Bagian 29

74 13 0
                                    

"Pihak kita sudah mendapatkan dua puluh persen saham SW Hospital sesuai perintah bapak, lalu apakah untuk RUPS minggu depan Qailula akan hadir?"

"Tidak, saya yang akan mengelola semuanya, Nafisya butuh ketenangan agar kondisi mentalnya semakin membaik, surat kuasanya pun sudah ditanda tangani, jadi saya yang akan mengurus sisanya,"

"Baik pak, untuk jadwal hari ini dan besok semuanya sudah tertera di email,"

"Apartemennya bagaimana?"

"Semuanya sudah siap, bapak dan Qailula hanya tinggal berangkat saja,"

"Oke, kamu bisa keluar sekarang," setelah Erik keluar kuangkat kepalaku dari dada Gara dan menatapnya dengan tatapan tidak mengerti "kita mau kemana?"

"Berlibur,"

"Liburan?" Dia berdeham dan menatap wajahku dengan intens "kemana?"

"Shanghai, ada pekerjaan sedikit disana, kamu bisa bersenang-senang selama aku kerja,"

"Aku nggak kerja lagi dong? Nanti tabunganku nggak naik-naik Bii,"

"Peraturan di kontrak, kamu harus ikut kemanapun  aku pergi, jadi dihitung bekerja,"

Sorot matanya tidak berubah dia terus menatapku dengan intens "kamu kenapa sih liatin aku begitu?"

Tangannya tiba-tiba terulur dan mengusap pipiku dengan lembut "sorot mata kamu berubah ketika ku katakan kita akan pergi berlibur, apakah kamu senang?"

"Aku nggak tau ini efek depresi atau enggak, cuma aku tuh ngerasanya bingung mau ngapain di sini, tanpa disadari aku jadi sering ngelamun liat keluar jendela dan ketika kamu bilang kita mau liburan suasana hatiku tiba-tiba berubah,"

"Nanti kalau kamu nyaman di Shanghai apa kamu mau stay di sana?" Aku terperangah mendengar kalimat yang dilontarkan olehnya.

"Apa Bii? Stay di Shanghai?" Dia mengangguk dengan serius "kamu mau jadiin aku TKW?"

Tatapan seriusnya menjadi tatapan gemas, wajahnya kemudian mendekat dan mengecup bibirku kilat "mana mungkin aku jadiin kamu TKW Sya, pemegang saham mayoritas SW Hospital harusnya jadi bu bos yang bisa hidup di belahan bumi manapun tanpa takut kekurangan uang,"

"Aku ngerasanya jadi kayak pencuri tau nggak sih, pasti istri papa kamu ngecap aku sebagai pencuri warisan,"

"Dari pada dia pencuri kebahagiaan orang lain," wajah Gara berubah menjadi masam "Bii, sekarang aku mau tanya sama kamu,"

"Tentang? Wanita peselingkuh itu?" Aku menggeleng "bukan, kalau seandainya kita menikah dan aku meminta berpisah karena aku merasa nggak bisa membalas cinta kamu, apakah kamu akan terima?"

"Tentu, yang terpenting untukku adalah kebahagiaan kamu,"

"Itulah yang terjadi dengan orang tua kamu, mereka berharap dengan berpisah semuanya akan menjadi lebih baik, karena bertahan di dalam pernikahan tanpa landasan cinta itu berat Bii, berpura-pura jika keluarga kalian bahagia tidaklah mudah, dan bagi mereka berpisah adalah solusi satu-satunya,"

"Jangan terpengaruh dengan omong kosong mama, dia hanya nggak mau nama baik Sagara Wisesa tercoret karena perceraian mereka dan mama selalu menjadi tameng untuk pria yang nggak tau diri itu,"

Sepertinya pikiran bawah sadar Gara sudah mendoktrin dirinya tentang kebenaran alasan perceraian kedua orang tuanya yang tidaklah benar, memang benar seperti kata pepatah 'apa yang kita lihat atau dengar tidak selalu benar'

"Kamu sudah cukup menderita Sya, aku mohon jangan pikirkan hal itu, semuanya sudah berlalu dan tidak ada yang perlu dijelaskan lagi,"

"Kalau begitu lepaskan semua dendam kamu Bii, aku hanya bisa tenang jika hubungan kamu dan papa kamu membaik,"

"Oke, sesuai permintaan kamu," lihatlah begitu mudah mulutnya berucap seperti tak ada beban sama sekali.

"Kamu nggak keberatan?" Dia menggeleng "asalkan kamu bahagia apapun bisa kulakukan,"

Hatiku terenyuh mendengarnya, dia bisa melakukan apapun untukku, bahkan sesuatu yang dibencinya sekalipun.

"Kenapa aku jadi merasa kamu bisa menukarkan segalanya agar aku bahagia?"

"Memang, tujuan hidupku hanyalah untuk membuat kamu bahagia,"

"Meski itu melukai hati kamu sendiri?" Tanyaku seolah sangsi, padahal aku tahu betul jawaban atas pertanyaan yang kulontarkan sendiri.

"Aku bertanggung jawab atas perasaanku sendiri, jadi kamu tidak perlu merasa terbebani Sya, cukup pikirkan diri kamu sendiri, perasaanku bukan tanggung jawab kamu, tapi kebahagiaan kamu adalah tanggung jawabku,"

Ucapan tulus Gara menembus relung hatiku, seolah-olah ucapannya seperti gerimis di musim kemarau, terasa 'menyejukkan'

Shanghai

Kurapatkan mantel yang kukenakan sambil tetap melihat deretan pecakar langit yang ada di seberang sungai.

Tiga hari berlalu begitu cepat, aku tidak menyangka jika kota ini memberikanku ketenangan yang luar biasa, semua sudut kota ini membuatku merasakan perasaan bahagia hingga sedikit demi sedikit mengikis luka batin yang kuderita selama ini.

Dan tatapan khawatir yang acap kali diperlihatkan Gara ketika ada di Jakarta tak pernah nampak sedari kami menginjakkan kaki di kota ini.

Dia bahkan mengatakan jika aku terlihat lebih ceria ketika berada di sini, bahkan semalam aku bisa tidur tanpa minum obat.

Kejadiannya berawal ketika Gara masih sibuk memeriksa berkas dan aku memilih untuk menonton TV.

Udara cukup dingin malam itu, namun remote pemanas ruangan berada jauh dari jangkauanku, karena tidak ingin menganggu Gara akhirnya kunaikkan kakiku dan kuselipkan di sela paha Gara dengan merubah posisi dudukku menjadi sedikit miring.

Sedangkan Gara nampak tak terusik dan masih fokus memelajari berkas kerjasama perusahaan.

Semalam aku Aku berpikir untuk menunggu Gara sampai selesai bekerja namun rupanya rasa kantuk menyerangku terlebih dahulu hingga akhirnya kujatuhkan kepalaku di ceruk lehernya, kuusalkan wajahku di sana dan mulai memejamkan mata dengan nyaman.

"Menurut prakiraan cuaca petang ini akan turun salju, mau pulang sekarang?" Lamunanku terhenti, Kurasakan Gara mendekapku dari belakang, tangannya melingkupi tangan telanjangku memberikan rasa hangat disana.

"Lihat salju boleh?"

"Dari apartemen juga bisa,"

"Mau di sini Bii, sekalian aku mau tunjukin kalo kamu nggak bisa dilirik-lirik," suara kekehan terdengar dari belakang tubuhku.

"Cemburu?"

Sejak kami sampai aku sering mendapati tatapan menggoda yang ditujukan untuk Gara padahal dia sudah berjalan beriringan denganku.

"Nggak, cuma kesal aja, udah tau kita jalan berdua masih aja ganjen, padahal ganteng Dylan Wang loh dari pada kamu,"

"Aktor yang dramanya kamu tonton ulang tiap hari itu?" Gara mendengus kemudian melanjutkan ucapannya "karena mereka tau dia adalah super star sedangkan aku orang biasa jadi lebih mungkin menggapai aku dari pada sang aktor,"

"Orang biasa? Orang biasa dari mananya yaa?" Tanyaku dengan nada menyindir, namun sindiranku malah membuatnya kembali terkekeh.

"Sya," pelukannya terlepas lalu tubuhku dibalikkan dengan lembut, kini kami saling bertatapan "Nafisya,"

Keningku berkerut mendengar dia memanggilku berulang kali "kenapa sih?" Dia menatapku dengan teduh "aku cinta kamu, dan akan kulakukan apapun agar kamu selalu merasa bahagia,"

Rasa bahagia membuncah dan memenuhi seluruh sudut relung hatiku, perasaan bahagia karena dicintai membuatku ingin menangis.

Dengan tatapan berkaca-kaca kulingkarkan kedua lenganku di lehernya kemudian kudekatkan wajah kami dan kusentuhkan bibirku dengan bibirnya.

Kupejamkan mataku ketika kurasakan dia mulai memagut bibirku dengan lembut, aku sadar jika kami masih berada di tempat umum, tapi aku tidak peduli karena saat ini yang terlihat olehku hanyalah dia.

Finding The HappinessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang