Part 13 : Tears

7.2K 539 4
                                    

Udah pertengahan semester 2 aja nih. Bulan ini kak Kevin makin sibuk fokus sama bimbel yang harus dia ikuti untuk masuk universitasnya. Jadilah aku sudah diijinkan untuk mengendarai mobil sendiri untuk transportasiku.

Kini ganti kak Christo yang menemaniku di samping sibuknya kak Kevin. Sosoknya bener-bener jadi penggantinya abang semata wayangku. Meski ga terlalu sering bareng, Mama Papaku sudah tau akan perilaku dan kehadirannya di sisiku.

Kalau Ivano? Makin lama dia makin ga jelas. Bentar-bentar deketin aku, bentarnya lagi jauhin bahkan ga segan-segan marahin aku kalo waktunya ia sediakan untuk Radeana. Tak jarang aku menangis karena 'dicampakkan' begitu olehnya.

"Lo move on aja kenapa sih?" Suara jutek Amanda menyadarkanku dari lamunan.

Sebenarnya bukan lamunan. Mataku sedang mengikuti gerakan Ivano yang mendribel bola di lapangan. Aku dan ketiga temanku sedang duduk di bangku penonton yang diletakkan di tepi lapangan. Minggu ini sedang diadakan pertandingan olahraga antar angkatan.

Aku sengaja tidak masuk tim inti hanya untuk menjauhi keberadaan Ivano. Saat ini sedang masa-masanya aku sangat sakit hati hanya dengan kehadirannya saja.

Yap. Karena baru minggu lalu aku diusir oleh suara galaknya dari ruang musik.


Flashback

Kayaknya tadi handphoneku ketinggalan di meja Pak Edo. Tanpa pikir panjang, aku berjalan cepat untuk kembali ke ruang musik. Di belakangku, Arina sibuk meneriakkan sampai jumpa karena dia sudah dijemput.

Untunglah pintu ruang musik belum dikunci. Aku segera masuk ke ruangan itu lalu mendapati seorang cowok yang bersenandung pelan sambil menarikan jarinya di atas tuts piano.

Aku tak tau itu lagu apa tapi musiknya benar-benar menenangkan hati. Permainannya sangat lembut dan tanpa pikir panjang, aku memberinya tepuk tangan setelah ia selesai memainkan lagunya.

Mata cowok itu segera menatapku galak. Aku tidak menggubris tatapannya yang seakan mengusirku itu. Aku segera menghampiri meja Pak Edo dan mendapati handphoneku masih tergeletak mulus di atasnya.

"Ngapain lo ke sini?" Tanyanya ketus. Benar-benar ketus. Tapi diri batuku yang tak tau malu malah menghampirinya.

"Lo keren deh. Itu lagu apa?" Tanyaku kemudian.

Lalu aku menyadari keanehan pada dirinya. Matanya yang tajam menatapku dalam dan penuh... kebencian?

"Urusan lo udah selesai? Keluar sana." Ucapnya ketus.

"Lo kenapa? Ada masalah?"

"Masih banyak bacot. Lo ga denger kalo gue nyuruh lo keluar?"

Tapi aku masih berusaha melunakkannya.

"Lo kenapa, Van? Cerita aja sama gue."

"Gue ga butuh elo!" Bentaknya kemudian.

Ivano bangkit dari kursinya lalu menghampiriku yang membeku akibat perlakuannya.

Dia kenapa sih?

Dapat kurasakan mataku memanas tapi mataku yang selalu memujanya malah balas menatap mata tajamnya dengan sendu.

Tangannya menarikku kasar lalu menyeretku menjauhi piano. Aku menghempaskan genggamannya. Kali ini aku benar-benar berniat untuk mendapat kejelasan atas tingkahnya selama ini.

"Lo kenapa sih?" Tanyaku setelah tubuh Ivano berbalik dan mata tajamnya terasa menusuk mataku. Aku mengerjapkan mata beberapa kali untuk menahan air mataku yang memaksa keluar.

"Gue cuma mau lo keluar dari sini."

"Kalo lo ada masalah, cerita aja sama gue. Biar lo ga marah-marah kayak gini terus."

BittersweetTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang