Bab 44 [ BERSAMA PAPA DAN SAUDARA ]

773 66 4
                                    

Detik begitu cepat membawa pada posisi yang tidak pernah dibayangkan. Baru kemarin malam Kalula sampaikan pada semesta tentang semua yang tersimpan dalam hatinya dan tentang semua yang ingin diucapkan sebelum kematian benar-benar menjadi akhir hidupnya.

Tersenyum samar di tengah perkumpulan.

Posisi tubuh yang duduk di ranjang pasien membuat Kalula leluasa menatap Juna di dekat pintu masuk, bersama keluarga kecilnya, datang seolah tidak pernah membuat masalah.

Turun tatapan pada genggaman untuk anaknya. Atma dan Aksa. Menunjukkan pada Kalula bahwa semua yang telah mereka perbuat dengan sengaja akan mampu Juna atasi dengan mudah. Dengan sedikit membujuk Kalula, bahwa mereka adalah saudara.

"Papa masih belum ngerti ucapan aku yang kemarin? Gak ada kata maaf untuk orang yang udah bikin aku sengsara." Kalula menegaskan sekali lagi, bola matanya menatap penuh pada Juna yang tampak menarik napas.

Berjalan pelan seraya menarik Atma dan Aksa.

"Jangan!" Suara lemah itu tercekat.

Membuat Juna sontak berhenti memperlihatkan raut kebingungan.

"Aku ketakutan, Pa."

"Kenapa masih belum mengerti?"

"Aksa datang untuk meminta maaf. Apa yang perlu kamu takutin? Ada Papa, dia tidak jahat Kalula," tutur Juna menoleh pada Aksa yang menatap Kalula lurus, tidak bisa diartikan bagaimana penilaian remaja itu pada Kalula.

Gelak tawa mengisi ruang di tengah-tengah kecanggungan. Seluruh pasang mata menghunus pada Kalula yang bertopang dagu. Seolah berpikir, kemudian perempuan itu mengangguk berkali-kali.

"Ada banyak hal yang aku takutin, entah itu dulu atau sekarang. Ada Papa? Jangan bercanda, mulut seenaknya ngomong tapi tubuh Papa gak sekali pun berniat buat nolong, dan hari ini datang, bersama pelaku yang nyaris buat aku mati, dia tidak jahat, Pa? Itu lucu." Menggeleng miris dengan kepalan tangan mulai terbentuk.

"Dari semua luka yang aku dapat kenapa akhirnya aku hanya menerima kata maaf?" Kalula bertanya dengan raut bingung, bibirnya bergetar dan tidak mampu menahan isakan.

Seberapa kuat menahan untuk tidak pernah menangis ketika mulut mengungkapkan adalah kebohongan yang dibuat. Tidak ada yang baik-baik saja ketika hidupnya dihancurkan lalu disodorkan maaf dengan anggapan bisa menjadi obat dari setiap jejak yang ditinggalkan.

"Bertahun-tahun dikalahkan dengan satu detik, maaf."

"Lihat aku sekali, Pa. Ada Kalula di sini. Ada Kalula yang lagi butuh Papa. Ada Kalula yang minta keadilan pada Papa dan ada Kalula yang butuh pelukan Papa. Perlakukan kami dengan baik, jika salah satu ada yang buat salah hukum dia, Pa, kenapa hanya aku? Aksa? Dia nyaris bunuh aku, Pa," tangis pecah dengan napas memburu, menggambarkan betapa frustasinya Kalula dengan ketidakadilan Juna. Seperti apa lagi cara menjelaskan bahwa ia sedang kesakitan, butuh dukungan.

Bukti di depan mata. Semua ucapan saksi sudah tersimpan di kepala. Namun Juna, masih keras memaksa bahwa Aksa bisa dimaafkan tanpa adanya jalur hukum.

"Papa sedang mencoba, Kalula, Papa berusaha untuk adil walaupun akhirnya di mata kamu hanya Atma dan Aksa yang terlihat di sayang," sesal Juna meraih tubuh gemetaran itu untuk dipeluk. Sedikit memberontak tetapi Juna usap punggungnya dengan lembut, memberikan ketenangan sebisanya.

"Sedang Papa usahakan, perbaiki semua kesalahan."

"Kenyataanya memang gitu, perhatian Ayah hanya untuk Atma dan Aksa. Jika Ayah lebih memperhatikan Kalula sedikit, dia gak akan kayak gini, mau ngelak kayak apalagi?" Anggara menyahut dari posisi duduknya di sofa. Remaja itu tidak menatap pada Juna, lebih berfokus pada Atma dan Aksa, lalu membuang muka dengan kekehan kecil.

TRAGEDI 23.59Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang