LEMBAR 26

1.5K 148 14
                                    

Jimin melangkahkan kakinya tergesa keluar dari kantor. Ia tak menghentikan langkahnya sedikit pun. Mengabaikan setiap sapaan dari kerabat kerjanya yang menyapanya sepintas lalu. Pikirannya terlalu kacau. Terekam jelas adegan yang dilihatnya tadi. Bagaimana Yoongi memangku seorang wanita yang notabene adalah teman kerjanya di kantor?

Jimin tau Aira memiliki rasa pada sang tunangan. Tapi Yoongi, apa Yoongi memang pada dasarnya sebrengsek itu? Jimin tak tau. Hatinya sesak.

Setelah dirasa cukup jauh, akhirnya Jimin menghentikan langkahnya. Bungkusan yang semula akan ia berikan pada Yoongi masih tergenggam erat di tangannya. Jimin terdiam. Menarik nafas dalam dan menghembuskannya dengan kasar. Sudut matanya berair. Entah kecewa entah tak menyangka. Tapi rasa sesak di dadanya itu jelas memaksa air mata keluar di ujung mata sipitnya.

Jimin berulang kali menghembuskan nafasnya kasar. Tak jauh dari ia berdiri, terdapat sebuah taman kota yang tidak terlalu ramai pengunjung. Jimin mendudukkan tubuhnya pada sebuah bangku di bawah pohon Angsana yang kini kian menguning.

Pikirannya kembali kepada apa yang dilihatnya beberapa menit yang lalu. Ada banyak tanya di dalam benaknya. Namun entah bagaimana ia harus mengemukakannya. Bukankah tadi Yoongi mengejarnya. Tapi Jimin sedang tak ingin bertemu Yoongi.

Yoongi, nama itu belakangan tidak lagi terasa asing di kehidupan Jimin. Nama itu kerap kali mengisi peran penting dalam membuatnya tertawa dan kesal belakangan ini. Ya, nama itu mulai akrab di hari-hari yang ia jalani.

Bukannya Yoongi tidak menyukai wanita itu? Tapi kenapa ia melihat Yoongi memangkunya? Apakah Yoongi mulai tertarik dengan godaan-godaan dari Aira? Tapi kenapa ia harus sedih? Bukankah ia harusnya senang.

Kepalanya menggeleng kecil, berharap apa yang barusan saja ia lakukan dapat menghilangkan pikiran jelek dirinya terhadap Yoongi.

Jimin menengadahkan kepalanya. Menatap ujung-ujung ranting pohon diatasnya dengan seksama. Menatap bagaimana angin dengan lembut menggoyangkan dedaunan yang mulai menguning itu. Jimin kembali menghela nafasnya kecil. Setidaknya sekarang perasaannya lebih tenang meski sesak di dadanya tidak berkurang.

***

Sementara di ruangan Yoongi kini telah hadir Namjoon, Seokjin, dan Hoseok. Mereka diminta Yoongi untuk datang ke ruangannya.

"Jadi, apa yang sebenarnya terjadi?" tanya Hoseok di awal.

"Jimin sepertinya marah padaku." jelas Yoongi

"Marah? kali ini hal bodoh apa yang sudah kau lakukan?" tanya Seokjin.

"Ia melihatku memangku Aira." jawab Yoongi lesu.

"KAU APA? Kau memang benar-benar bodoh, Min Yoongi!" umpat Seokjin kesal.

"Sabar, Hyung. Yoongi pasti memiliki alasan tersendiri." tenang Namjoon.

"Kau benar-benar ceroboh, Yoongi. Tak heran jika Jimin marah. Padahal ia tadi paling semangat membelikanmu amricano dan croissant." geleng Hoseok tak percaya dengan kebodohan yang Yoongi lakukan.

"Dia apa?" tanya Yoongi menatap Hoseok tak percaya.

"Sepulang aku dan dia dari makan siang, kami menghabiskan waktu berbelanja seperti yang kau perintahkan. Tepat di dekat pintu keluar, dia bilang dia ingin mampir membelikanmu kopi dan makanan kecil sebagai ucapan terima kasihnya. Dan dia bilang kau pasti akan menyukainya karena yang dia pilih adalah kesukaanmu. Kasian Jiminku."

"Oh satu lagi, ini ATMmu. Jimin tidak mau menggunakannya. Ia memaksa untuk membeli sendiri kebutuhannya. Dan dia sempat merajuk padaku karena memaksanya untuk memakai ATM mu. Aku tidak tau jika ada orang yang tidak tertarik menggunakan uangmu. Padahal Jimin bahkan bisa membeli seluruh isi butik itu dengan ATM ini jika mau." lanjut Hoseok.

Redamancy || YoonminTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang