Bagian 6

173 17 0
                                    

Aku duduk di atas ranjang dengan TV yang menyala tapi semuanya terasa sunyi.

Aku memang tidak pernah tahu seperti apa wajah kekasih Alfian tapi kejadian di kolam renang tadi sudah menjelaskan semuanya, tidak mungkin mereka sedekat itu jika mereka bukan sepasang kekasih karena aku tahu orang seperti apa Alfian itu.

Inikah alasan Alfian mengajakku kemari? Dia ingin memperkenalkan kekasihnya padaku? Seandainya aku tahu dari awal aku akan menolak ajakannya hari ini.

Pantas saja Alfian begitu bersemangat kemari, kuremas jemariku yang saling bertaut menahan rasa sesak yang semakin menjadi-jadi.

"Tangan kamu bisa luka kalau ditekan pakai kuku begini," sebuah tangan besar melepaskan simpul jemariku membuat kuku ibu jari tangan kananku tak lagi menyentuh punggung tangan kiriku melainkan punggung tangan lelaki ini.

"Aku terlalu bodoh ya? Seharusnya aku tahu dari awal kalau hatinya bukan milikku,"

Air mata kembali luruh, aku kembali menangis tersedu-sedu dihadapannya. Sedangkan dia hanya menatapku dalam, bukan tatapan iba melainkan tatapan yang terasa begitu hangat.

Ia mendekatkan dirinya kemudian memeluk tubuhku membuat suara isakanku semakin keras.

"Kalau kamu buta seharusnya kamu bilang sama aku supaya aku bisa tuntun kamu dan kamu nggak akan jatuh ke selokan kayak sekarang,"

Kulepaskan pelukannya kemudian kutatap kesal wajahnya dengan wajahku yang masih bersimbah air mata "kamu itu tahu cara hibur orang nggak sih?,"

Dia tidak menjawabnya namun kedua tangannya membelai pipiku, menyeka air mataku dengan lembut. Wajahnya mendekat hingga dahi kami saling bersentuhan.

Sedangkan kedua tangannya merambat dari pipi ke belakang kepalaku. Wajahnya semakin mendekat hingga hidung kami bersentuhan.

Mata kami saling terpaku satu sama lain "kalau kamu mau dia maka aku akan melakukan segalanya,"

Dia buka  orang biasa, ketika aku mengatakan ya maka dia akan melakukan segala cara bahkan tidak mungkin cara kotor sekalipun.

Tanganku perlahan naik hingga kutangkupan di kedua pipinya "kamu nggak boleh sakitin dia, aku cinta sama dia," napasnya terdengar begitu berat.

"Aku tidak akan menyakitinya, aku hanya akan membuat dia menjadi milikmu,"

"Dengan cara memisahkan dia dengan kekasihnya?" Tatapan matanya nampak berkilat tajam, membuatku menurunkan pandangan hingga aku tak lagi menatap matanya.

"Aku cuma butuh kamu bilang ya Sya, hanya itu,"

Kujauhkan wajah kami kemudian tanganku merambat turun hingga ke dada lalu ke punggungnya.

Kudekap tubuhnya dengan erat, kusandarkan kepalaku di dadanya, isakanku kembali terdengar.

"Jangan lakukan apapun, cukup temani aku sampai aku bisa bangkit lagi, dia memang bukan takdirku dan aku harus menerimanya,"

Deru napasnya terdengar berat tapi dia tidak berkata apa-apa lagi, kedua lengannya dengan lembut membungkus tubuhku.

"Aku mau minta pin ponsel kamu boleh?" Tanyanya setelah keheningan menyelimuti kami beberapa saat.

"Tiga satu satu tiga," ketika dia hendak melepaskan pelukan kami aku semakin erat memeluk tubuhnya "jangan di lepas,"

"Mau ambil hape kamu sebentar," akhirnya dia hanya melepas satu tangannya kemudian meraih ponselku yang sepertinya tergeletak di dekat kami.

Aku tidak peduli apa yang akan ia lakukan dengan ponselku sedangkan aku semakin menenggelamkan wajah di dadanya.

Dia terasa begitu lama memakai ponselku, entah apa yang dia lakukan tapi aku tidak peduli akan hal itu sekarang.

"Sudah tidur? Aku merasakan satu tangannya kembali melilit di tubuhku, sepertinya dia sudah selesai menggunakan ponselku "mana bisa tidur,"

"Bisanya nangis ya?"

"Kamu mau terus ledekin aku?" Kulepaskan pelukan kami dan kutatap wajahnya kembali dengan tatapan nanar.

"Kalau kamu kumpulin air mata kamu dari awal nangis aku yakin bakalan penuh satu bak mandi,"

Aku mencebik mendengar ejekkannya, karena tidak tahan diejek terus menerus aku hendak bangkit namun dia mencekalku bahkan menggulingkanku di atas tempat tidur sedangkan dia tertelungkup di atasku dengan kedua tangannya yang masih mencekal tanganku di kedua sisi.

"Aku tahu kamu masih punya stok air mata banyak tapi yang aku mau kamu istirahat sekarang, kalau besok kamu masih mau nangis lagi silahkan Sya, tapi sekarang tidur,"

"Mana bisa tidur kalau hatinya masih begini? Biarin aja nangis sampai ketiduran,"

"Mau tidur sendiri atau kutidurin?"

"Kamu apaan sih? Lepppassshh ahh," aku berusaha memberontak tapi dia bukannya melepaskanku malah membenamkan wajahnya di tengkuk leherku dan bernapas di sana membuat bulu kudukku meremang seketika.

"Tidur Sya," ucapannya tidak datar ataupun menggoda seperti sebelumnya melainkan dengan suara berat dan tegas, jika sudah seperti ini sepertinya tidak ada jalan lain selain menuruti kemauannya.

"Oke! Oke! Tapi lepasin, aku susah napasnya,"

Dia menjauhkan wajahnya dari leher dan kembali menatapku dengan seksama "malam ini aku cuma minta kamu tidur tapi besok kamu harus makan dan tidur sesuai jamnya,"

"Kenapa kamu jadi tukang perintah begini?"

"Nurut atau aku akan telepon dia dan bilang kamu ada di sini sedang menangisi dia hanya karena dia punya kekasih."

"Loh loh mana bisa, kamu gila ya?"

"Peraturanku cuma satu kamu ikutin semua mau aku, oke?" Aku tak menjawab tuntutannya.

"Hape kamu ada di aku, aku bahkan sudah reset pinnya, jadi pilihan kamu sekarang hanya dua nurut sama aku atau dia akan tahu semua yang kamu sembunyikan selama ini, jadi kamu pilih yang mana?"

Aku menatapnya tak terima "kenapa kamu jadi gini? Kamu nggak bisa seenaknya ngebajak hape aku, kamu nggak berhak,"

"Aku berhak Sya, karena kebahagiaan kamu adalah prioritasku,"

"Kita udah nggak ketemu selama bertahun-tahun dan tiba-tiba kamu begini, are u kidding me?"

"Pilihannya cuma dua dan kamu tahu kan aku selalu melakukan apa yang kuucapkan?"

"Kamu mau jadiin aku boneka hidup?" Kutatap matanya dengan nyalang, tapi dia diam saja "aku bukan boneka ataupun mainan kamu,"

"Terserah kamu mau bilang apa Sya, aku cuma butuh jawaban kamu sekarang,"

"Nggak bisa begini Bi, kamu nggak berhak ngatur-ngatur hidup aku," aku kembali menangis tapi bukan karena Alfian melainkan karena lelaki di hadapanku ini.

Tatapannya sontak melembut dia melepaskan cengkeramannya di kedua tanganku kemudian bangkit dari atas tubuhku, tapi setelah itu tangannya kembali dan mengangkat tubuhku agar bisa duduk kemudian dia mendekapku.

"Maaf, aku nggak bermaksud bikin kamu nangis Sya, aku cuma mau yang terbaik untuk kamu."

Dia melepaskan pelukannya kemudian mendekatkan wajah kami, tangan besarnya menghapus air mata di pipiku "kamu percaya aku kan?" Sebelah tangannya menggenggam tangan kananku kemudian ia letakkan tepat di atas dadanya, degupan jantung terasa keras seperti sedang menahan amarah.

"Aku hanya mau yang terbaik untuk kamu, dan kamu percaya kan?"

Entah terhipnotis karena tatapan atau degup jantungnya kepalaku refleks mengangguk membuat senyuman lembut menghiasi wajahnya.

"Gadis pintar,"

Finding The HappinessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang