Bagian 5

172 13 0
                                    

Dengan tangan gemetar segera kukembalikan notes itu ke dalam laci, sekuat tenaga aku menahan tangis tapi rupanya tetap sia-sia.

Sebulir air mata menetes membasahi pipiku dengan gerakan cepat aku segera mengusapnya, aku tidak mau Alfian memergokiku menangis di sini.

Kucoba untuk mengatur napas agar sesak di dada berkurang, aku harus menahan segala perasaan yang sedang berkecamuk di hati dan kepalaku, meski kenyataannya aku harus menangis untuk menumpahkan segalanya tapi tidak di sini.

Kutelan bulat-bulat rasa kecewa yang kurasakan dan beralih memasang wajah seperti orang bodoh ketika aku melihat Alfian berjalan meninggalkan restoran dari kejauhan.

"It's okay Qai, lo bisa, lo pasti bisa!" Kuambil ponsel dengan tangan yang masih gemetar, aku mencoba untuk menghubungi Alfian.

Didering ketiga panggilanku diangkat "abang dimana?" Aku berpura-pura bertanya.

"Habis beliin kamu snack, tunggu di mobil, abang udah keluar kok,"

"Oh oke," tak berselang lama setelah telepon ditutup Alfian membuka pintu mobil, satu tangannya membawa kantong plastik.

"Baru bangun?" Tanyanya sambil masuk ke dalam mobil.

"Iya, terus bingung nyariin abang, mau turun tapi males,"

"Nih, makan dulu, buat ganjal perut kamu," Alfian menyodorkan sebungkus burger kepadaku lalu meletakkan sebotol air mineral dingin di cup holder.

"Abang beliin aku aja?"

"Iya, abang masih kenyang, buruan dimakan, kamu belum makan apa-apa dari pagi Qai,"

Setelah memastikan aku makan Alfian kembali menyalakan mobilnya dan meneruskan perjalanan kami.

Yang kubutuhkan sekarang adalah tempat untuk menangis bukan makan, tapi aku tidak bisa melakukan apapun, yang bisa kulakukan saat ini hanyalah bertahan sekuat tenaga untuk tidak menangis.

"Matah kamu merah banget Qai, kayak orang nahan tangis," celetuk Alfian.

"Matanya pedih, mau nangis ini bang," ucapku jujur.

"Gara-gara kurang tidur pasti, habis ini sesampainya di hotel kamu tidur lagi, nggak tega lihat kamu begitu."

Dia masih semanis ini kepadaku padahal dia sudah punya kekasih, ya tuhan aku sudah tidak sanggup menahannya.

Runtuh sudah,

Tangisku sudah tidak bisa ditahan lagi, air mata luruh membasahi kedua pipiku, kuhentikan kegiatan makanku dan menahan diri untuk tidak terisak, kupejamkan mata, kubiarkan aku menangis dalam diam.

"Pedih Qai?" mobil yang dikemudikan Alfian berhenti lalu kemudian kurasakan sesuatu yang lembut menyeka air mataku membuatku berjengit kaget.

Ketika membuka mata rupanya Alfian tengah mengusap air mataku dengan tisu, "sampai segininya Qai, bulan depan kalau ada tawaran perpanjangan kontrak mending kamu tolak aja, cari pekerjaan yang nggak terlalu berat, kasihan kamu kalau begini,"

'Kenapa kamu masih sepeduli ini denganku? Kenapa? Tahukah kamu Al kalau hatiku semakin lebur merasakan kepedulian kamu ini?'

Kuberikan hatiku dengan utuh untuknya namun.... yang ia genggam adalah hati perempuan lain.

Hancur?

Mungkin kini hatiku sudah melebur menjadi abu namun rasa cintaku untuknya tetap utuh.

Pada akhirnya sesuatu yang memang bukan ditakdirkan untukmu akan melewatimu.

Selama apapun kapal bersandar pasti akan ada waktu untuk berlayar kembali jika itu bukan pelabuhan terakhirnya.

*****

Finding The HappinessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang