Bagian 10

136 16 0
                                    

Sunyi dan sepi yang menyambutku ketika aku kembali ke apartemen, dengan langkah gontai aku melangkah ke dalam kamar, kutatap nanar ponsel yang masih tergeletak di posisi yang sama seperti ketika aku meninggalkannya tadi.

Kuambil tempat di ujung ranjang dan kuraih ponsel itu "pertama kalinya pasti sakit tapi setelahnya aku akan terbiasa," kucoba untuk meyakinkan diriku sebelum meng klik link yang diberikan oleh Nana.

'Anya Fitriana'

Aku tidak asing dengan nama ini, akun yang difollow oleh Alfian cukup sedikit dan aku selalu mengingat nama-nama perempuan yang difollow olehnya.

Awalnya kupikir Anya ini adalah teman sekolahnya dulu jadi aku tidak menaruh perasangka lain kepadanya namun ternyata aku salah, sepertinya salah satu teman Alfian yang mengenalkan mereka.

Karena riwayat pendidikan dan tempat kerja gadis ini bertolak belakang dengan Alfian.

Tidak ada foto mereka berdua, namun mataku terpaku pada sebuah foto tangan yang saling bertaut, nampak sekali jika gadis ini ingin memerlihatkan gelang yang melingkar di tangannya.

Sedangkan caption yang tertulis terlihat sangat bahagia akan hadiahnya itu 'cantik sekali!!! Makasih suami masa depanku'

Aku tertegun membaca tiga kata terakhirnya, suami masa depanku.

Apakah mereka sudah merencanakan pernikahan?

Air mata kembali berlinang dari mataku, perasaan sesak menyergap dadaku. Tuhan, kenapa rasanya harus sesakit ini?

Dosa apa yang sudah kulakukan hingga kau menghukumku seberat ini? Aku tidak pernah meminta suami CEO, GUS, atau Mafia seperti para pembaca novel yang sedang heboh saat ini.

Permintaanku sederhana, aku hanya mau bersama dia, tapi ternyata engkau tak mendengar doaku, apakah dia terlalu baik untukku? Ataukah aku yang terlalu buruk untuknya?

Isakan dan raungan kembali terdengar, kupukul-pukul dadaku berharap sesak yang kurasakan sirna namun bukannya sirna rasa sesak ini semakin mencekikku.

Tak seperti sebelum-sebelumnya, ada dia yang menenangkanku, memberi penghiburan untukku, kini hanya kesunyian yang menemaniku.

Rasa sakit yang kurasakan semakin berlipat-lipat. Tubuhku merosot ke lantai sedangkan raunganku semakin tidak terkendali.

Kenapa tuhan memberikan rasa sakit sedalam ini kepadaku? Dosa besar apa yang sudah kulakukan di masa lalu hingga tuhan menghukumku seperti ini?

Kutarik dengan sekuat tenaga gelang yang diberikan oleh Alfian hingga gelang itu terlepas kemudian kulemparkan ke sembarang arah.

Semua pemberian Alfian tidak berarti apa-apa, dia hanya sekedar memberikan hadiah bukan karena dia memiliki perasaan lebih kepadaku.

Jika saja aku tahu dari awal, mungkin rasa sakitnya tidak akan separah ini, kini hatiku sudah lebur, aku menghabiskan seluruh cintaku untuknya namun kini semua itu hanya sia-sia.

Sekuat apapun aku berjuang dan meminta kepada sang pemilik hati kalau memang dia bukan takdirku dia pasti akan melewatiku.
*****
Bulan bergeser dengan matahari. Kilauan mentari pagi mulai menyinari kota, sedangkan aku masih dengan posisi yang sama seperti semalam.

Tidak tidur dan hanya terus menangis meratapi cinta sepihakku ini. Namun kini aku harus bekerja. Aku boleh menangisi Alfian sesuka hatiku tapi aku tidak bisa membiarkan hal ini memengaruhi pekerjaanku.

Dengan berat aku berdiri, meskipun sulit karena kakiku kebas setelah tertekuk semalaman aku tetap melangkah ke kamar mandi aku harus segera bersiap untuk bekerja.

Butuh usaha keras untuk menutupi wajahku yang membengkak karena tidak tidur dan menangis semalaman.

Setelah memastikan wajahku terlihat baik-baik saja kuraih hand bag dan segera berangkat, melupakan ritual sarapan bahkan meminum air putih sajapun tidak. Entah hilang kemana semua nafsu makanku.

Matahari bersinar dengan terang ketika aku keluar dari lobi apartemen, kupilih berjalan kaki dari pada harus membawa mobil, sebenarnya gedung kantor baruku hanya berjarak tiga gedung sebelum apartemen yang kutempati tapi letaknya di seberang jalan.

Kebetulan sekali jalanan di kawasan ini merupakan jalur satu arah dan harus memutar terlebih dahulu, jadi kuputuskan untuk berjalan kaki dan melewati JPO yang berdiri dengan megah tepat di atas jalanan ini.

Ketika mulai berjalan rupanya angin pagi bertiup cukup kencang pagi ini, meniup helaian rambutku yang sengaja kugerai hari ini.

Semesta sepertinya sedang memberikan penghiburan kepadaku, dan kini aku hanya bisa berharap aku sanggup menahan tangisan sampai aku pulang nanti.

Ketika sampai di kantor ternyata pak Robi sudah menungguku di lobi. Rupanya beliau sengaja menungguku agar aku bisa langsung mendaftarkan sidik jari ke petugas keamanan.

"Nanti data kamu akan diinstal di lift khusus direksi, jadi kamu tidak perlu ikut lift para staf," jelas pak Robi ketika aku mulai melakukan pengenalan sidik jari di alat yang disodorkan petugas keamanan.

"Saya kan cuma staf pak, bukan direksi,"

"Staf CEO punya akses khusus seperti pak Erik dan kamu,"

Setelah proses instal sidik jari selesai pak Robi memberikan sebuah map kepadaku "ini rincian job desk kamu, semuanya sudah tertuang jelas di sana, seminggu ini pak Sagara sedang melakukan perjalanan bisnis ditemani dengan pak Erik jadi setelah selesai memahami job desk, kamu bisa pulang,"

Aku terperangah mendengarnya "pulang? Gaji saya dipotong dong pak?"

"Tidak, semua ini sudah sesuai dengan perintah pak Saga, sekarang kamu bisa naik ke lantai dua puluh empat, kalau ada yang tidak dimengerti kamu bisa hubungi atau datang ke ruangan saya,"

Setelah pak Robi pergi aku mencoba menaiki lift direksi, rupanya lift ini harus menempelkan sidik jari terlebih dahulu agar bisa terbuka.

Kalau seperti ini tidak akan ada staf biasa yang mampu menemui CEO ataupun dewan direksi.

Sesampainya di lantai dua puluh empat aku dapat melihat sofa berbentuk L yang sepertinya digunakan untuk menjamu tamu kemudian telrihat ruangan besar tapi pintunya tertutup lalu di depan sana ada dua pintu besar yang juga tertutup lalu ada dua meja di samping kanan dan kiri pintu itu, satu meja terlihat tertata rapi, sedangkan meja lainnya hanya ada komputer dan rak fail yang masih kosong sepertinya itu adalah meja kerjaku.

Kulangkahkan kaki menuju meja kerjaku, kuletakkan tas dan berkas di atas meja, ruangan ini sepi karena hanya ada aku di sini, tapi pencahayaannya begitu maksimal apa lagi di salah satu sisi kita dapat melihat para pencakar langit dari dinding kaca yang berada di belakang sofa.

Puas mengamati keadaan sekitar aku duduk dan mulai membuka map yang diberikan oleh pak Robi.

Di dalamnya berisi rincian pekerjaan yang harus kulakukan, keningku berkerut ketika membacanya.

Isinya terasa aneh dan tidak masuk akal. Memasak? Pekerjaan apa ini? Di dalam berkas ini dijelaskan pekerjaan spesifikku adalah memasak untuk pak Sagara dan membuat jadwal harian untuknya.

Kalau seperti ini aku tidak mirip asisten pribadinya melainkan juru masak untuknya, bahkan di sini tertulis dengan jelas jadwal memasakku.

Brunch, lunch & dinner, satu kali waktu makan maksimal dua jenis lauk, kepalaku mendadak pening, aku digaji tiga kali lipat dari sebelumnya dan mendapat banyak tunjangan hanya untuk menjadi juru masak seorang CEO?

Aku sudah memikirkan gundiklah, ani-anilah, tapi ternyata aku malah dijadikan juru masak, sungguh diluar nalar.

Atau CEO ku yang tidak waras?

Finding The HappinessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang