Bagian 22

80 13 0
                                    

"Bii, bulan ini aku nggak usah digaji ya?" Ucapanku membuat Gara yang sedang sibuk mengompres kakiku menghentikan kegiatannya dan mendongak agar bisa menatapku.

Saat ini aku tengah duduk di atas sofa sedangkan Gara duduk di atas karpet "kenapa gitu?"

"Aku kerja baru sehari udah libur lagi seminggu, kalau ditotal sebulan aku cuma kerja sehari Bii, kalau tetap digaji sama aja aku makan gaji buta,"

"Kamu merasa lebih baik nggak digaji?" Aku mengangguk mantap "eumh,"

"Oke," aku tersenyum lebar mendengar jawabannya "Ihhh tumben nggak pake tarik urat dulu?"

"Aku nggak mau bikin pikiran kamu kemana-mana, tujuanku sekarang adalah membuat kamu nyaman dan bisa berhenti minum obat,"

"Lebay nggak sih Bii? Aku sampai depresi karena cinta?" Tangannya melepaskan kompresan ke dalam baskom kemudian menggenggam tanganku, rasa dingin menjalari tanganku membuatku bergidik.

Bukan hanya karena cinta, tapi semua hal yang sudah terjadi belakangan inilah yang membuat kamu jadi seperti ini lalu yang bisa kulakukan sekarang ada mendampingi kamu dan mengupayakan kesembuhan kamu,"

Aku hendak mengucapkan sesuatu namun chat yang masuk beruntun ke ponsel milikku membuat perhatianku teralih.

"Siapa? Ponsel kamu masih Baru dan hanya ada lima bomor telepon di dalamnya, apakah orang tua kamu?" Gara memberikan ponsel keluaran terbaru kedua kalinya untukku setelah ponselku hilang saat kejadian kemarin.

"Nana," kubukan Chat dari Nana yang rupanya hanya berisi foto botol-botol minuman keras yang sudah kosong.

"Dia lagi kumat deh Bii," aku menunjukkan foto-foto yang dikirimkan oleh Nana kepada Gara "kumat?"

Ting

Sebuah foto dikirim lagi namun bukan foto botol-botol seperti tadi, kini yang dikirimkan oleh Nana adalah tangkapan layar dari ponselnya.

"Loh Ardhan tunangan?" Gara menatapnya sekilas kemudian kembali mengompres kakiku "dan Nana yang jadi desainer gaun tunangannya?"

"Ada yang salah?" Gara menatapku dengan tatapan tidak mengerti "Bii, cinta sepihak aja udah sakit banget apa lagi kalau sampai begini?"

"Nana cinta sama Ardhan?" Kutepuk dahiku merasa bodoh dengan yang kuucapkan barusan, dari pada aku Nana lebih pintar menyembunyikan perasaannya, bahkan sorot matanyapun biasa saja ketika menatap Ardhan berbeda denganku.

"Bukannya dia sama Johan?" Mataku membulat mendnegar ucapan Gara "Johan? Bii Nana masih normal kali,"

"Si Jo laki-laki kan?" Gara menatapku dengan alis mengkerut tanda tak mengerti.

"Kamu nggak tau juga? Ya ampun Bii terus yang kamu tau itu apa?" Aku menatapnya frustasi.

"Aku cuma tau kalau aku cinta sama kamu," kupukul pundaknya berulang kali karena merasa kesal dengan ucapan yang baru saja ia lontarkan.

"Aku cuma bilang fakta Sya," Gara meletakkan kembali kompresan ke dalam baskom lalu menahan tanganku kemudian menggenggamnya dan bangkit untuk mengambil tempat duduk di sebelahku.

"Kupikir kisah cintaku tidak ada apa-apanya dengan kisah cinta Kinara tapi ternyata kisah cinta Nana lebih menyakitkan lagi, tapi kalau aku sepertinya bisa dibilang nggak bersyukur ya Bii? Ada yang jelas-jelas cinta sama aku tapi aku malah memilih dia yang nggak punya perasaan apapun kepadaku,"

"Cinta tanpa karena itu tulus Sya, hanya saja cinta itu berlabuh kepada orang yang tidak tepat,"

*******

Butuh satu minggu lebih hingga akhirnya aku bisa berjalan dengan normal, kini aku bahkan sudah kembali bekerja.

Namun seusai makan siang Gara mengatakan akan pergi ke Singapura dan akan pulang tengah malam nanti.

Karena tidak ada yang bisa kulakukan di kantor akhirnya aku memilih untuk menemui Nana di butik miliknya.

"Sel, bu bos ada?" Diantara kami bertiga yang punya bisnis sendiri hanyalah Nana jadi aku dan Kinara sering memanggilnya dengan sebutan bu bos.

"Ada sih mbak, tapi ya gitu," alisku mengkerut mendengar penuturan Sela "mabok di kantor?"

"Iya," Sela menjawabnya dengan meringis "tiap hari?" Dia menggeleng cepat "baru hari ini sih mbak soalnya mbak Anne kemaren dateng kasih sketsa gaun resepsi dia,"

"Dan si bego Nana terima gitu aja?" Aku dan Kinara saja masih berpikir cara untuk melarikan diri tapi apa ini? Nana malah sukarela menjadi desainer acara tunangan hingga pernikahan pria yang dicintainya dari bertahun-tahun yang lalu.

Sebenarnya yang tolol disini siapa?

"Otak bos kamu lagi konslet kayaknya," Sela mengangguk cepat, setuju dengan ucapanku "bu bos kayak bunuh diri nggak sih mbak?"

"Mungkin bagi dia biar sakit sekalian, saya ke atas dulu ya nengokin dia, takutnya OD miras lagi,"

"Ya ampun mbak, jangan nakutin gitu lah," aku tertawa "nggak nakutin cuma dia tololnya udah nggak ketolong lagi,"
Aku berlalu dari hadapan Sela kemudian menaiki tangga dengan perlahan, kakiku baru sembuh dan aku tidak ingin ada drama lagi kalau aku melangkah dengan terburu-buru.

Tanpa mengetuk kubuka pintu berwarna putih dihadapanku ini dengan mendorongnya.

Sesuai dugaanku, botol-botol minuman keras berserakan di atas meja bahkan ada yang menggelinding di bawah meja.

Kuhela napas berat kemudian mulai membersihkan kekacauan yang dibuat oleh Nana sedangkan sang tersangka nampak tidur dengan sangat nyenyak di atas sofa.

Kumasukkan botol-botol yang sudah kosong itu kedalam tempat sampah kemudian turun kembali ke lantai dasar.

Kembali kuhampiri Sela yang nampak sibuk di depan komputernya "butik lagi hetic nggak?"

"Nggak sih mbak, sejak terima pesanan gaun tunangan mbak Anne dua bulan lalu butik belum terima pesanan lagi, bukannya nggak ada customer, cuma si bos nggak mau, jadi ya dua bulanan ini cuma bikin gaun ready to wear sama selesaikan pesanan customer sebelum mbak Anne, tapi kemarin bu bos terima pesanan mbak Anne lagi yang buat resepsinya,"

"Dia terima sendiri?" Sela menggeleng "nggak sih mbak, sebelum kesini mbak Anne kan konfirmasi lewat telepon terus si bu bos bilang kalau dia masih ada di luar pulau lagi cari kain nah jadi kemarin saya yang terima sketsa gaun dari mbak Anne,"

"Terus bos kamu nggak pulang dari kemaren?" Sela mengangguk "bu bos nggak pulang sibuk ngabisin stok wine di lemari, yang kemaren lebih parah dari minggu lalu yang waktu mbak Anne sama pak pengacara tunangan. Awalnya saya pikir bu bos nggak ada rasa sama si pak pengacara taunya cinta banget, ngerasa kasihan sama bu bos,"

"Kalau sampai Ardhan cari dia tetap bilang kalau dia lagi di luar pulau cari kain, oke?"

"Mbak mau pulang? Nggak mau ngobrol sama bu bos?" Aku mendengus "ngobrol gimana Sel? Orang dianya aja teler, saya balik dulu nanti sebelum tutup saya kesini lagi buat ngecek dia,"

Setelah berpamitan aku bergegas keluar dari butik namun ketika baru keluar dari butik seorang kurir membawa gulungan kain dengan posisi horizontal membuat kakiku refleks melangkah ke samping namun naas telapak kakiku tidak menapak sempurna dan miring sehingga pergelangan kakiku yang terkilir tertekuk lalu menyebabkan aku kehilangan keseimbangan "awas,"

Aku sudah memejamkan mata karena rasa sakit yang kurasakan dan mempersiapkan diri jika aku terjatuh.

Tapi tidak, aku tidak merasakan tubuhku jatuh ke tanah namun aku merasakan tubuhku ditahan oleh sesuatu, dengan ragu-ragu kubuka mataku dan ya, aku memang tidak terjatuh karena Ardhan menangkap tubuhku.

"Lo nggak apa-apa Qai?" Ardhan menegakkan tubuhku namun ketika aku berdiri sendiri rasa nyeri di pergelangan kakiku kembali terasa hingga Ardhan tidak melepaskan tangannya dari pundak dan punggungku.

"Kaki lo kenapa?" Ardhan menunduk dan melihat ke arah kakiku "kayaknya yang kemarin terkilir kambuh lagi deh gara-gara telapak kaki gue miring tadi,"

"Bisa jalan nggak?" Kucoba mengangkat kakiku yang sakit namun rasanya nyeri sekali "gue bawa lo ke rumah sakit deh Qai, takutnya kenapa-napa, tapi permisi ya gue harus gendong lo,"

Ardhan menggendongku dan membawaku ke mobil miliknya yang terparkir di depan kantor firma hukum milik keluarganya dan berada tepat di sebelah butik milik Nana.

Finding The HappinessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang