Bagian 26

83 12 0
                                    

"Qailula," gerakanku menutup pintu tertahan lalu kubuka kembali pintu unit apartemenku.

"Rupanya memang kamu," Zaky kini berdiri di hadapanku dengan memakai seragam polisi, bajunya mencetak jelas dada bidangnya, aku yakin gadis-gadis di luaran sana akan saling berbisik ketika melihat penampilan Zaky saat ini.

"Apa kabar kak? Kayaknya udah lama banget kita nggak ketemu ya?" Aku keluar dan menutup pintu di belakangku.

Seharusnya bisa saja aku mengajak Zaky masuk ke dalam apartemen tapi membawa lelaki lain selain Gara ke dalam apartemen menurutku bukan ide yang bagus.

"Kamu mendadak menghilang dan saya tidak tau harus cari kamu kemana," aku meringis mendengar penuturan Zaky.

"Hape aku hilang kak, entah jatuh entah kecopetan, aku nggak inget tau-tau pas di rumah udah nggak ada,"

Keningnya nampak berkerut, terlihat mencerna ucapanku yang sekilas terdengar tidak masuk akal itu.

"pas itu aku kan buru-buru nganterin berkas jadi naik MRT, nggak tau kalo pas jam pulang kantor rame banget terus pas keluar dari MRT entah kesandung apa gimana aku jatuh malah pergelangan kakiku sempat diinjak orang jadi udah nggak inget soal hape inget sakit sama berkas yang harus dianter aja,"

Zaky lantas menunduk dan memerhatikan kakiku dengan seksama "udah sembuh ini cuma kalau capek jalan jauh suka tiba-tiba nyeri sama kesemutan, gimana kalau sekarang kita ngobrol di kafe sebelah aja kak? Biar nggak berdiri lama-lama aku,"

Zaky menaikkan tangan kemudian melirik arloji yang dikenakannya "kayaknya hari ini nggak bisa Qai, saya harus tiba di kantor satu jam lagi,"

"Oh oke, ini kakak scan aja kontakku yang baru," kukeluarkan ponsel dari saku kardigan yang kukenakan.

"Nanti saya kabari kamu lagi," ucapnya setelah selesai memindai dan menyimpan kontak baruku di ponselnya.

"Jangan mendadak ya kak kalo ngajak keluar soalnya mulai besok aku udah masuk kerja," Zaky mengangguk "baiklah, sampai jumpa Qai,"

Setelah Zaky berlalu aku kembali ke dalam apartemen dan segera membereskan barang belanjaanku.

Sebelum berangkat ke kantor tadi Gara mengatakan akan pulang untuk makan siang jam satu nanti jadi aku bisa bersantai sejenak sebelum memasak jam dua belas nanti.

Selesai menata barang belanjaan kulepaskan kardigan dan rok sebetis yang kukenakan menyisakan tanktop dan hotpants lalu kurebahkan tubuhku dengan nyaman di atas kasur.

Rupanya ramai sekali chat yang masuk ke ponselku satu pesan dari Zaky, lima belas pesan dari Nana dan enam puluh satu pesan dari Kinara.

Ada apa gerangan sampai Kinara mengirimkan pesan sebanyak itu? Ketika kubaca satu persatu kepalaku mendadak pening dengan rangkaian kata keluh kesahnya yang satu pesan saja isinya cukup panjang.

Karena tidak sanggup untuk membaca semuanya kupilih untuk menghubunginya saja dan meminta dia untuk mendongengiku tentang kisah cintanya itu.

"Ya ampun Kin chat elo udah kayak rel kereta api dari Banyuwangi ke Banten, panjaaaang banget," keluhku ketika panggilanku dijawab olehnya.

"Ya gimana sebenarnya gue mau bagi dua elo sama Nana, tapi dia asik kelonan sama Ardhan jadi kambing congek gue," mataku melotot mendengar ucapan Kinara.

"Apa? Apa lo bilang? Nana sama Ardhan ngapain?"

"Kelonan Qaiii, apa siiiik namanya? Making love kan yaa?"

"Mana mungkin anjir, gila aja lo,"

"Seriusan, gue tadi nelepon dia nah pas jawab dia sambil ngedesah terus bilang gini ahh Ardhan berhentih dulu Ar,"

Aku melongo mendengar Kinara mencontohkan ucapan Nana.

"Qai? Ihh lo kok mendadak diem, Qai? Qailula? Lo budeg apa ya? Apa sambungan gue yang putus ini?"

"Sori Kin sori, gue mendadak ngelag, seriusan Nana begitu sama Ardhan?" Aku masih tidak percaya dengan apa yang baru saja dikatakan oleh Kinara di ujung sana.

"Ehh gue belom bilang ke elo yaaa pas gue gak sengaja pergokin mereka gituan di kantornya Nana?"

"Hah? Gituan di kantor?" Aku semakin tidak bisa mencerna ucapan Kinara.

"Belom sampe nge seks sih cuma baju atas Nana udah ilang semua dan Ardhan sibuk banget kecup sana sini," wajahku mendadak terasa panas membayangkannya.

"Dan lo tetiba masuk?" Kinara berdecak "ya enggak lah, bego banget sih lo, pintunya tuh kebuka dan gue liat sekilas terus langsung buru-buru turun, untung gue pake flat shoes jadi nggak denger dia hentakan kaki gue, tapi setelahnya gue bombardir sih lewat telepon, gila aja Qai gituan di kantor, iya tau karyawannya udah pada pulang tapi seenggaknya kan bisa dikunci dulu pintunya,"

"Jadi cinta Nana bukan cinta sepihak dong?"

"Sayangnya tetap sepihak karena pada dasarnya Ardhan nggak pernah tau kalo Nana cinta sama dia, hubungan mereka nggak lebih dari Friend with benefit,"

"Dan Nana suka rela gitu jadi pemuas nafsu Ardhan?"

"Gue nggak bisa berkomentar apapun kalo semua itu didasarkan pada cinta, karena terkadang cinta itu buta Qai, tidak mengenal arah, kalaupun nanti Nana bisa cinta sama orang lain mungkin dia akan menyesal pernah ngejalanin FWB sama Ardhan,"

"Berlindung dibalik kata namanya juga cinta, mungkin bagi orang lain sangat menggelikan namun bagi yang mengalaminya, asalkan bisa bersama akan kulakukan segala cara,"

"Dari kita bertiga yang bucin tolol kayaknya cuma dia,"

"Ohh jadi elo masih waras yaaa?"

"Kadang siiiih hahahahaha, tapi sebisa mungkin gue berusaha untuk tetap waras karena pada kenyataannya gue tau bukan gue yang dia cinta Qai, jadi lebih baik mundur teratur,"

"Sama, karena mencintai tanpa dicintai itu sakit Kin, dia berhak bahagia dengan perempuan yang dicintainya dan kita juga berhak bahagia tanpa kehadiran mereka,"

*****
Setelah puas mengobrol dengan Kinara aku bangkit ke dapur untuk memasak makan siang, jarum jam sudah menunjukkan pukul dua belas lebih lima menit.

Namun memasak makanan lengkap rupanya bukan ide bagus di dapur mungil apartemen ini, posisi kompor yang vertikal juga menyusahkanku, apa lagi jarak kedua tungkunya juga tidak memungkinkan memakain panci dan penggorengan yang berukuran cukup besar.

Jadi aku harus memasak satu persatu masakan, menu awal yang kusiapkan kuganti dengan menu yang cukup mudah karena kondisi dapur yang tidak memungkinkan ini.

Semangkuk sapo tahu seafood akhirnya tersaji bertepatan dengan Gara yang membuka pintu dari luar.

"Baru selesai?" Gara melepaskan jas yang dikenakan kemudian menyampirkannya di atas sofa lalu berjalan ke arahku sembari menggulung lengan kemejanya sebelum mencuci tangan.

"Aku ribet masak di sini, dapurnya kecil, nggak bisa leluasa," aku berkeluh sembari menyiapkan nasi dan air minum.

"Mau pulang ke penthouse?" Tawarnya sambil memgambil tempat duduk  yang berseberangan denganku.

"Ya ampun Bii, aku pulang belom genap sehari loooh kamu udah nawarin balik ke penthouse, nggak perlu lah kesana, besok kan aku udah kerja jadi bisa masak di kantor, aku kan cuma mau cerita aja ke kamu,"

"Aku juga cuma menawarkan Sya, semua keputusan ada di tangan kamu, kalau aku senyamannya kamu aja, kamu nyaman di sini ya kita di sini, kalau kamu nyamannya di sana ya kita kesana,"

Nb: ada niatan bikin part Nana x Ardhan tapi versi 21+, cuma bakalan tayang di karyakarsa dan tentunya berbayar, tapi nggak mahal kok, cuma dua ribuan 😆😆😆😆

Finding The HappinessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang