Juna berlari di lorong rumah sakit, mencari ruang Arta di rawat lalu masuk perlahan kedalam.
Disana sudah terdapat saudara-saudaranya sedang duduk berkumpul mengelilingi ranjang Arta.
Suara decitan pintu mengalihkan atensi keempatnya, di pintu terdapat Juna dengan napas terengah.
Juna masuk kedalam dan langsung menghampiri Arta, memeluk Adiknya dengan erat. "Ya Allah, Ta. Kok bisa sampai kejadian gitu?"
"Salamnya mana, Bang?" Sindir Senja.
Juna menepuk dahi, karena terlampau panik Juna sampai lupa mengucapkan salam. "Abang lupa, assalamualaikum."
"Waalaikumsalam." Jawab keempatnya kompak.
Juna kembali menatap Arta yang sedang duduk di ranjang, mulut anak itu sibuk mengunyah apel sementara Gemilang sedang sibuk mengupas kulitnya.
"Ta, gimana bisa tertusuk pisau?" Juna bertanya lagi, masih begitu penasaran sekaligus khawatir.
Syukur saat ini Arta begitu tenang, anak itu makan dengan lahap. Melihat itu membuat kekhawatiran Juna kian menipis.
"Abang duduk dulu, lepas jaket sama tasnya." Gemilang yang sedang duduk di kursi berucap, agak risih melihat tas besar yang Juna bawa, pasti berat. "Tasnya taruh di sofa pojok aja."
Juna menurut, berjalan ke pojok lalu menaruh tas besarnya disana tidak lupa melepas jaketnya. Setelah selesai Juna kembali melangkah mendekati ranjang Arta
Paham tatapan Juna yang menuntut penjelasan Arta pun langsung buka suara. "Tadi aku mau naik bus, tiba-tiba ada orang nggak di kenal jalan ke arah aku...aku gak berpikir dia akan berbuat macam-macam, tapi ternyata di selipan jaketnya ada pisau.. beruntung aku berhasil menghindar meskipun kena tusuk sedikit." Jelasnya.
"Kalau aku nggak menghindar mungkin aja sekarang aku udah beda dunia." Ucapnya lagi
Mendengar itu membuat Juna tahan napas, Arta yang mengalami namun Juna yang panik. "Jangan ngomong gitu, Ta." Tegur Juna.
"Untung kamu jago bela diri, Ta." Hasa menimpali.
Betul, beruntungnya Arta belajar bela diri, dengan gesit dia bisa menghindar bahkan sempat menendang kaki si pelaku walaupun tidak berhasil ditangkap warga. Luka tusuk di perut Arta tidak terlalu dalam namun lukanya lumayan lebar, nyeri sekali.
Tidak jarang Arta meringis kecil, hanya kecil seperti bisikan. Arta tidak mau menangis meraung-raung dan menunjukkan wajah sedih, Arta tidak mau membuat keempat saudaranya khawatir akan kondisinya saat ini.
"Ayah mana? Tadi katanya kesini kok nggak ada." Kepala Juna menoleh menatap sekitar, namun tidak mendapati sosok sang Ayah.
"Ayah kesini juga sebentar doang, Bang. Cuma ngurus biaya administrasi penginapannya Arta di rumah sakit terus langsung pulang." Senja berucap.
Juna menghembuskan napas kecil, betul juga...apa yang dia harapkan. Tatapannya tertuju pada Arta yang sedang melamun entah memikirkan apa.
Seakan sadar jika sedang di tatap oleh Juna, Arta tersenyum tipis. "Gapapa, Bang. Arta juga nggak berharap lebih, mana mungkin Ayah mau berlama-lama disini." Ujarnya.
Tatapan Arta teralihkan menatap pintu ruang rawat yang perlahan terbuka. "Tapi Arta beruntung karena punya Om Haris yang senantiasa datang jika kita kesulitan." Ucapnya kecil.
"Om!" Hasa bangkit dari kursi, dengan cepat berjalan kehadapan Haris untuk bersalaman.
"Assalamualaikum, Om datang nih-- ya ampun Hasa, awas itu di plastik ada makanan." Haris geleng kepala saat Hasa menubruk tubuhnya begitu erat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Our House [END]
FanfictionLima saudara namun tidak sedarah. Ini kisah Juna, Senja, Gemilang, Arta dan Hasa. Lima anak malang yang tidak pernah tau apa arti kebahagiaan. Kelimanya saling menutupi luka satu sama lain, bergandengan tangan dengan begitu erat tanpa niat melepas...