Part 3 : Enchanted

9.6K 672 6
                                    

Di ruangan kedap suara ini, kira-kira ada 28 murid dan 1 guru yang sibuk mengobrol satu sama lain. Ada yang 'rebutan' alat musik, ada yang berlatih menyanyi sendiri. Ini pertemuan ketiga ekskul musik yang diadakan tiap hari Jumat sepulang sekolah.

Kata Pak Edo, guru pembimbing ekskul musik, akan diadakan seleksi pemusik pada pertemuan selanjutnya. Beliau hendak membentuk sebuah orkestra yang akan ditampilkan pada pembukaan dan penutupan pesta emas HUT SMA Permata Bunda.

"Bapak akan memilih beberapa orang yang permainannya bagus. Nah, yang tidak terpilih untuk bermain musik akan menjadi penyanyinya. Bapak yakin pasti hasilnya bagus sekali." Ucap Pak Edo 5 menit yang lalu dengan wajah sumringah.

Dan di sinilah aku. Duduk di pojok ruangan sambil menyetem gitar akustik yang tergeletak di samping grand piano tadi. Karena kulihat tak ada yang tertarik dengan gitar ini, jadi aku memilih untuk memainkan ini saja. Habisnya semua pada lebih tertarik pada drum, bass, dan piano. Kalo aku lulus seleksi kan asik juga.

"Yuk, duet." Arina duduk di sebelahku sambil menenteng biolanya. Dia membawa sendiri biola tersebut dari rumah. Arina jago banget. Minggu lalu aku terpesona banget ngeliat dia mainin lagu Say Something pake biolanya. Aku yakin dia pasti lulus seleksi.

"Agak fals nih gitar." Sahutku sambil berusaha menyetemnya.

"Cobain pake keyboard yang itu deh." Arina menunjuk keyboard yang masih belum ada 'penghuninya'. Mengerti maksudnya, aku dan Arina berjalan menuju keyboard tersebut.

Tiba-tiba duduklah seorang cowok yang hendak memainkan keyboard itu. Mau tidak mau aku berhenti melangkah karena kemunculannya yang tiba-tiba. Cowok itu dengan terampil memainkan jarinya di atas keyboard kemudian mengumandangkan sebuah intro lagu.

Lagu Boys Like Girls ft. Taylor Swift - Two is Better Than One. Ups. Baru intronya saja... aku terpesona.

"Heh." Arina menyenggol lenganku pelan dan menyadarkan lamunanku.

"Oh. Iya iya."

Aku dan Arina berjalan kembali mendekati cowok itu. Ivano.

"Eh, sorry." Panggilanku menghentikan permainannya yang hendak mengawali lagu tersebut. Mata Ivano menatapku tajam. Duh, ga kuat wey. Matanya menyiratkan pertanyaan, 'ngapain lo ganggu gue?'. Sial. Mana si Arina malah diem aja lagi di sampingku.

"Gue mau nyetem gitar ini. Tapi dari tadi gue ngerasa fals mulu. Jadi gue mau pinjem keyboardnya sebentar buat nyetem, boleh kan?" tanyaku agak takut.

"Oh. Mau kunci apa?"

Kurasakan keterkejutan Arina di sampingku. Kenapa nih bocah?

"Hmm, coba G." Ucapku kemudian. Ivano menekan kunci G-nya sedangkan aku mencoba gitar di peganganku. Setelah mencoba semua kunci dan berpendapat bahwa sudah tidak fals, aku beralih pada Arina.

"Udah nih. Yuk." Ajakku pergi tapi aku melupakan sesuatu. "Oh ya, thanks, Van."

"Kenapa kita ga main bertiga aja? Gue liat lo jago mainin lagu tadi, Van." celetuk Arina. Feelingku agak ga enak. Arina mulai macem-macem nih.

"Lagu tadi? Mau?" tanya Ivano sambil menatap aku dan Arina bergantian. Begonya aku masih bengong ngeliatin ketampanan Ivano. Dasar mata gatel.

"Yuk, yuk." Arina segera mencari kursi dan menempatkan diri di hadapan Ivano. Aku mengekori perbuatan Arina.

Aku mengetuk body gitar yang kupegang 4 kali, kemudian aku dan Ivano memainkan nada lagu tersebut bersamaan. Jujur, aku sedikit gugup. Permainan Ivano sangat indah. Wajah tenangnya benar-benar membuatku terpesona. Tanpa sadar, aku menyanyikan lagunya sendiri bersamaan dengan iringan biola Arina.

BittersweetTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang