Bab 53 [ DIA TELAH BERPULANG ]

617 62 11
                                    

Duka menusuk begitu dalam.

Untuk sejenak tidak terbayang menerima kenyataan jika cintanya telah berpulang.

"Hey, aku terluka Kalula." Pelan nada suara dengan sorot kosong sepenuhnya pada wajah pucat yang terbaring. Tidak beranjak semenjak kedatangan sejak dini hari tadi hingga selepas adzan subuh.

Tetap pada posisi mengabadikan detik dengan sosok terkasih.

Menunduk tidak berani sekedar mengangkat kepala untuk menatap banyak tamu yang datang. Lemah hati Anka, apalagi mendengar keluh Niskala dan Anggara yang bersahutan.

"Gak ada yang baik La setelah kehilangan. Semuanya kacau, semua orang hilang arah oleh rasa sakit yang gak berdarah," bisik Anka menggigit bibir kuat mengalihkan sesak yang menyeruak.

Beberapa kali tangannya merangkak naik mencengkram dada.

"Kamu tinggalin aku, sendiri. Mana yang katanya pengen berjuang buat lawan para penguasa? Kamu pergi sebelum menghakimi."

Tubuh Anka ditarik menegak, membuat mata penuh tangis terpaksa terangkat dan menelisik ramainya kunjungan.

"Lo harus kuat."

Perkataan Maven membuat bibir Anka semakin bergetar, lepas seluruh isakan yang ditahan.

"Bukan pesta ini yang diminta Kalula."

Maven melipat bibir dengan napas tertahan. Mendongak kepalanya saat merasakan berat pada bahu akan posisi kepala Anka. Menjadi penopang akan runtuhnya sebab kepergian.

"Bukan perayaan kematian!"

Keinginan yang dulu sering diucapkan malah berakhir tidak sesuai harapan. Berbanding terbalik menyiksa banyak orang atas kepergiannya yang mendadak, bahkan sebelum menerima berbagai hadiah perayaan.

"Bangunn!" Suara lemah disusul isakan menggema dalam ruangan tengah.

Seluruh pasang mata memusatkan pada saudara yang terluka. Pada Niskala yang tidak mampu menopang kepala.

"Bangun Kalula, jangan tinggalin aku, jangan pergi ke tempat Ibu!"

Cakra yang siaga di sebelahnya menahan jemari Niskala agar tidak mengguncang tubuh kaku Kalula. Mengucapkan puluhan kata penenang yang tidak kunjung didengar. Niskala tuli, karena jiwanya pun seakan mati.

"Aku sendirian."

"Sakitt."

"Tuhan, tolong sekali saja. Jangan ambil lagi yang aku punya." Permintaan itu tidak akan pernah dikabulkan. Kendatinya, memang telah takdir Kalula untuk berpulang dan lepas dari kejamnya perlakuan dunia.

"Gak baik, Bang. Jangan bikin Kalula makin susah buat pergi, ikhlas!" Lirih Cakra terpejam saat tangis pilu kian pedih terdengar. Membawa semua orang untuk merasakan sakitnya kehilangan sosok tersayang.

Punggung bergetar Niskala-Cakra usap begitu pelan. Menenangkan agar kalimat kesedihan tidak kembali terulang.

"Biarin Kalula tenang. Kemarin dia bilang, kan? Udah capek, pengen pulang. Dia juga butuh istirahat." Suara serak yang nyaris hilang dari Anggara. Tatapan kosong berhenti pada Niskala, menepuk kepala itu berkali-kali.

"Dia udah bahagia, Niskala."

Senyumnya terulas tapi air matanya semakin mengucur deras. Anggara tertawa kecil, menggeleng dan menutup wajahnya malu. Berusaha kuat tapi gagal, mulutnya memang lancar merangkai kata tapi hati belum sepenuhnya menerima.

Belum lagi kedatangan sosok yang semenjak malam menutup mata, datang penuh tangis dan teriakan memanggil nama putrinya.

Juna. Paruh baya dengan baju pasien itu berjalan tergopoh ke arah mereka. Mengambil tempat di sebelah Niskala, sejajar dengan kepala Kalula.

TRAGEDI 23.59Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang