Bagian 18

95 12 4
                                    

Aku bangun dengan keadaan yang cukup kacau, sepertinya aku mengalami hangover akibat dua gelas wine semalam.

Saran dari Nana memang tidak pantas untuk ditiru, aku tidak tahu hangover terasa menyakitkan seperti ini.

Kepalaku pening bahkan pandanganku sedikit kabur, dengan tertatih-tatih aku bangkit menuju kamar mandi.

Tanpa melepas baju aku masuk ke dalam bathtube dan menyalakan shower, kubiarkan air dingin membasahi tubuhku, berharap bisa meredakan efek hangover yang kurasakan.

Setelah merasakan tubuhku menggigil kusudahi acara berendamku dan segera membersihkan diri sebelum flu menyerang.

Dengan hanya mengenakan bathrobe aku memasuki walk in closet, kini aku dihadapkan kembali  dengan kenyataan jika dia mempersiapkan segalanya untukku.

Aku berdiri di tengah walk in closet dan menatap semua barang yang ada di sini dengan tatapan nanar.

Terlepas dari semua kebohongannya dia memberikan yang terbaik untukku tapi aku? Jangankan memberikan yang terbaik untuknya, membalas perasaan tulusnya saja aku tidak bisa.

Dibalik ini semua dia pasti merasakan sakit seperti yang kurasakan saat ini. Mencintai seseorang yang tidak mencintaimu.

Aku tidak pantas menerima ini, aku tidak seberharga itu untuk mendapatkan perlakuan layaknya seorang tuan puteri.

Kuambil baju dengan asal dan segera mengenakannya, tanpa merias diri aku segera keluar kamar, lantai atas terlihat sepi pintu kamar dan ruang kerjanya tertutup rapat.

Kulangkahkan kakiku menuruni tangga namun yang kudapati di lantai bawah hanyalah asisten rumah tangga yang sedang sibuk menyiapkan sarapan.

"Pagi non, hari ini tuan meminta disiapkan sup iga sapi dan beberapa olahan seafood, ingin sarapan sekarang?"

"Dia udah berangkat?"

"Belum non, agenda tuan setiap pagi kan nemenin non sarapan baru setelah itu berangkat ke kantor,"

Setelah mendengar ucapan Bik Ratih aku kembali ke lantai atas, kuketuk pintu kamarnya beberapa kali namun tak ada jawaban dari dalam.

Dengan perlahan kubuka pintu berwarna cokelat di depanku ini, pertama aku hanya melongokkan kepalaku ke dalam kamarnya.

"Biii?" Tapi dia tidak ada di kamar namun aku mendengar suara gemerisik air, sepertinya dia sedang mandi.

Ketika aku hendak menutup pintunya kembali suara dering telepon membuatku mengurungkan niat.

Aku hapal nada deringnya, ini adalah nada dering ponselku, kubuka pintu lebih lebar dan melangkah masuk ke dalam kamar.

Sebenarnya apa yang sedang kuharapkan? Apakah aku berharap Alfian sedang mencariku? Tak dapat dipungkiri jika jauh di lubuk hatiku aku masih berharap dia akan terus mencariku.

Rupanya memang benar, dia yang menghubungiku namun keningku berkerut melihat display picture miliknya.

Fotonya sudah berubah, bukan lagi fotonya sendiri melainkan foto bersama perempuan itu.

Kedua tangan perempuan itu melingkar dengan nyaman di lengan Alfian dan mereka berdua tersenyum hangat ke arah kamera terlihat bahagia.

Mereka berdua hidup dengan bahagia di sana sedangkan aku harus berjuang susah payah untuk tetap hidup di sini.

Kuambil ponselku kemudian kupukul-pulkul benda itu di atas meja konsol, merasa tidak puas kubanting ponselku ke lantai dan berteriak marah sambil menangis pilu.

Setelah itu kusapu semua benda yang ada di atas meja konsol dengan tangan hingga benda-benda itu berjatuhan ke lantai dan menimbulkan suara gaduh.

"Sya? Nafisya? Nafisyakhira?" Aku meluapkan emosiku dengan membabi buta hingga Gara mendekapku dengan erat membuat tangisku kian menjadi.

"Mereka bahagia di sana Bii sedangkan aku harus berjuang hidup di sini, seharusnya mereka menderita sepertiku Bii, mereka nggak berhak bahagia di atas penderitaanku,"

Aku menangis dan meraung bahkan aku memukul-mukul punggungnya dengan kuat namun Gara tak bergeming.

*****

Yang ingin kulakukan sekarang adalah berbaring di atas ranjang sembari menikmati rasa sakit yang kian menikam.

Namun Gara tentu tak mengizinkannya dan kini aku duduk berhadapan dengannya dipisahkan oleh meja makan yang di atasnya sudah tersaji sarapan untuk kami berdua, jangan harap aku bisa kemana-mana sebelum menghabiskan makanan ini.

Tanpa minat kusuapkan sesendok demi sesendok kuah sup ke dalam mulutku, acap kali Gara menaruh potongan daging atau sayuran di atas sendok milikku yang sedari tadi hanya menyendok kuah sup.

Air mata mulai membasahi pipiku kembali namun gerakan tanganku menyendok sup terus berlanjut hingga Gara menahan tanganku.

"Cukup Sya," Gara mengambil sendok yang kugenggam kemudian berdiri mengitari meja makan hingga kini ia berdiri disisiku.

Kedua tangannya dengan lembut menarik kursi yang kududuki lalu berpindak menarik bahuku agar aku berdiri.

Tanpa berkata dia merengkuh tubuhku ke dalam gendongannya dan membawaku kembali ke kamar.

Kulingkarkan kedua lenganku di lehernya sambil kusembunyikan wajahku di dadanya dan kemudian kutumpahkan semua kesedihanku.

Gara berhenti melangkah, sepertinya kami sudah tiba di kamar, namun dia tidak menurunkanku melainkan duduk di atas ranjang dengan masih merengkuhku.

Hingga kini aku duduk di atas pangkuannya dengan kedua lengannya yang melingkari tubuhku dengan erat.

Dekapannya seakan memberitahuku jika aku tidak sendirian, ada dia disisiku sekarang, perasaan tulusnya sampai ke hatiku membuatku menangis pilu.

Seharusnya dia juga merasakan sakit melihatku menangisi laki-laki lain tapi tidak, dia menahan segala emosinya hanya untukku.

Membuatku merasa dicekik oleh perasaan bersalah, dia layak mendapatkan perempuan yang jauh lebih baik dari pada aku.

Perlahan kuangkat wajahku dan kutatap wajahnya dengan dalam "harusnya kamu dapat perempuan yang cantik fisiknya cantik hatinya,"

"Kamu cantik fisik dan juga cantik hati, sudah cukupkan?"

"Bukan aku!!!" Aku semakin tersedu-sedu mendengar ucapannya "dia harus cinta sama kamu dan itu bukan aku Bii, kamu layak dapat perempuan yang lebih segala-galanya daripada aku,"

"Hatiku hanya mau kamu," kulepaskan rengkuhanku di lehernya lalu satu tanganku berpindah ke dadanya.

"Bukan aku Bii, di sini harus diisi oleh perempuan yang sempurna bukan perempuan cacat seperti aku," kutepuk dadanya dengan lembut.

Sebelah tangannya ikut terangkat kemudian menggenggam tanganku yang berada tepat di atas dadanya "tapi disini sudah penuh oleh kamu dan tidak akan berkurang sampai kapanpun,"

Aku kembali menangis mendengar ucapannya "berjuang sendirian itu berat Bii dan terkadang hasilnya berbeda dengan apa yang sudah kita harapkan, dari pada menorehkan luka bukankah lebih baik kita menghindarinya?"

"Kamu tahu Sya? Yang terpenting bagiku adalah kebahagiaan kamu, asalkan kamu bahagia itu sudah cukup untukku, entah perasaanku terbalas atau tidak aku tidak pernah peduli karena yang kupedulikan hanyalah kamu, asal kamu bahagia maka aku juga bahagia, jadi jangankan menggapai bintang, mataharipun  akan kugapai asalkan kamu bahagia, karena bahagiamu adalah bahagiaku,"

Finding The HappinessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang