Part 2 : Senior

10.7K 683 3
                                    

Aku sebangku dengan Arina sedangkan Amanda dan Laura duduk di depanku. Kami mengambil bangku paling depan. Aku merasa nyaman banget sama mereka. Arina dengan sifat ceplas ceplosnya yang ga beda jauh sama aku, Amanda yang tomboy dan bisa ngebawa suasana jadi asik senantiasa, serta Laura yang kalemnya ga ngebosenin.

Sejauh ini, belum ada masalah berarti dalam keseharianku. Ada sih satu yang ga penting.

Aku sadar kalo aku sering noleh ke kanan, tepatnya ke arah Ivano dan Malvin duduk. Sial. Aku selalu merutuki diri sendiri ketika memandangi Ivano. Aku selalu menolak untuk berkata 'Iya, gue suka Ivano!' meski hanya dalam hati. Pasalnya cewek-cewek bertiga di sekitarku ini yang memang udah satu SMP sama Ivano selalu cerita kalo Ivano tuh emang Es Batu banget. Ivano emang salah satu The Most Wanted di PB. Tapi selama 3 tahun mereka satu sekolah, belom ada cewek yang bener-bener berhasil ngedapetin Ivano.

Sudah 3 bulan aku sekolah di PB. Aku memang kadang ga banyak omong dan hanya menanggapi obrolan mereka seperlunya. Kadang aku juga bisa cerewet banget apalagi sama Arina. Intinya aku ngomong sesuai mood. Jadi, bukan salahku kalo Arina, Amanda, dan Laura baru tau kalo Kevin Livander itu kakakku. Semua berawal dari dompetku yang terbuka di atas meja dengan menampakkan Kartu Pelajarku.

"Karenica Linatta?" gumam Laura.

"Kayaknya gue pernah denger." Kini Amanda yang bergumam. Aku masih sibuk mencari uangku yang tak ada di dompet. Sepertinya tadi pagi aku memasukkan uangku secara asal ke dalam tas.

"Oh, gue inget. Mirip Kevin Livander ga?" celetuk Arina.

"Nah, iya!" seru Amanda. "Jangan-jangan lo jodohnya yang terbuang kali, Ren."

"Lo ga sadar? Muka gue juga mirip." Sahutku sambil menarik anak rambutku ke belakang telinga.

"Nah, biasanya kalo jodoh mukanya mirip!" seru Arina. Duh, mereka emang pinter-pinter. Nilai ulangan harian kami selalu bersaing ketat sejauh ini.

"Heh, jodoh dari kubangan buaya? Jelas mirip lah. Secara dia abang gue." Jawabku lalu kembali mencari uangku.

"Lah! Kok lo ga pernah cerita-cerita sama kita kalo punya abang sekece itu?!" pekik Amanda.

Anjir, gue malu.

"Eh, tapi kok dia bisa jadi panitia MOS? Bukannya lo dari Surabaya, Ren?"

"Maksud lo? Hubungannya apaan, Ra?"

Widih, aku salut nih sama Laura. Pinter banget punya pikiran sejauh dan secepet itu. Detik berikutnya, aku tersenyum senang sambil menggenggam uangku lalu meraih dompetku cepat.

"Kak Kevin ga ikut ke Surabaya. Nanggung katanya. Jadi dia tinggal di rumah Tante gue. Dia anak PB kan? Masa kalian ga ngeh?"

"Ngeh sih."

Kemudian, sepasang murid masuk ke kelas kami. Ini memang jam istirahat sih. Niatnya kami berempat mau ke kantin tapi karena uangku yang tadinya entah di mana, jadi molor beberapa menit.

Aku memerhatikan cewek dan cowok yang membawa-bawa banyak kertas yang kini berjalan menghampiri bangku Amanda dan Laura. Aku membaca name tag mereka. Yang cowok namanya Christopher Leon dan yang cewek namanya Fransisca Mutia.

Ini yang namanya Sisca? Batinku ragu.

Keraguanku lenyap ketika menatap wajahnya. Dagunya terangkat tinggi dan sorot matanya yang angkuh sedang menyisir kelasku yang sebagian besar kursinya kosong.

Sengak banget.

"Man, Ra, ini formulir pendaftaran OSIS. Tolong bagiin ya setelah istirahat." Ucap Christopher sambil meletakkan beberapa kertas di meja mereka.

BittersweetTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang