Tidak begitu banyak kata yang keluar dari bibir Kalula di saat sudah setengah jam lalu Juna masuk, menempati ruang dan memperhatikan kondisi tubuhnya yang kian melemah. Arti mata penuh sendu tetapi tidak diungkapkan ada kendala apa yang kiranya membuat pria setengah abad itu meluangkan waktu.
"Cepat sembuh," ungkap Juna pelan. Tubuh berlapis jas hitam andalan terlihat lebih condong pada posisi tidur Kalula saat ini.
"Maafkan, Papa."
Kembali didengar.
"Papa harap apa yang diucapin dokter tadi tidak menjadi akhir pertemuan, beri Papa kesempatan untuk menembus semua kesalahan, beri Papa ruang biar Papa bisa dikenang hebat dalam hidup kamu," tuturnya kian bergetar.
Ego sejak tadi menahan untuk tidak peduli. Satu lirikan tidak Kalula curahkan pada paruh baya itu. Diam dengan mata terpejam, menekan sesak yang menyerang begitu dalam. Genangan pada kelopak mata pun tidak bisa lagi ditahan saat sepasang tangan membelit tubuh kurusnya erat.
"Kamu harus sembuh." Juna berbisik lirih selepas melabuhkan satu kecupan pada pelipis Kalula. Menatap lamat bekas-bekas luka yang perlahan mengering saat anaknya itu benar-benar mendapatkan perawatan dengan baik.
Bentuk penembusan yang tidak kunjung sebanding dengan duka yang diberi. Ini memang tanggung jawab Juna setelah berpuluh-puluh tahun menutup mata.
"Aku sayang Papa."
Bergetar Juna dibuatnya.
"Seburuk apa pun sosok ini selalu aku kenang. Terima kasih, ya, di saat akhir yang buruk ini Papa bersedia buat jadi sandaran, tempat aku ngeluh walaupun lidah masih keluh, buat ceritain satu-satu kisah pilu," balas Kalula menepuk lemah bahu lebar Juna. Menatap penuh damba garis wajah dengan penuaan yang sudah terlihat jelas, Kalula usap lembut tiap bagian yang mengerut.
"Lihat Papa gini aja rasanya aku udah bahagia."
Juna tertawa kecil seraya merapikan rambut Kalula. Yah, ke mana saja dirinya selama ini untuk tumbuh kembang Kalula?
"Sekarang coba beritahu Papa, mulai dari mana kita sembuhin luka itu." Juna berucap tanpa menatap Kalula saat perhatiannya teralih oleh derap langkah di balik punggung.
Kedatangan Niskala dengan raut wajah dingin telah membuktikan bahwa dia masih tampak enggan menerima Juna berada di sekitar Kalula. Seorang saudara yang tidak ingin kembali gagal menjaga Kalula, setelah begitu banyak kejadian yang membuat keduanya terpisah dan saling asing untuk hidup bersama.
"Yang udah hancur gak akan bisa diperbaiki, yang patah gak akan bisa disambung lagi, dan yang pecah gak akan bisa disatuin lagi."
Kalula menoleh pada kembarannya itu, kedua sudut bibir yang masih pucat mulai mengulas senyuman tipis saat ungkapan kata dari Niskala sesuai dengan keinginan yang akan menjadi jawaban atas pertanyaan Juna.
"Aku bisa sembuh sendiri," jawab Kalula mantap. Kepalanya menerawang ke atas, mengulas banyak luka-luka mana saja yang kiranya mampu untuk diobati saat ini. Selain hati, yang tidak kunjung bisa sembuh dari sekian banyak yang berjanji untuk mengobati.
Namun, pada akhirnya seberapa keras orang-orang terdekat dalam hidupnya itu membantu tetap tidak akan bisa jika Kalula sendiri yang membatasi, tidak ingin kembali bangkit dan menyusun kembali lembaran baru.
"Cukup bersikap seperti ini, sewajarnya aja. Perhatian Papa jangan bikin aku tambah berharap buat bisa berada di posisi yang sama, setara dengan Atma," lanjut perempuan itu membuang wajah pada Niskala.
Menyalurkan tatapan lelah yang sering kali dipendam lewat mata, ingin berbagi pada Niskala yang menjadi tempat terbaiknya untuk berkeluh kesah.
"Itu hanya perasaan bersalah bukan peduli. Papa hanya kasihan pada anak menyedihkan," gumam Kalula tidak dapat didengar jelas oleh Juna. Karena Posisi tubuh yang sudah tegap dan bersiap kembali pergi setelah membuat perasaan Kalula semakin kacau.

KAMU SEDANG MEMBACA
TRAGEDI 23.59
Teen Fiction"Papa, anakmu dibinatangkan." ~~~ Dia, Kalula. Remaja cacat dengan kaki kiri yang pincang. Bagi Kalula, SMANTA adalah tempat yang paling menakutkan. Menjadi korban perundungan membuat hidupnya berantakan. Tubuh penuh luka. Hati yang gelisah. Akal y...