Dari semua yang dilewati Kalula kunjung tidak mengerti. Mengenai kenapa seseorang yang hidup dalam keadaan cacat dipermainkan seenak hati. Tidak hanya mulut yang mengatai diri namun pukulan yang mendorong tubuh untuk mati.
Terlalu banyak yang rusak dan tidak bisa diperbaiki.
"Maaf."
Satu kata serempak begitu samar terdengar.
Berhadapan dengan dua orang yang menjadi alasan Kalula sering disepelekan. Pelaku dari segala kesakitan.
"Mungkin, sebagian orang pernah bilang kalau aku terlalu penakut buat lawan tangan-tangan biadab kayak kalian." Kalula melipat bibir pelan seraya menatap lamat ruas-ruas jari.
"Mulut mereka dengan gampangnya bilang aku cukup lawan, tapi di saat aku lakuin hal itu kalian justru buat aku semakin jatuh, rasain lubang kepedihan yang kalian ciptakan karena punya kekuasaan. Aku punya apa, Kak?" Suara lemah bergetar menunjukkan luka yang dipendam. Mata itu memancarkan kesedihan, sangat dalam dan berusaha untuk bisa diungkapkan.
Ramai orang berkunjung sore ini. Tiap sudut ruang terisi, menyalurkan iba pada hati. Pelaku itu datang mengucapkan maaf atas sikap kurang ajarnya selama ini, tanpa berpikir kembali masih ada luka yang belum mampu Kalula obati. Dengan seenaknya, maaf untuk bisa berdamai dengan diri.
"Saya akan bertanggung jawab. Sebagai orang tua Jema, sedalam-dalamnya saya meminta maaf. Saya tau, Kalula. Ini tidak mudah, tapi melihat kamu bertahan sejauh ini saya yakin, kamu bisa. Saya berjanji, keadilan yang selama ini menjadi mimpi akan kamu dapatkan," tutur Pria dewasa berseragam loreng itu.
"Bicaralah pada dunia. Tunjukkan pada orang-orang kelakuan bejat para penguasa. Saya izinkan, hukum mereka dengan seberat-beratnya, jika pun itu putri saya, Jemawa, apa yang menurut kamu pantas, lakukan," tegas terucap dari mulut yang menunjukkan senyuman tipis. Buncahan rasa bersalah menyatu pada pancaran matanya yang berkaca-kaca.
"Ayah," lirih Jema menatap takut pada sosok gagah yang baru ia temui setelah 3 tahun berpisah.
Masih sama, wibawanya sebagai anggota pertahanan negara sudah menunjukkan sikap tegas dan pantang baginya melihat penyiksaan rakyat yang dijaga. Namun, putri yang Abram didik keras dari kecil tumbuh dengan kepribadian buruk.
Menjadi alasan hancurnya mental seseorang.
"Anda tidak marah?" tanya Kalula lemah. Cukup tidak percaya, berbanding jauh dengan tanggapan orang tua Rayden dan Ibu Jema yang saat ini hanya menunduk.
Abram menggeleng. Maju beberapa langkah, hendak menepuk bahu Kalula. Namun, melihat perempuan itu menghindar dengan mata terpejam membuat gerak tangannya terhenti. Dia ketakutan.
"Cepat sehat," ujar Abram menahan napas. Menatap sekeliling dan berhenti tepat pada remaja laki-laki di sebelah Kalula. Tatapan dinginnya tidak pernah terputus dari Jema yang duduk di kursi roda dan Aurora yang berdiri di sebelahnya.
Sudah sedari tadi.
Benar-benar menunjukkan dendam hati. Tajamnya tatapan seolah bisa meremukkan badan. Mulut terkatup namun pikiran menyusun berbagai siasat. Abram sudah terbiasa dihadapkan pada situasi ini.
"Mari berdamai, tanpa ada pembalasan darah, siapa pun itu," ucap Abram pelan dan berhasil memancing tatapan itu tertuju padanya.
"Yang dijanjikan tidak akan sesuai keinginan. Keputusan hukum tidak akan pernah mampu membalas sakit adik saya selama ini. Cacian, pukulan, tendangan, dan tusukan. Menurut anda, itu setimpal?"
Tegang raut wajah Abram saat baju pasien Kalula diangkat, memperlihatkan balutan perban pada perut kirinya. Sangat mengerti, semua bekas tidak akan hilang walaupun hukuman diberikan pada para pelaku.

KAMU SEDANG MEMBACA
TRAGEDI 23.59
Ficção Adolescente"Papa, anakmu dibinatangkan." ~~~ Dia, Kalula. Remaja cacat dengan kaki kiri yang pincang. Bagi Kalula, SMANTA adalah tempat yang paling menakutkan. Menjadi korban perundungan membuat hidupnya berantakan. Tubuh penuh luka. Hati yang gelisah. Akal y...