🏠; BAB 17

1.1K 147 60
                                    

Ibu marah besar, wajahnya merah padam. Di tangannya terdapat rotan siap memukul kelima anaknya yang sedang berdiri dengan kepala menunduk.

"Bodoh! Bagaimana bisa kalian diam saja disaat ada pencuri!" Suara Ibu sangat nyaring dan mengerikan membuat Arta dan Hasa menutup mata lantaran takut.

Suara pukulan rotan terus terdengar membuat Gemilang bergetar ketakutan.

Tatapan mata Senja terus menatap lantai, menahan mati-matian tubuhnya agar tidak tumbang karena rasa trauma tiba-tiba muncul. Tatapan Senja beralih pada punggung kokoh Juna yang berdiri tepat di depan mereka berempat.

Punggung tangan Juna habis Ibu pukuli sampai merah. Melihat pengorbanan Juna membuat mata mereka berembun sedih, Hasa bahkan sudah menangis dalam diam.

Ayah ada disana, melihat apa yang istrinya perbuat sambil melipat tangan. Dia marah karena beberapa berkas penting hilang, namun untuk hukuman tidak harus sekarang, dia bisa memberinya lain waktu.

"Apa kalian tahu berapa harga tas Ibu?! Mampu kalian menggantinya!?"

"Ibu..tapi itu musibah kita juga nggak tau kalau akan ada perampok yang mas-"

"Arta, Ibu tidak menyuruh kamu buka suara! Mau Ibu pukul mulut mu?"

Arta langsung bungkam saat Ibu berdiri tepat di hadapannya. "Maaf, Bu."

Ibu pergi dari hadapan mereka dengan wajah merah menahan amarah, paham jika marah pun semua tas dan barang-barangnya tidak akan kembali. Hanya membuang tenaga saja.

"Dasar anak-anak bodoh." Ucapnya sebelum pergi.

Sepeninggalan Ibu, kelimanya masih menunduk takut karena masih terdapat sosok tegap Ayah di depan.

Hening, suasananya begitu hening dan mencekam. Sesekali terdengar ringisan dari bibir Juna dan suara isak tangis Hasa.

Senja dan Gemilang saling genggam, dapat Gemilang rasakan jika tangan saudara kembarnya begitu dingin dan berkeringat, apalagi saat melihat ekspresi Senja yang begitu ketakutan.

"Sebegitu trauma kah Mas Senja?" Gemilang bertanya dalam hati.

"Lampu tiba-tiba padam?" Suara berat Ayah terdengar.

"Iya, Yah. Saat kita lagi main di lantai dua tiba-tiba seluruh lampu rumah padam, setelahnya ada suara barang pecah dari bawah." Juna berucap.

"Kasusnya sudah Ayah bawa keranah hukum, nanti kalian datang sebagai saksi. Ingat, jangan bilang yang tidak-tidak." Ucapnya dengan nada serius.

"Ayah, kalau boleh tau apa ini ulah salah satu pesaing Ayah?" Arta bertanya, dia takut namun rasa penasarannya begitu kuat.

"Iya, ulah salah satu saingan bisnis."

Ayah begitu sukses, kesuksesannya membuat beberapa orang iri dan berbuat curang agar perusahaan Ayah turun dan bangkrut.

Sedari kecil mereka hidup penuh ancaman. Di teror saat di sekolah ataupun di rumah, tidak jarang mereka akan di ikutin diam-diam untuk di culik dan di meminta uang tebusan.

"Pergi masuk kamar." Titah Ayah yang langsung mereka turuti tanpa bantahan. "Bukan berarti tidak ada hukuman." Ucapnya lagi.

Senja segera memapah tubuh Juna saat Abangnya sedikit linglung, dibelakangnya diikuti Arta dan Hasa lalu Gemilang.

"Gemilang."

Suara Ayah menghentikan langkah kaki Gemilang, dia menoleh kebelakang, matanya langsung bertatapan dengan mata tajam sang Ayah.

"Ikut Ayah."

Saat mendengar itu kedua tangan Gemilang langsung saling meremat, Gemilang mundur kebelakang hendak menyusul keempat saudaranya. "Nggak mau." Ucapnya dan langsung berbalik hendak pergi.

Our House [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang