🏠; BAB 14

1.1K 150 40
                                    

Juna mengantar Hasa sampai depan gerbang, senyumnya terbit saat melihat sekolah Adiknya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Juna mengantar Hasa sampai depan gerbang, senyumnya terbit saat melihat sekolah Adiknya. "Sekolah kamu besar banget, Sa. Nggak kalah gede dari sekolah Arta." Ucapnya.

"Sekolah Arta lebih elite, Bang." Hasa berucap, sekolah Arta benar-benar besar dan megah. "Tapi kampusnya Bang Juna juga nggak kalah besar." Ucapnya.

Sebenarnya sekolah mereka itu sama-sama mahal dan sekolah elite dengan pelajaran yang begitu susah dan banyak, Ayah dan Ibu benar-benar pintar membuat anak-anaknya begitu tersiksa. Agar namanya harum Ayah dan Ibu dengan bangga menyekolahkan mereka di tempat mahal yang berbeda-beda.

Hasa begitu benci sekolahnya.

Baginya sekolah adalah neraka kedua setelah rumahnya, bagi Hasa tidak ada tempat tenang dan nyaman selain bersama keempat saudaranya.

Hasa bingung, dunia begitu luas namun kenapa kejahatan selalu disisinya? Kenapa tidak ada tempat tenang untuk Hasa?

Senyum yang selama ini dia pamerkan pada semua orang itu palsu, senyum yang berkata jika dia baik-baik saja... nyatanya dia kesakitan dan butuh pertolongan.

Tapi, disaat bersama saudaranya Hasa merasa nyaman. Senyum dan tawanya bukan palsu dan rekayasa, Hasa suka dan ingin terus bersama-sama mereka.

Hasa menunduk, sekarang bahkan sekolah belum ada setengah hari namun Hasa begitu lelah.

Saat ini sedang jam istirahat namun Hasa begitu malas untuk sekedar membuka kotak bekal, tidak bernafsu padahal perutnya sudah berbunyi kelaparan.

Hasa menenggelamkan kepalanya dilipatan tangan, kepalanya mengarah ke jendela yang langsung berhadapan pada lapangan sepak bola milik sekolah.

Saat kecil dia begitu suka bermain bola, Ayahnya itu pemain bola dan hobinya benar-benar turun pada Hasa selaku anaknya. Ayah berpesan jika Hasa harus bisa menjadi pemain sepak bola hebat dan terkenal.

Dulu cita-cita Hasa itu jadi pemain sepak bola, namun mengingat kakinya yang cacat.. mana mungkin dia bisa melanjutkan mimpinya itu. Hasa menatap langit, diatas sana pasti Ayahnya begitu sedih karena dia tidak bisa melanjutkan mimpi sang Ayah.

Sekolah Hasa itu elite dengan fasilitas terbaik, Ayah angkatnya begitu teliti memilih sekolah bagus dan mahal. Bukannya tidak bersyukur namun Hasa lebih baik belajar didalam gubuk reyot dari pada di sini, Hasa tidak suka dan benci.

"Cupu!"

Mejanya di tendang kuat membuat Hasa tersentak kaget, Hasa meremat kedua tangannya saat segerombolan siswa menghampiri mejanya.

Dengan cepat dan gemetar dia mengambil lima belas buku dari dalam tas, mengeluarkannya lalu memberinya pada si pemilik buku. "Udah aku kerjain semua...sesuai janji kalian, untuk satu hari ini tolong jangan ganggu aku." Hasa berucap.

Melihat senyum iblis mereka...Hasa tidak yakin jika janji yang mereka buat kemarin akan ditepati. Hasa menghela napas lelah, yakin seratus persen jika dia akan di pukul lagi.

Our House [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang