Bagian 4

205 18 2
                                    

Sepertinya aku baru terlelap ketika suara pintu yang digedor dengan tidak sabar membuatku terjaga kembali.

"Qai bangun! Mau tidur sampai jam berapa kamu? Udah siang ini Qai, ayo buruan keburu macet nanti,"

Aku mengeram kesal kemudian bangkit dari posisi rebahku "aku ngantuk abang, biarin aku tidur lagi," seruku kemudian kembali berbaring dan menyelimuti seluruh tubuhku dengan selimut.

Suara gedoran pintu tak terdengar lagi membuatku merasa nyaman dan hendak kembali memasuki alam mimpi.

Ceklek

"Astaga Qailula! Sapi aja kalo dibangunin langsung bangun ini kamu dibangunin bukannya bangun malah selimutan kayak ulet di dalam kepompong,"

Rupanya setelah tidak berhasil membangunkanku dari luar kamar Alfian masuk ke dalam kamarku dan masih berusaha untuk membangunkanku.

Sedangkan aku mencoba untuk menulikan telinga dan melanjutkan tidurku kembali.

Sraaaak

Selimutku disingkap dengan cepat membuatku kembali mengeram hingga aku mengubah posisi menjadi duduk kembali di atas ranjang.

"Abang kenapa sih? Aku ini capek baru tidur pagi buta tapi sekarang abang udah ngerecokin aku, tega banget sama aku!" aku menatap marah padanya.

"Pantes aja kayak panda," jemarinya menyentuh bagian bawah mataku tanpa dosa mmebuatku menepisnya dengan cepat "abang bego!"

"Bangun dulu, nanti kamu bisa tidur si mobil,"

"Mau kemana sih bang? Aku capek mau tidur,"

"Yang kemarin-kemarin minta ke puncak biar bisa dapet udara sejuk siapa? Sekarang dibangunin marah-marah, jadi nggak? Abang udah susah payah loh ngurusin cuti,"

"Kenapa jadi abang yang marah-marah?" Aku semakin kesal mendengar nada marah dari ucapannya.

"Oke abang nggak marah, sekarang kamu siap-siap, abang tunggu di depan," tangannya menepuk puncak kepalaku dua kali kemudian meninggalkanku di kamar sendirian.

Masih dengan perasaan dongkol akhirnya aku mandi lalu bersiap-siap untuk pergi, karena malas berdandan aku hanya menggunakan sunscreen kemudian mengemas baju dengan cepat sebelum Alfian kembali masuk dan mengoceh panjang lebar.

"Kamu nggak mandi?"

"Emang aku abang yang betah nggak mandi seharian dengan dalih nggak berkeringat karena ada di ruangan ber AC?"

"Ya kan tubuh abang masih bersih, nggak keringatan, nggak lepek rambutnya," elaknya.

"Tetep aja jorok tau!"

"Tapi abang masih ganteng, masih keren," aku menahan tanganku untuk tidak menoyor kepalanya.

"Dah lah terserah, bodo amat," aku kembali mendumal kemudian mendahului dia masuk ke dalam mobil membiarkan dia mengunci rumahku terlebih dahulu.

"Mau cari makan dulu?" Tanya Alfian ketika masuk ke dalam mobil "nggak deh, males makan kalo sekarang,"

"Yaudah nanti mampir di rest area aja, gimana kerjaan kamu? Udah beres? Apa lusa harus nginep di hotel lagi?"

Selama lima hari aku dan bu Grace terpaksa menginap di hotel dekat kantor karena harus mencocokkan dokumen keuangan dengan dokumen kantor pusat.

Ini semua bermula ketika pak Setiawan selaku manager keuangan di kantor ketahuan melakukan penyelewengan dana, kantor pusat sudah melakukan audit internal tapi bu Grace selaku direktur kantor cabang harus memeriksa setiap dokumen yang ada dan mencocokkan  dengan hasil tim audit.

Sebab itu aku tidak biss pulang sebelum beliau pulang tapi mengingat maraknya kasus begal di Bekasi sekarang bu Grace mengajukan tempat tinggal sementara yang paling dekat dengan kantor dan langsung disetujui oleh pak Sagara.

Jujur saja hal ini terasa mengganjal di hatiku, biaya menginap dua orang di hotel berbintang lima tidak bisa disepelekan meskipun kami mendapat tipe kamar termurah sekalipun tapi pak Sagara langsung menyetujuinya begitu saja.

Entah karena mencemaskan pegawainya atau beliau merasa cara ini lebih efektif untuk menyelesaikan masalah ini aku tidak tahu yang aku tahu semua akomodasi kami ditanggung perusahaan dan kemarin setelah check out aku benar-benar terperangah melihat bill kamar hotel beserta biaya layanannya.

Total billnya hampir dua kali lipat gajiku sebulan aku sampai meneguk ludah berat tapi bu Grace tertawa saja dan beliau bilang "anggap saja hadiah,"

"Kok ngelamun? Ngantuk?"

"Ha? Itu nggak sengaja inget bill hotel,"

"Potong gaji ya?"

"Mana ada, kalo potong gaji mending aku tidur di ruangan bu Grace biar gratis,"

"CEOnya bisa memanusiakan manusia berarti,"

"Hebat kan ya bang? Padahal ini termasuk kelalaian kami loh kok bisa kecolongan tapi pak Sagara malah ngasih fasilitas mewah begini,"

"Karena dia tau apa yang terjadi bukan serarus persen karena kelalaian kalian, orang yang seperti itu pasti rencananya matang dan perhitungannya cermat sampai bisa selewengin dana miliaran tanpa ketahuan,"

Aku mendengar ucapan Alfian sambil menguap, aku benar-benar masih mengantuk dan kini setelah mobil mulai memasuki jalan tol kendaraan mulai nampak padat.

Padahal masih pukul delapan lewat sebelas menit tapi jalanan sudah seramai ini.

"Kamu tidur aja siapa tahu nanti abang pegel mau minta gantian nyetir,"

"Males ah kalo nyetir semobil sama abang, abang cerewet,"

"Kalo kamu udah jago abang nggak mungkin cerewet Qai,"

"Aku tuh udah jago dasarnya aja abang emang cerewet, harus sesuai sama maunya abang semua, kan beda! Ini kakiku, ini tanganku bukan punya abang,"

"Kamu itu kalo nyetir grasak grusuk siapa yang nggak khawatir? Apa lagi kalo jalanan padat, makanya abang ingetin terus,"

"Jatuhnya bukan ngingetin lagi tapi ceweret," ketusku.

Alfian hendak membalas ucapanku lagi tapi ponselnya berdering membuat dia mengurungkan niat melanjutkan perdebatan kami dan mengangkat panggilan tersebut.

Alfian nampak serius menanggapi lawan bicaranya membuatku memilih untuk memejamkan mata dan tidur.

Entah berapa lama terlelap suara dering ponsel membangunkanku, masih dengan terkantuk kuraih ponselku yang tergeletak di atas dashboard tapi rupanya bukan sebuah panggilan melainkan alarm yang sengaja kusetel siang hari agar aku bisa tidur lebih lama.

Setelah mematikan alarm aku baru sadar jika mobil ini berhenti dan aku sendirian di dalamnya, kuamati keadaan sekitar, rupanya mobil Alfian terparkir di sebuah restoran sepertinya Alfian sedang membeli makan siang.

Kulihat lagi layar ponselku, ternyata sudah pukul sebelas, sepertinya kami tadi terjebak macet, karena sudah tiga jam perjalanan tapi kami belum sampai juga.

Kurogoh sling bag untuk mencari ikat rambut, aku harus turun untuk mencari Alfian dan aku malas untuk merapikan rambut jadi langkah terbaik adalah menggelungnya, tapi rupanya aku lupa membawanya.

Kubuka laci dashboard karena seingatku aku pernah menyimpan satu ikat rambut di sana, kucari-cari tapi tidak ada, yang kutemukan malah dua lembar notes berwarna pink, dengan kening berkerut kuambil notes itu dan membacanya.

'Dihabisin ya sayang,'
'Lekas sembuh mas pacar,'

Napasku mendadak tercekat, apa ini? Alfian sudah memiliki kekasih? Duniaku terasa gelap seketika.

Air mata menggenang di pelupuk mataku. Kupikir akulah yang akan menjadi kekasihnya, aku lah yang akan berada di sisinya, namun rupanya aku salah, aku bukanlah apa-apa untuknya dan dia sudah memilih perempuan yang lain.

Yang paling menyakitkan adalah mengetahui seseorang yang kamu suka, seseorang yang kamu cinta tidak memiliki perasaan yang sama seperti perasaan yang kita miliki.

Finding The HappinessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang