LEMBAR 41

1K 129 8
                                    

"Tidak tinggal di kediaman keluarga Min kan? hanya itu kan?" tanya Yoongi setelah sunyi menyelimuti perbincangan mereka terakhir. 

"Sepertinya begitu. Ibu dan adik tirimu terlalu membenciku." jawab Jimin masih terfokus pada pandangannya di depan sana. 

"Kalau begitu, ayo kita pindah." ucap Yoongi to the point. 

"Pindah?"

"Iya, pindah. Kau dan aku. Pindah ke Bukit Eclipse."

"Kenapa?" tanya Jimin penasaran 

"Karena aku tak ingin kau pergi." ucapnya. 

deg.

"Yoongi, apa Aira tadi melakukan sesuatu yang menciderai kepalamu?" tanya Jimin khawatir seraya mengalihkan tatapannya menatap Yoongi lekat. Memastikan bahwa tak ada luka yang ia lewatkan. 

"Tidak ada. Kenapa memangnya?"

"Kau aneh."

"Apanya yang aneh?"

"Yoongi yang aku tau adalah sosok yang dingin, tertutup dan menyebalkan."

Yoongi menatap Jimin tak percaya. Bagaimana kepeduliannya selama ini dirasakan oleh Jimin sebagai sesuatu yang menyebalkan. Padahal tanpa Jimin ketahui, dirinya mati-matian mencari informasi tentang Jimin dan kehidupannya. Belum lagi segala perlindungan yang ia usahakan untuk melindungi Jimin dari komentar-komentar jahat di kantor. 

"Aku tak tau ternyata kau menilaiku selama ini seperti itu." ucap Yoongi kembali. 

"Kau tersinggung? Maafkan aku. Aku tak bermaksud. Lagi pula aku hanya mengatakan bagaimana sosokmu dimataku. Oh aku lupa satu hal lagi, kau itu aneh."

"Aneh? memangnya aku alien?"

"Bukan. Tapi ya kau aneh. Kau tidak bisa aku tebak. Kadang kau begitu hangat dan manis tapi sedetik kemudian kau bisa begitu dingin dan ketus. Apa kau berlaku seperti ini pada semua orang?"

"Kurasa tidak. Hanya padamu saja."

Jimin hanya ber-o ria tanpa tau bagaimana Yoongi menatap Jimin penuh puja.

"Jujur saja, aku juga bingung bagaimana aku harus menjelaskan semuanya padamu. Tapi, yang aku sadari adalah aku sudah terbiasa dengan adanya dirimu di sekelilingku. Lagipula, kau tidak buruk di mataku. Malah mendekati sempurna. Jadi jangan pergi."

"Pergi? Memangnya aku mau kemana?"

"Entah. Mungkin saja kau jengah padaku lalu memutuskan untuk pergi."

"Kau selalu berasumsi sendiri seperti itu?"

"Tidak. Tapi jujur saja, aku takut."

"Takut?"

"Kau tau, Jimin. Aku tak pernah menyukai orang menyentuh barang-barangku. Bahkan aku tak suka dekat dengan orang yang baru aku kenal. Tapi setelah aku bertemu denganmu, aku justru melakukan sebaliknya. Aku bahkan tidak suka bagaimana ibu berbicara padamu. Aku ini aneh ya."

"Iya, kau aneh." kikik Jimin geli mendengar pengakuan Yoongi barusan.

"Yoongi, boleh aku bertanya sesuatu padamu?"

"Tentu. Tanyakan saja."

"Kenapa kau menerima pertunangan ini?"

Yoongi terdiam. Namun terdengar helaan nafas setelahnya. 

"Aku juga tidak tahu. Awalnya aku juga tak ingin menerima pertunangan ini. Karena pada dasarnya kakek Min tidak pernah meminta persetujuanku atas pertunangan ini. Tapi kakek mengancamku dengan penyakit jantungnya. Jadi aku mau tidak mau harus menerimanya. Kalau kau?" 

"Aku hanya tak ingin mengecewakan kakek dan keluargaku. Mereka tidak pernah menentang mauku sedari aku kecil. Mereka selalu memberikan semua yang terbaik untukku. Bahkan saat bisnis kakek diturunkan ke ayah kemudian seharusnya aku yang melanjutkan, ayah dengan berbesar hati menanggungnya hingga saat ini karena ayah tau aku ingin menjadi seorang desaigner bukan seorang pembisnis. Jadi sebagai balas budiku, aku menerima pertunangan ini meski awalnya aku tidak tau siapa tunanganku."

"Kau anak dan cucu yang baik, Jimin. Lalu setelah ini, apa kau menyesali pertunangan ini?"

"Aku? Tidak sama sekali. Aku senang bisa mengenalmu. Meski di awal aku merasa kau begitu menyebalkan dan dingin. Tapi setelah aku mengenalimu, ternyata kau orang baik meski aneh."

"Hey, tidak seperti itu. Bagaimana bisa kau memuji orang kemudian kamu menjatuhkan setelahnya."

Jimin tertawa. Tawa yang begitu renyah dan menyenangkan, yang tentu saja membuat orang yang mendengarnya akan ikut mengulas senyum bahagia. Yoongi suka melihat Jimin yang tertawa lepas karenanya. 

"Kau tau, kau lebih cocok tertawa seperti itu ketimbang muram, Jimin."

Blush.

Jimin mendadak tergugu. Rasa panas merambat ke arah pipinya menciptakan semu merah.

"Kau kalau tak menggangguku sebentar saja, sepertinya hidupmu kurang bahagia ya?" delik Jimin kesal seraya menatap Yoongi yang kini tersenyum geli melihat Jimin yang salah tingkah.

"Aku tidak mengganngumu, Park Jimin. Aku kan hanya mengatakan apa adanya." bela Yoongi. 

"Dasar manusia aneh." omel Jimin.

"Jadi, kembali ke pembicaraan tadi. Bagaimana penawaranku tadi?"

"Entahlah. Akan ku pikirkan. Tapi ku harap kau tak terlalu menaruh harapan pada jawabanku."

"Oke." jawab Yoongi singkat. 

"Aku serius, Yoongi. Ada yang lebih pantas ketimbang aku. Dan untuk itu, kau harus mempertimbangkan kandidat lain selain aku."

"Baiklah, baiklah. Aku akan mempertimbangkannya. Tapi ku harap kau menimbangnya, Jimin."

Jimin hanya bergumam kemudian kembali fokus pada perjalanan mereka. Harusnya di tikungan depan, mereka akan tiba di bukit Eclipse. Hingga pertanyaan milik Yoongi kembali menarik atensinya lebih. 

"Jimin, kalau aku bilang, aku ingin membatalkan pertunangan bohongan ini sekarang bagaimana?" tanya Yoongi serius.

"Kau apa?" Jimin mendelik kaget dengan pertanyaan Yoongi barusan. Ia tak percaya jika Yoongi ingin membatalkan pertunangan ini sekarang. Entah bagaimana, hatinya sedih.

"Aku bilang bagaimana jika pertunangan palsu ini kita akhiri sekarang saja."

"I-itu, terserah kau saja." ucap Jimin sendu. Matanya menghindari Yoongi. Perkataan Yoongi membuat sudut matanya mulai berair. Tapi ia tak boleh sedih bukan. Lagipula ini hanyalah hubungan pertunangan palsu pikirnya. Yang beberapa bulan lagi juga akan selesai. Kenapa ia seperti ini.

Setelahnya hanya suara mesin dari mobil milik Yoongi yang terdengar. Baik Jimin maupun Yoongi memilih untuk berdiam diri memikirkan pertanyaan di pikiran mereka masing-masing. 

Redamancy || YoonminTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang