"Ayah kalian itu orang gila."
Ibu sedang marah, terus mengoceh di ruang tengah sambil menyilangkan kaki. Sedari tadi mulutnya tidak bisa diam menyumpah serapahi sang kepala keluarga.
Hanya ada Ibu seorang diri disana, sedang marah-marah sendiri seperti orang gila.
Ucapannya kencang, tidak jarang Ibu berteriak seperti orang tidak waras. Arta yang baru pulang sekolah langsung saja berlari menuju kamarnya, jika sedang emosi jangan sampai Ibu melihat orang karena bisa terkena imbasnya.
"Orang gila itu benar-benar tidak ingin memiliki anak."
Perkataan Ibu sontak membuat Arta terdiam di ujung anak tangga sebelum melanjutkan langkahnya ke atas.
Arta yakin, keempat saudaranya sedang berkumpul di ruang tengah lantai tiga.
"Eh, Ta. Udah pulang." Hasa berucap saat melihat Arta di ujung tangga. "Sini, tadi aku beli banyak makanan."
Hasa benar-benar menghabiskan uang pemberian Ayah untuk membeli makanan ringan serta beberapa alat menggambar.
"Nih buat kamu." Hasa melempar permen kehadapan Arta.
"Nih untuk Mas Senja." Dengan semangat dia membagi-bagikan permen pada saudara-saudaranya. "Mas Juna yang rasa kopi...Kak Gemi yang rasa vanilla."
Gemilang menggeleng kecil. "Nggak, Sa. Aku lagi sariawan." Tolaknya.
"Obat pereda demamnya udah di minum?" Senja mengecek kening Adik kembarnya.
"Udah, Mas."
Juna mengamati Gemilang yang sedari tadi tampak sedikit aneh. "Gemi, di kamar kamu banyak banget nyamuk? Kok ada ruam-ruam gitu?"
Gemilang buru-buru menutupnya, menarik bajunya sampai menutupi tulang selangka. "Iya, mungkin karena musim hujan.. akhir-akhir ini aku kalau tidur sering buka kaca balkon."
Arta duduk di samping Juna, mulai membuka snack dan memakannya. "Aku batal ikut olimpiade." Ujarnya.
"Kok bisa? Bukannya kamu udah belajar mati-matian? Kok gagal ikut?" Senja bertanya dengan raut wajah kaget, dia yang menjadi saksi giatnya Arta belajar sampai larut malam dan menahan kantuknya dengan minum beberapa teguk kopi.
"Hari ini Ayah aneh banget ya...Ayah yang batalin itu." Arta berucap.
"Betul, tiba-tiba ngasih uang saku banyak...aku jadi takut setelahnya Ayah malah minta timbal balik." Hasa menyahuti, mulutnya sibuk mengunyah permen karet sesekali membuat balon.
"Jangan berpikir yang negatif terus, siapa tahu rejeki Ayah lagi bagus.." Juna buka suara.
"Betul juga, sekarang ayo makan dan nikmati, kalau semisal di hukum itu urusan belakangan."
Mereka mulai makan snack sambil menonton televisi, sesekali tertawa pelan saat melihat film komedi lucu yang sedang mereka lihat.
Diam-diam Gemilang tersenyum kecil, ternyata Ayah menepati janjinya. Melihat keempat saudaranya tersenyum baginya sudah cukup.. tidak apa dia sakit.
Gemilang mulai menggeser tubuhnya pada Senja, ikut menonton televisi sesekali menjahili Juna.
"Bang, tau nggak sih kenapa Ayah dan Ibu milih adopsi kita dari pada punya anak sendiri?" Arta bertanya.
Pertanyaan itu sontak membuat mereka terdiam, benar juga. Kenapa lebih memilih mengadopsi anak padahal memiliki anak sendiri jauh lebih bagus... apalagi Ayah adalah CEO perusahaan besar dan sukses.
"Mas juga pernah denger kalau sebelum mengadopsi kita Ayah dan Ibu itu pernah mengadopsi anak...tapi anaknya meninggal karena kecelakaan." Senja buka suara.
KAMU SEDANG MEMBACA
Our House [END]
Fiksi PenggemarLima saudara namun tidak sedarah. Ini kisah Juna, Senja, Gemilang, Arta dan Hasa. Lima anak malang yang tidak pernah tau apa arti kebahagiaan. Kelimanya saling menutupi luka satu sama lain, bergandengan tangan dengan begitu erat tanpa niat melepas...