Bagian 8

158 16 0
                                    

"Bi, masa tadi orang-orang di kantor liatin aku, jangan-jangan beneran aku kau dijadiin gundik makanya orang-orang pada liatin aku,"

Keningnya berkerut membuat alisnya sedikit menukik "semuanya?"

"enggak sih,  pas sampai di lantai delapan aja keliatan gitu mereka pada liatin aku dengan penuh minat malah ada yang bisik-bisik juga,"

"mungkin mereka asing sama kamu makanya dilihatin,  jangan negatif thinking oke?"

"takut aja kalo mereka mikir aku ini ani-ani,"

"ani-ani?"

"nama lain dari selingkuhan atau gundik,"

Dia menghela napas kasar "kenapa hal itu yang terus kamu bahas? Kamu sesempurna ini mana mungkin dijadikan selingkuhan, gundik ataupun ani-ani, "

"kamu itu nggak tau apa-apa Bi,  bahkan temen sekantor aja ada yang bilang ke aku kalo aku nggak perlu capek-capek kerja mending jual tampang ke bos maka hidupku akan terjamin, "

"ada yang bilang begitu ke kamu?" rahangnya nampak mengetat dan alisnya lebih menukik lagi,  tatapannya pun berkilat tajam.

"ada,  kata dia dengan mukaku ini bos-bos besar nggak akan mungkin bisa nolak aku,"

"BANGSAT!" aku terlonjak ketika mendengar umpatannya.

"tapi ini omongan pas maksi aja sih Bi,  bercandaan sama anak-anak terus ada yang nyeletuk begitu,"

"siapa namanya?" aku menggeleng dengan tegas, "nggak ya Bi, aku nggak mau kamu bikin ulah,"

"kasih tahu siapa namanya atau kamu mau aku cari tahu sendiri?" nada suaranya berubah,  datar tanpa penekanan sama sekali tapi justru itu yang paling kutakuti.

Kuraih tangannya dan kugenggam dengan erat "dia cuma asal nyeletuk Bi, dia nggak ada maksud lain,"

"dia merendahkan kamu sampai seperti itu tapi kamu masih bilang kalau dia asal bicara? Omong kosong apa ini Sya? Kamu sadar nggak kalau dia sudah merendahkan kamu?"

Genggaman tangan rupanya tidak cukup, akhirnya kucondongkan tubuhku dan kupeluk dirinya dengan erat.

"bukankah kamu mengatakan untuk memulai hidup baru di sini, semua yang kukatakan tadi adalah bagian dari masa lalu bahkan kini aku nggak akan ketemu dia lagi,  jadi maukah kamu melupakannya juga Bi? Anggap aku nggak pernah bilang apapun ke kamu tentang hal ini,"

"itu hanya berlaku untuk kamu,  bukan untukku,"

Masih dengan memeluknya aku menjauhkan kepala dan mendongak untuk menatapnya,  kuberikan dia tatapan cemberut dengan bibir mencebik.

"tapi yang dikatain kan aku, bukan kamu, akupun merasa biasa saja nggak merasa tersakiti dengan ucapan dia,  jadi kamu juga nggak boleh merasa tersakiti,"

"kamu dihina dan direndahkan sampai seperti itu bagaimana aku nggak marah Sya? Kamu tak ternilai harganya tapi dia menginjak-injak kamu dengan seenaknya,"

"aku mau hidup tenang,  please,  bukankah kamu janji kalau aku akan hidup tanpa beban di sini?"

Mata tajamnya perlahan melembut, sebelah tangannya mengusap pelipisku dengan sayang "oke, tapi kamu harus janji nggak akan menangisi Alfian lagi, setuju?"

"aku nggak mau membuat janji yang bahkan aku sendiri nggak tahu bisa memenuhinya atau enggak,"

"jawabannya hanya ya atau tidak,  dan aku akan bertindak sesuai jawaban kamu Sya,"

"Biiiii," aku mulai merengek karena tidak bisa memilih diantara keduanya, kuputuskan untuk tidak menjawab pertanyaannya dan kembali kusembunyikan wajahku di dadanya, "aku tunggu jawaban kamu Sya,"

Finding The HappinessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang