Bagian 27

96 11 0
                                    

"Nafisya?," Aku baru selesai memasak dan sedang membereskan pantry namun aku mendengar seorang perempuan memanggilku dengan sebutan Nafisya, selama ini hanya Gara dan tante Emilia saja yang memanggilku dengan sebutan seperti itu.

"Tante Em?" Aku menoleh dan mendapati tante Emilia berada di depan pintu dan hanya melongokkan kepalanya dari luar.

"Bibii nggak ada di sini?" Tante Emilia membuka pintu lebih lebar kemudian masuk ke dapur.

"Bii tadi meeting sama lawyer di kafe gedung sebelah tan," aku mengarahkan tante Emilia duduk di kursi bar lalu kusajikan buah potong yang sudah kudinginkan di lemari es.

"Masih lama nggak?" Tanya tante Emilia sambil melirik arloji yang melingkar di tangan kirinya.

"Bentar lagi balik kok tan, udah mau masuk jam makan siang soalnya, tante mau makan siang bareng? Kebetulan aku tadi masak rawon sama empal gepuk,"

Tante Emilia menggeleng kemudian mencicipi stroberi "tante buru-buru banyak urusan tapi karena bibii kamu itu tante harus sempatin kesini,"

"Ada masalah tan?" Kuletakkan segelas jus jeruk di samping piring buah "papanya Bii kan sakit, kena serangan jantung akut, kondisinya terus menurun jadi sebelum dia meninggal dia mau ketemu sama anaknya, tapi kamu taulah gimana si Bii itu,"

"Dia masih belum mau ketemu sama om Esa?" Tante Emilia mengangguk "papa Bii tadi telepon lagi minta ketemu sama Bii, dia bilang mau serah terima saham rumah sakitnya buat Bii,"

"Katemu aja nggak mau tan, apa lagi terima warisan," tante Emilia menghela napas berat "makanya, tau nggak dia sampai blokir nomor tante loh karena tante terus minta dia ketemu sama papanya, anak durhaka dia, heran tante makin banyak umurnya bukannya makin dewasa malah kayak bocil tantruman,"

"Karena pada kenyataannya kita nggak pernah tau sedalam apa luka yang sudah ditorehkan om Esa di hati Bii tan,"

Tante Emilia kembali menghela napas berat "padahal dulu tante sama om berpikir jika berpisah lebih baik dari pada terus bersama tanpa cinta, dia memang sayang sama tante tapi bukan cinta dan kami berpikir Sagara akan mengerti namun ternyata tidak,  perpisahan itu menjadi luka yang dalam untuknya bahkan dia enggan dipanggil dengan sebutan Saga atau Gara,"

"Memang kenapa dengan nama itu tan? Nama pemberian om Esa?" Tante Emilia menyesap jus jeruk yang kusediakan untuknya sebelum kembali bercerita.

"Kamu tau SW Hospital kan?" Aku mengangguk "SW Hospital itu milik keluarga papa Bii, Sagara Wisesa,"

"Jadi nama Sagara itu dari nama om Esa?" Kami sudah saling kenal begitu lama namun aku tidak pernah tau detail tentang keluarganya dia selalu berusaha menghindari pembicaraan tentang keluarganya dan lebih suka mengulik tentang keluargaku.

"Ya, sejak kami bercerai siapapun yang memanggil Saga, Gara atau Sagara dia tidak akan pernah menanggapinya, hingga dia tau kamu bekerja di kantor cabang dan pada akhirnya dia membantu tante mengelola GG Group dia baru mau dipanggil dengan sebutan Saga kembali, itupun niat awalnya agar kamu tidak tau jika dia adalah bos kamu,"

Aku terkejut mendengarnya "jadi Bii?" Tante Emilia mengangguk "dia selalu menjaga kamu Sya, kamu adalah bagian terpenting di hidupnya, awalnya tante berpikir setelah perceraian kami dia tidak akan pernah jatuh hati kepada perempuan manapun,"

"Kenapa tante bisa berpikir seperti itu?" Dari ekspresi terkejut Kini aku menatap bingung ke arah tante Emilia.

"Dia merasa papanya meninggalkan kami karena cinta pertama papanya bercerai dengan suaminya, dia tidak sengaja mendengarkan pembicaraan kami dan salah menanggapinya, tante sudah menjelaskannya berulang kali namun baginya semua penjelasan itu hanyalah alasan yang dibuat oleh tante agar dia tidak membenci papa kandungnya. Setelah itu Sagara yang penuh kasih sayang lenyap sampai dia bertemu kamu, sejak saat itulah tante akhirnya bisa melihat sosok Sagara yang penuh kasih sayang lagi,"

"Dia itu baik dan juga hangat tan, tapi wataknya tuh kaku, susah dibilangin, kalau udah maunya nggak bisa diganggu gugat,"

"Tapi dia selalu luluh sama kamu," aku terperangah mendegarnya "mana ada, sama aja tante, dia juga nggak bisa ditolak maunya kalau A ya A, susah banget dibelokin ke B,"

"Bisa, di dunia ini yang maunya didengar sama dia cuma kamu, tante mohon ya kamu bujukin dia, terserah bilang apa aja, kamu juga bisa bilang biar dia terima warisan itu supaya istri papanya nggak kebagian apa-apa dan hidup merana,"

"Ehh bisa begitu tan?" Tante Emilia mengangguk dengan semangat "apapun itu Bii harus ketemu sama papanya Sya, karena bagaimanapun dia adalah anaknya, nggak ada yang namanya mantan anak Sya, kamu bisa kan bantu tante sayang?"

*****

Malamnya aku tidak bisa terlelap padahal aku sudah minum obat, Gara nampak lelah hari ini jadi aku tidak berani mengatakannya.

Hingga tiga hari berlalu aku juga belum berhasil mengatakannya, aku takut dia akan marah jika aku mengungkit soal papanya.

Berhari-hari aku berpikir bagaimana jika aku tidak berhasil membujuk Gara lalu akhirnya om Esa meninggal tanpa sempat berbaikan dengan putranya ini?

Hingga di pagi ini tubuhku terasa lemas, perutku juga terasa panas dan perih sepertinya asam lambungku naik pagi ini.

"Sudah siap?" Gara sepertinya berdiri di ambang pintu namun aku tidak bisa mengangkat kepalaku, pening menjalari seluruh kepalaku.

"Sya?" Terdengar derap langkah kaki mendekat "are you okay?" Gara berlutut di depanku yang masih duduk di ujung kasur.

"Pusing Bii, mual juga" keluhku "mau ke rumah sakit?" Aku menggeleng "nggak, aku mau tidur seben- uuugggh," rasa mual tiba-tiba menjadi tidak terkendali aku bangkit dan berlari menuju kamar mandi.

"Jangan kesini, jorok," namun Gara tak menggubrisnya dia tetap masuk ke dalam kamar mandi kemudian memijat tengkukku sampai aku selesai mengeluarkan semua isi perutku hingga mulutkupun terasa pahit.

Aku berkumur lalu mencuci mulutku dengan mouthwash, kubasuh wajahku beberapa kali kemudian kubiarkan Gara yang mengeringkan wajahku dengan handuk.

"Kerumah sakit ya?" Aku mengangguk lemah, setelah wajah dan tanganku kering Gara meletakkan handuk di samping wastafel kemudian menggendongku keluar dari kamar mandi.

Setibanya di rumah sakit Gara langsung menempatkanku di ruang VVIP dan dokter juga segera memeriksa kondisiku.

"Sudah minum obatnya semalam?" Aku mengangguk "bisa tidur?" Aku menggeleng "pak Saga sebaiknya kita tunggu sokter Sandra terlebih dahulu," wajah Gara mendadak tampak pias.

Benar saja setelah dokter Sandra datang dan melakukan pemeriksaan kepadaku kemudian berkata kepada Gara "maaf pak, sepertinya dosis antidepresannya harus ditambah," wajah Gara terlihat pucat, apakah ini pertanda kesehatan mentalku semakin memburuk?

Setelah dokter Sandra pamit Gara mendekat kemudian duduk di kursi tangannya meraih tanganku kemudian dia mengangkatnya dan menempelkan bibirnya di punggung tanganku.

"Kamu mau ketemu Alfian?" Aku menatapnya bingung "hah?"

"Atau kamu mau Anne beserta para penggemarnya bersujud di depan kamu Sya? Bilang apapun yang kamu mau, aku akan penuhi semuanya,"

Uh oh sepertinya dia merasa aku menjadi seperti ini karena Alfian atau Anne. Tapi bukankah ini kesempatan yang bagus supaya Gara mau bertemu dengan papanya?

"Aku boleh minta semauku?" Gara mengangguk dan mengusapkan punggung tanganku di pipinya.

"Kamu baikan ya sama om Esa?" Gara memejamkan matanya kemudian mengangguk "hmm,"

Finding The HappinessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang