Bagian 11

140 17 0
                                    

Apakah CEO ku ini benar-benar tidak waras? Aku melihat jadwal kursus memasak yang sudah diatur untuk besok sampai hari sabtu depan.

Bukankah itu artinya mulai besok sampai sabtu depan aku hanya akan mengikuti kursus memasak dan tidak datang ke kantor?

Kupijat pelipisku karena mulai terasa pening melihat deretan jadwal kursus memasak yang begitu padat, pagi, siang dan malam.

Seharusnya dia mempekerjakan seorang chef saja bukannya menyiksaku dengan kursus memasak seperti ini.

Sepertinya dia tidak ingin menyia-nyiakan sepeserpun uang yang sudah dikeluarkannya untukku hingga dia mau membuatku memiliki skill memasak setingkat chef seperti ini.

Membalik jadwal kursus aku menemukan selembar kertas berisi syarat-syarat yang harus kupatuhi.

1. Satu menu makan untuk satu kali makan, tidak boleh berulang.

2. Satu bahan satu jenis masakan.
3. Tidak bisa mengajukan cuti mendadak.

4. Harus ikut kemanapun pimpinan melakukan perjalanan bisnis.

5. Jika mengajukan pengunduran diri sebelum kontrak berakhir akan dikenakan pinalti sebesar satu miliar rupiah.

'Welcome to the hell Qai'

Bolehkah aku mengutuknya sekarang? Tapi bagaimanapun juga itu sepadan dengan fasilitas yang diberikan olehnya.

"Sabar Qai, lo cukup bertahan sebulan ini, lo pasti bisa!" aku berusaha menyemangati diriku sendiri meski faktanya aku cukup merasa terbebani dengan pekerjaanku sekarang.

Membayangkan harus mengikutinya kemanapun ia pergi, sudah pasti aku akan menjadi pesuruh tanpa henti.

Kuhembuskan napas berat sambil merapikan berkas-berkas yang baru selesai kubaca dan kupelajari dengan seksama.

Ini adalah langkah awalku di kota ini, aku tidak boleh menyerah hanya karena hal ini, lebih baik menjadi pesuruh dari pada aku harus kembali ke rumah dan harus bertemu dengan Alfian lagi, sungguh aku masih merasa tidak sanggup untuk menemuinya.

Alfian, lagi dan lagi.

Dari pada pikiranku semakin kemana-mana dan berujung menangis seperti orang bodoh di sini lebih baik aku pulang.

Langit terlihat berwarna abu-abu ketika aku keluar dari kantor, tapi ini bukan karena mendung melainkan karena polusi, menurut berita polusi di Jakarta sangatlah buruk bahkan termasuk dalam sepuluh kota dengan polusi terburuk di dunia.

Pantas saja akhir-akhir ini pemerintah sibuk melalukan modifikasi cuaca untuk menurunkan hujan agar tingkat polusi di kota ini menurun.

Bahkan sengatan sinar mataharipun tidak terlalu menyengat dikulit karena tebalnya polusi di langit ibu kota, sebaiknya jika keluar lagi aku akan memakai masker untuk berjaga-jaga, karena terpapar polusi untuk waktu yang lama bisa mengganggu pernapasan.

Jakarta dan segala problematikanya yang tak pernah usai.

*****

Kuhela napas berat sambil menaiki JPO, jembatan ini cukup panjang belum lagi akses naik dan turunnya, meski cukup dekat dengan apartemen tapi sejujurnya ini melelahkan.

Apa lagi aku mengenakan heels setinggi sepuluh senti hari ini, sepertinya jika sudah mulai aktif ke kantor aku akan membawa dua sepatu, dari apartemen aku bisa memakai flat shoes, sneaker atau bahkan sendal dan ketika sampai di kantor aku baru menggantinya dengan heels.

Baru setengah perjalanan kakiku sudah mulai terasa tidak nyaman, aku menepi sejenak kemudian melepas sepatuku, benar saja bagian tepi jari kelingking kakiku terlihat memerah karena lecet.

Finding The HappinessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang