Bagian 7

161 12 0
                                    

Keesokan harinya aku bangun dengan perasaan yang masih campur aduk, aku tidak tahu harus bersikap bagaimana jika bertemu Alfian nanti, mengingatnya saja membuatku menangis apa lagi jika bertemu langsung dengannya?

Kutarik napas dengan kasar, merasa semua jalan buntu di depanku, rumah kami bersebelahan itu makin tidak memungkinkan lagi untuk menghindarinya.

Apakah aku harus menyewa apartemen di dekat kantor agar aku tak bertemu dengannya untuk sementara waktu?

Tapi alasan apa yang akan kugunakan jika ibu bertanya mengenai aku yang tidak pulang ke rumah?

Lagi-lagi aku hanya bisa menarik napas kasar dan mendesah frustasi.

"Morning," aku terkejut ketika mendengar suara berat itu, kupikir dia meninggalkanku sendirian semalam tapi rupanya dia juga ada di sini.

Dia baru saja keluar dari kamar mandi, tangan kanannya sibuk mengeringkan rambut dengan handuk.

Dengan memakai kaos polo hitam dan celana jeans dia mendekatiku yang masih berbaring malas di atas ranjang.

"Masih mau nangis hari ini?" Aku mendengus mendengar pertanyaan konyol yang dilontarkan olehnya.

"Kayaknya hobi baru kamu sekarang adalah ngejekin aku Bi, happy ya lihat wajah sengsaraku?"

"Of course no, yang aku mau bahagianya kamu Sya, dan aku rasa kamu nggak layak untuk nangisin laki-laki seperti dia,"

Hari masih pagi dan dia sudah mulai menghina orang lain "Alfian itu baik, perhatian, sayang sama aku ya walaupun cuma sebagai adek jadi kamu nggak berhak ngehina dia,"

"Bagian kalimat mana yang mengidentifikasikan kalau aku menghina dia? Aku cuma bilang kamu nggak layak nangisin dia, bukannya aku bilang dia bodoh atau apapun,"

"Kata nggak layak yang kamu ucapkan menyatakan dia nggak sebaik itu untuk ditangisi olehku,"

"Faktanya dia memang nggak sebaik itu, dia nggak bisa melihat cinta kamu yang begitu besar dan begitu tulus, atau jangan-jangan dia pura-pura nggak tahu karena pada dasarnya dia memang hanya punya perasaan sayang kakak kepada adiknya sama kamu makanya dia mengabaikan perasaan kamu?"

Ucapannya menembus tepat di ulu hatiku, seandainya Alfian memang tahu perasaanku padanya tapi dia berusaha menepisnya berusaha untuk mengingkarinya karena baginya aku memang hanyalah seorang adik yang harus ia sayangi, seorang adik yang harus ia lindungi.

Itu artinya dia menolakku secara halus dan rasa sakitnya semakin tidak terkendali.

"Aku hanya berbicara kemungkinan terburuknya Sya dan air mata kamu nggak seharusnya disia-siakan untuk laki-laki semacam itu,"

"Itu hanya kemungkinan dan pikiran jelek kamu Bi, Alfian nggak akan begitu,"

"Bukankah lebih baik menganggapnya seperti itu? Agar kamu lebih mudah untuk melupakannya,"

"Luka yang kemarin masih basah Bi dan kamu menaburkan garam di atasnya, bukankah kamu begitu kejam?" Aku bangkit dan merubah posisiku menjadi duduk sedangkan dia menghela napas berat tapi kemudian ikut duduk di atas ranjang.

"Madi sekarang, setelah sarapan kita bahas ini lagi,"

"Setelah ucapan-ucapan kamu yang menyakitkan kamu memintaku untuk bersikap baik-baik saja? Aku bukan kamu Bi, semua kata-kata kamu tepat menusuk di hatiku dan sekarang kamu ingin aku melakukan rutinitas seperti biasanya? Kamu memang nggak punya hati!" air mata kembali merebak dari mataku.

"Oke, aku salah, aku minta maaf Sya," dia meraih kedua tanganku dan menaruhnya di atas dadanya.

"Kamu boleh pukul aku, kamu boleh tampar aku," bukannya kupukul aku malah mengalungkan kedua tanganku di leher dan memeluk tubuhnya, aku menangis terisak-isak di dadanya.

Finding The HappinessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang