Part 5 : Punishment

7.4K 599 4
                                    

Aku lupa bikin PR Biologi. Semalem aku movie marathon 3 film bareng kak Kevin hingga kami baru sampai di rumah jam 12 malam. Mama ngomel-ngomel sementara Papa berusaha membela kami.

Tampangku bego banget ketika Bu Sinta menagih buku PR Biologi untuk dikumpul ke mejanya. Melihat tampangku yang aneh dan tidak segera mengeluarkan buku PR, ia berseru kencang, "Siapa yang tidak buat PR? Silakan maju menghadap saya."

Bego yang kedua adalah hanya aku yang tidak membuat PRnya. Aku berusaha menebalkan muka dan telinga menghadapi omelan pedasnya. Sebagai hukuman, aku tidak diperbolehkan mengikuti pelajarannya kemudian sepulang sekolah nanti aku harus ke perpustakaan untuk menyortir semua buku yang ada.

Sial. Buku sebanyak itu harus kususun sendirian?

Aku menatap lapangan tengah sekolahku dengan tatapan hampa dan minta dikasihani. Kedua tanganku bertumpu di dinding koridor depan kelasku dan menopang kepalaku. Kebiasaan malasku terulang lagi namun kali ini terlalu parah. Ini pertama kalinya dalam hidupku dihukum di luar kelas seperti ini.

"Ngapain di luar kelas?" sebuah suara berat menyadarkanku. Aku menoleh ke belakang dan mendapati kak Christo menatapku penuh selidik dengan tangan yang dimasukkan ke kantong celananya.

Dia memerhatikan kelas yang ada di belakangnya kemudian menyisir ke sekitarku lalu tatapannya kembali padaku. Alisnya terangkat sebelah menandakan ia butuh penjelasan mengapa aku di luar kelas.

"Dihukum sama guru itu." aku menunjuk Bu Sinta yang berdiri di depan papan tulis dengan lirikan mataku. Aku mengalihkan pandangan kembali ke lapangan tengah.

"Main basket aja yuk." Ajaknya gila. Yang benar saja? Main basket di tengah lapangan saat jam pelajaran?

"Mainnya di aula." Sambungnya seakan mengerti keterkejutanku barusan.

Ajakannya boleh juga. Aku butuh pelampiasan atas kesialanku hari ini.

***

Hanya ada suara pantulan bola dan decitan sepatu kami di aula ini. Aku sudah memasukkan 3 bola sedangkan lawanku sudah 5 bola. Emosiku masih meluap-luap. Makin lama, suara bola yang kudribel makin keras. Deruan nafasku yang semakin galak juga dapat kudengar sendiri.

Melihat permainanku yang semakin aneh, kak Christo berhenti mengejarku. Dari ujung mataku dapat kulihat dia mematung di tempatnya sambil memerhatikan gerakanku.

Aku berlari menuju ring kemudian melempar bolanya. Tidak masuk. Aku segera mengejar bola itu lalu melemparnya lagi. Tidak masuk lagi. Kukejar lalu kulempar lagi. Gagal. Terus begitu hingga aku melemparnya ke dinding aula.

"Ish!" teriakku sambil menendang tiang ring. Aku duduk bersandar pada tiang tersebut. Kak Christo masih memandangku dengan tatapan penuh tanya. Detik berikutnya dia menghampiriku dan duduk di hadapanku.

"Lo kenapa sih? Kesel gara-gara dihukum?"

Aku tidak menjawab. Nafasku masih belum beraturan. Aku kesal karena dihukum? Kenapa aku jadi kekanakan gini?

"Gak tau." Jawabku singkat dan ketus.

Kutatap mata coklatnya. Pandangannya terus meminta penjelasan akan sikapku.

"Mau gue beliin minum?"

Aku menggeleng. Aku bahkan tidak tau apa yang bisa meredakan emosiku.

"Lo ga kelas?" tanyaku akhirnya sambil masih bertatapan.

"Gue juga dihukum. Gue ga bawa buku Fisika."

"Trus kok bisa ke kelas gue?"

"Gue lagi jalan muterin gedung trus ngeliat elo dengan tatapan sedih. Yaudah gue samperin."

"Muka gue sedih?"

"Tukang kebunpun tau kalo lo lagi sedih."

Aku mendengus pelan.

Tanganku merogoh kantung rok mencari handphone. Niatku mendengar lagu di tengah aula mungkin bisa meredakan emosiku.

"Lo mau ngapain?" tanya kak Christo kepo.

"Denger lagu."

"Butuh headset?"

"Gak usah deh."

Kak Christo merebahkan diri dengan kedua tangannya yang menopang kepalanya sambil menutup kedua matanya. Dia ganteng sih tapi entah kenapa ada cowok yang lebih menarik dari dia.

Nah loh, kenapa aku tiba-tiba kepikiran Ivano sih? Tanganku bergulir mencari lagu yang ingin kudengarkan. Dapat.

'There I was again tonight
Forcing laughter faking smiles
Same old tired lonely place'

'Walls of insincerity,
Shifting eyes and vacancy
Vanished when I saw your face'

Emang agak ga cocok sih sama sikonku. Yang cocok hanya kalimat ini,


'All I can say is it was enchanting to meet you'


Kulihat kak Christo membuka matanya namun belum bangkit dari tidurnya.


'Your eyes whispered, "Have we met?"
Across the room your silhouette
Starts to make it's way to me'

'The playful conversation starts
Counter all your quick remarks like
Passing notes in secrecy.'

Tiba-tiba kak Christo kembali duduk dan menatapku dalam sambil menggumamkan lirik selanjutnya.


'And it was enchanting to meet you.
All I can say is I was enchanted to meet you.'


Darahku berdesir ditatap seperti itu. Kak Christo seakan mengatakan hal itu padaku.

Hah?

"Karen." Sebuah suara mengagetkan kami. Tanganku segera memberhentikan lagu di handphoneku. Kudapati Ivano bersandar pada pintu aula sambil menatapku dan kak Christo bergantian dengan mata tajamnya.

"Lo keluyuran aja sih? Dicari Bu Sinta."

Mendengar nama guru itu, aku langsung melesat ke kelas tanpa pikir panjang.

Tanpa sempat bertanya arti tingkah kak Christo.

Tanpa sempat bertanya arti tatapan Ivano.

Tanpa sempat bertanya apa yang terjadi pada hatiku.

***

BittersweetTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang