Dentuman akibat barang berhamburan pada lantai mengisi suasana panas di sebuah apartemen dini hari ini. Umpatan terdengar silih berganti dari sepasang remaja yang beradu argumen semenjak pembicaraan mengenai kasus yang membuat nama besar keluarga disoroti.
"Jalan satu-satunya lo cukup minta maaf, Rayden!" Jema menekan setiap kata yang baru keluar. Menatap jengah pada laki-laki dengan wajah lebam itu.
"Bokap gue bisa atasi masalah ini, buat apa gue minta maaf? Karena dari awal kita lakuin hal itu karena Aksa, kan? Dia yang harus tanggung jawab di sini," kata Rayden melirik posisi Aksa yang berdiri kaku.
"Kenapa lo mau?" Aksa bertanya nyolot.
"Gue cuma main-main, nyatanya lo yang paling kasar selama ini sama tuh cewek," bantah Rayden membuang muka.
Jema menggeram di buatnya. Satu kaki perempuan itu melangkah pincang saat merasakan sakit sebab penyerangan dari sosok misterius di rumah sakit lalu masih belum sembuh.
"Kita harus gimana? Sekolah udah keluarin surat, kan?" Suara Aurora bergetar, matanya menyorot takut pada masing-masing temannya yang sama-sama terdiam.
"Gue gak mau datang ke pengadilan...gue gak mau terlibat." Aurora berkata cepat seraya menenggelamkan wajahnya pada lutut yang tertekuk. Bergetar tubuh menerima masalah akhir-akhir ini, kekacauan yang ia ciptakan sendiri perlahan menghancurkan kehidupan yang dulunya tertata begitu rapi.
Aurora disegani, tapi sekarang direndahi.
Jema menoleh dengan tatapan nyalang. Berdecak kecil saat terganggu akan isakan kecil Aurora.
"Gak terlibat?"
"Kita semuanya udah jelas-jelas sebagai pelaku." Jema menunduk menyembunyikan sorot kesedihan pada matanya.
"Tenang aja, kita masih di bawah umur," celetuk Aksa terkekeh kecil. Raut santai pada wajahnya membuat ketiga sosok yang semenjak tadi resah perlahan berangsur tenang.
Aksa ikut bergabung di sofa panjang. Menelisik masing-masing ketiga wajah temannya yang sama-sama memucat. Seolah paham kepanikan mereka yang timbul karena ulahnya yang tuli untuk tidak melukai Kalula. Keegoisan dan kekecewaan karena hancurnya rumah tangga orang tua adalah alasan yang cukup Aksa sesali sampai saat ini.
"Sorry. Karena dendam gue kalian ikut terseret."
Tidak ada satu pun yang merespons. Selain decakan Rayden disusul tawanya yang mencairkan suasana.
"Siap buat besok?" Jema menyahut menahan dentuman kencang pada jantung. Memejamkan mata tidak ingin membayangkan.
Tubuh Rayden yang semulanya bersandar malas pada sofa mulai menegak dengan napas tercekat. Tampak laki-laki dengan lengan bertato itu memukul kepalanya berkali-kali sebelum berucap lirih.
"Gue takut."
Lalu tawa Aurora terdengar dalam posisi wajah yang senantiasa menunduk.
"Apalagi gue." Aurora menatap sesaat pada Rayden, kemudian beralih pada beberapa ponsel yang tergeletak di atas meja kaca. Menyala dengan runtutan nada dering yang tidak berhenti datang mengganggu harinya.
"Buat sekedar megang handphone aja gue takut, Ray. Anak-anak SMANTA yang dulu segan sekarang malah jadi lawan. Mereka ejek gue habis-habisan di sana, kayak kita...yang selalu ngejek Kalula." Kata terdengar dengan isakan yang masih belum mereda. Aurora bingung, bagaimana caranya agar tetap tenang di saat semua orang malah berbalik menghakiminya.
Setiap hari.
Pesan berisi ujaran kebencian.
"Kasus ini ke sebar?" Aksa bergumam pelan. Semenjak kejadian di lapangan yang mengharuskan mereka mengakui kesalahan tidak pernah sekali pun sosial media tersebut Aksa aktifkan. Memilih diam, tidak terlalu memikirkan.

KAMU SEDANG MEMBACA
TRAGEDI 23.59
Roman pour Adolescents"Papa, anakmu dibinatangkan." ~~~ Dia, Kalula. Remaja cacat dengan kaki kiri yang pincang. Bagi Kalula, SMANTA adalah tempat yang paling menakutkan. Menjadi korban perundungan membuat hidupnya berantakan. Tubuh penuh luka. Hati yang gelisah. Akal y...