"Selamat ulang tahun, putri Papa!"
Begitu manis terlihat senyuman Kalula saat sosok paruh baya berpakaian santai masuk ke dalam kamar. Merebut atensi yang semula berfokus pada gambar di atas meja.
Mengembangkan kedua tangan menerima pelukan dari Juna. Tertawa kecil saat tubuhnya digendong layak anak kecil. Menyerbu pucuk kepala Kalula dengan kecupan penuh kasih layaknya orang tua.
"Jadi, Papa orang ke berapa yang ucapin selamat ulang tahun?" Juna bertanya seraya membawa tubuh Kalula kembali dalam pelukannya.
"Ketiga." Jari mungil Kalula terlihat di depan mata. Menciptakan kerutan samar pada dahi Juna dan pandangan mata tidak setuju.
"Yang pertama Abang dan yang kedua Anka. Lalu, Papa. Aku seneng, banget. Makasih ya," ujar Kalula tersenyum haru. Mudah mengenang air pada kelopak mata, hendak kembali jatuh membasahi wajahnya yang masih terkesan pucat.
Juna tertawa akan tingkah menggemaskan Kalula. Menatap dalam tiap kedipan lucu dari anak perempuan pertamanya itu dengan umur yang telah bertambah. Juna baru menyadari, hari ini adalah pertama kalinya memperhatikan Kalula dalam jarak yang lebih dekat.
"Mau hadiah apa dari Papa?" Gerakan jari Juna melambat pada rambut Kalula. Menatap lembut ekspresi berpikir Kalula, berhasil membuat Juna tersenyum tipis.
Hati saja yang terlalu memusatkan kebencian, beranggapan bahwa hadirnya anak yang tidak diinginkan akan membawa kesialan. Pemikiran bodoh menjadi sesal yang tidak akan hilang.
"Gak mau apa-apa. Cukup waktu Papa satu hari ini," pinta suara bergetar Kalula tentu Juna jawab dengan cepat.
Sebisa mungkin Juna buat Kalula nyaman dengan perhatian yang terkesan tiba-tiba.
"Kenapa hanya satu hari? Semua waktu Papa untuk Kalula."
Kekehan dari Kalula membuat satu kamar di lantai satu itu tampak lebih hidup dari biasanya. Pertama kali semenjak Kalula datang ke dalam rumah, hidup sepi dan tertekan karena dianggap layak pemecah. Baru kali ini, Juna menyaksikan bagaimana lucunya wajah kecil itu saat tertawa.
"Mirip Ibu."
"Aku?"
Juna mengangguk pelan. Kepalanya menoleh saat mendengar decitan pintu terbuka. Menyambut kedatangan Niskala dengan senyuman merekah, lalu memberi ruang bagi Niskala untuk turut bergabung di atas sofa kecil dekat meja belajar Kalula.
"Sama Abang udah Papa ucapin?" Mata Kalula memicing penuh selidik.
"Udah." Niskala yang menjawab. Remaja dengan seragam sama seperti Kalula dulu mulai menjulurkan tangan pada Juna.
"Pamit, mau sekolah!"
Juna mematung saat tangan kanannya ditarik dan dicium. Menatap rumit punggung putranya itu yang sibuk memeluk Kalula erat.
"Sekali lagi Happy birthday. Adik cantiknya Kala."
Kalula tertawa geli sembari merapikan tatanan dasi pada krah seragam Niskala. Mata perempuan itu terlihat amat cerah seolah memperlihatkan kebahagiaan yang sedang dirasa. Ikut membuat Niskala senang.
"Mau peluk lagi!" Merentangkan kedua tangan dengan wajah cemberut.
"Papa sini!"
Juna masuk, berada di tengah-tengah Niskala dan Kalula. Merengkuh kaku tubuh keduanya, terlihat tegang wajah saat merasakan kepala Niskala berlabuh pada bahunya.
"Tuhan ngabulin doa saya, Yah!"
"Tolong, jangan buat kami sakit terlalu lama..Cukup pukul sekali, jangan berulang-ulang," bisik Niskala membuat Juna meneguk ludah kasar. Sudut bibir pria paruh baya itu berkedut, menahan tangis yang tumpah.

KAMU SEDANG MEMBACA
TRAGEDI 23.59
Dla nastolatków"Papa, anakmu dibinatangkan." ~~~ Dia, Kalula. Remaja cacat dengan kaki kiri yang pincang. Bagi Kalula, SMANTA adalah tempat yang paling menakutkan. Menjadi korban perundungan membuat hidupnya berantakan. Tubuh penuh luka. Hati yang gelisah. Akal y...