Part 32 : Broke

5.8K 491 8
                                    

Jam dinding kamar gue menunjukkan pukul 6:15 pagi. Bukannya gue niat bangun pagi, tapi gue ga bisa tidur. Gue bangun tiap sejam dan susah buat tidur lagi. Daripada makin sengsara, mending gue cabut ke rumah Laura aja.

Pagar rumah Laura tidak dikunci. Begitu gue parkir di depan rumahnya, gue nyelonong masuk ke halamannya. Gue ketuk pintunya dua kali dan langsung dibukain oleh empunya rumah.

"Hai. Lo rajin banget udah dateng jam segini?"

"Gue ga tidur nih. Buruan mana titipannya? Gue ngantuk."

"Duduk dulu di situ. Gue ambilin bentar."

Gue langsung duduk di kursi teras rumahnya sambil memejamkan mata sejenak. Giliran lagi ga di kasur aja, jadinya sengantuk ini. Arloji gue menunjuk pukul 6:45 saat ini.

"Nih, nih." Laura menyodorkan dua buah bungkusan sedang ke arah gue.

"Ini aja kan? Gue balik dulu ya."

"Eh, bentar." Laura nahan gue sebelum gue sepenuhnya berdiri lalu duduk di samping gue. "Ada yang pengen gue ceritain ke elo."

"Apa?" Gue putusin untuk dengerin ceritanya bentar.

"Jadi gini, sebenernya gue..."

Tiba-tiba gue inget sebuah pernyataan Irvan tentang cewe ini.

"Wait. Gue mau nanya dan lo harus jawab jujur."

"Nanya apa?"

"Irvan bilang ke gue kalo lo yang nembak dia. Bukan dia yang nembak lo. Kakak gue bener atau salah?"

Ekspresinya datar. Gue ga bisa nyimpulin jawaban yang bener dari tatapan datarnya.

"Nah, baru mau gue ceritain." Sahutnya kemudian.

"Buruan ceritain."

"Kakak lo bener. Gue yang nembak dia."

Begitu mendengar jawabannya, emosi gue langsung naik dan ga terkendali.

"Buat apa lo nembak dia?"

"Ya buat jadian sama dia lah."

"Bukan itu maksud gue. Kenapa lo duluan yang nembak dia? Kenapa lo bilang ke gue kalo dia yang nembak lo duluan?"

"Emang kenapa kalo gue duluan? Ga berhak gitu?"

Aneh. Cewe ini bener-bener aneh menurut gue.

"Jangan-jangan lo punya maksud tersembunyi di balik kebohongan lo."

"Gue emang punya maksud tersendiri kok." Matanya berubah licik.

"Apa yang lo mau sebenernya?"

"Gue cuma pengen lo, Van."

Tubuh gue membeku ketika mendengarnya mengucapkan hal itu.

"Maksud lo apa? Lo bilang lo udah move on dari gue."

Mata liciknya berangsur menghilang dan kini ia memasang tampang memelas yang gue raguin keasliannya.

"Gue bohong, Van. Gue ga bisa ngelupain lo sekeras apapun usaha gue. Karena usaha move on gue ga berhasil, jadi gue berusaha untuk dapetin elo. Gue kira kalo gue deketin kakak lo, gue bakal bisa dapetin lo nantinya. Tapi akhirnya lo ga pernah ngeliat gue sama sekali."

Gue ga habis pikir. Ternyata tampang kalemnya selama ini udah nipu gue berkali-kali.

Gue inget temen-temennya. Apa Arina dan Amanda ga tau soal ini? Trus Karen gimana? Apa Laura nyembunyiin semuanya dari mereka?

"Lo gila. Lo udah manfaatin kakak gue. Kayaknya gue ga bisa temenan lagi sama lo."

Gue ga peduli tentang titipan nyokap gue. Mungkin itu kebohongannya yang lain untuk mancing gue ke sini. Gue berdiri dan siap ninggalin rumahnya tapi dia berhasil nahan gue.

BittersweetTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang