Pertama kalinya Juna berada di tempat ini.
Tempat paling favorit bagi Kalula semenjak hak asuh anak itu jatuh pada tangannya. Perempuan kecil berumur 5 tahun yang senantiasa merengek meminta peralatan lukis pada setiap ulang tahunnya dan tidak sekalipun Juna penuhi permintaannya.
"Hadiah pertama Papa untuk kamu, Kalula." Juna mengusap kotak pensil warna di depan mata, sesaat membisu untuk mengulas kembali kisah yang selama ini terlewatkan.
Jangankan satu hari merayakan kelahiran Kalula, satu kalimat ucapan saja tidak pernah Juna tuturkan untuknya.
"Saya gagal, maaf." Rasa sakit akibat penyesalan tentang sikapnya menusuk tanpa jeda di setiap helaan.
Waktu yang biasanya hanya terfokus pada tumpukan dokumen beralih untuk memikirkan hadiah apa yang nantinya akan diberi. Pada Kalula, putrinya yang akan menginjak usia 18 tahun.
"Belum terlambat, kan? Beri saya kesempatan untuk menembus semua lukanya, walaupun tidak akan pernah sembuh setidaknya saya tidak kembali memperlakukan dia dengan buruk." Juna tersenyum kecil. Guratan lelah pada wajah digantikan raut senang menemani langkah.
Namun, tidak berselang lama. Langkah pria paruh baya itu memelan, kepalanya bergerak menoleh ke belakang. Menatap sosok seumuran dengan pandangan ragu.
"Kenapa?"
"Niskala suka apa?" Nyaris tidak terdengar suara Juna. Ada perasaan aneh di hatinya karena tidak tahu satu pun tentang Niskala.
Putra pertamanya. Yang Juna buang.
"Putra mu tidak pemilih. Selama ini apa pun yang saya berikan Niskala selalu menerimanya. Tidak ada ungkapan kalau dia menyukai sesuatu." Lion tersenyum samar menatap senang pada perubahan Juna.
"Apa yang perlu saya kasih?" Juna bertanya dengan perasaan harap.
Hening melanda di antara paruh baya itu.
Lionel mencoba untuk mengingat hal apa yang pernah Niskala ucapkan kepadanya dengan tatapan berbinar dan wajah senangnya. Ekspresi remaja laki-laki itu tidak pernah banyak kecuali menceritakan musik.
Yah, Lionel mengingatnya.
"Niskala mungkin menyukai musik."
"Musik?" Gumam Juna pelan.
"Dia tidak pernah tersenyum selebar itu semenjak hidup bersama saya. Saat kelulusannya di tingkat pertama, saya menyaksikan, Juna. Niskala tampak begitu senang ketika ditunjuk sebagai perwakilan yang memainkan piano," jelas Lion memejamkan mata saat bayangan anak itu memenuhi pikirannya.
Memutar tiap kenangan yang berusaha Lion sematkan agar Niskala tidak kesepian.
"Terima kasih telah menjadi Ayah yang baik untuk Niskala," kata Juna tulus menepuk bahu Lion berkali-kali. Melampiaskan ungkapan penuh kasih dan emosi di sana. Tentang kelalaian dan penyesalannya.
"Perbaiki lah sebelum semuanya terlambat. Niskala menyayangimu, hanya saja butuh waktu. Tidak ada anak yang tidak marah ketika Ayahnya sendiri mengucapkan bahwa dia telah mati, Juna. Padahal Niskala lahir tanpa kekurangan, dia begitu sehat, apa yang membuat kamu memisahkan kedua anak itu?" Pandangan Lion berubah tajam untuk memastikan. Kelamnya masa lalu yang tidak kunjung ia temukan jawaban.
Membisu.
Tertutup rapat mulut Juna.
"Jika saya mempertahankan Niskala di saat saya sudah memiliki anak laki-laki dari Gita, Niskala bisa dibunuh, Lion. Keluarga saya hanya ingin satu keturunan laki-laki. Terlebih lagi, Niskala hadir tanpa hubungan yang sah." Tangis Juna mengalun di tengah-tengah kebisingan toko peralatan lukis itu. Mendongak tidak ingin membiarkan air matanya jatuh.

KAMU SEDANG MEMBACA
TRAGEDI 23.59
Roman pour Adolescents"Papa, anakmu dibinatangkan." ~~~ Dia, Kalula. Remaja cacat dengan kaki kiri yang pincang. Bagi Kalula, SMANTA adalah tempat yang paling menakutkan. Menjadi korban perundungan membuat hidupnya berantakan. Tubuh penuh luka. Hati yang gelisah. Akal y...