma tanya aja, oh iya Bii kalo besok aku kerja boleh nggak?"

Kepalanya terangkat kemudian menoleh untuk menatapku "yakin?" Aku mengangguk "yakin, aku nggak mau pikirin Alfian atau Anne lagi jadi aku harus cari kesibukan,"

Tangan Gara terangkat kemudian dengan lembut mengusap kepalaku "mereka yang membuat kamu menangis tidak akan pernah kulepaskan, akan kubuat mereka membayarnya dengan harga yang pantas, bahkan Alfian sekalipun,"

Aku tidak merespon ucapan Gara, karena aku tahu dengan jelas amarahnya yang sulit dikendalikan jika sudah berurusan dengan orang-orang yang telah membuatku bersedih.

Kupeluk tubuhnya dan kusembunyikan wajahku di dadanya hingga mobil yang kami tumpangi berhenti, ketika aku hendak melepaskan pelukanku Gara menahan tubuhku hingga aku tidak bisa bergerak.

"Lewat basement pak," perintah Gara "kenapa?" Tanyaku dengan suara teredam "ada ibu Anne,"

"Ibu Anne mau minta maaf sama aku?" Gara mendengus "mau mencaci maki lebih tepatnya dan aku nggak mau kamu dengar satu kata celaanpun dari mulut busuknya,"

Ketika mobil kembali berhenti aku segera melepaskan dekapan Gara, rahangnya nampak mengetat menahan marah kemudian dengan cepat ia mengambil ponsel dari saku jasnya lalu menghubungi seseorang.

"Singkirkan dia sekarang juga!"

Finding The HappinessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang