Part 24 : Crazy Things

5.8K 482 4
                                    

Keadaan semakin gila.

Ga selebay itu sih.

Pertama, kepergian kak Kevin kali ini terasa berbeda. Papa dan Mama yang menyadari keretakan antara hubungan anak-anaknya selalu menegur setiap saat dalam perjalanan ke bandara. Kami selalu menjawab bahwa tidak ada apa-apa dengan enggan dan berat hati. Bahkan pelukan perpisahan kami hanya berlangsung 3 detik. Ucapan terakhirnya hanya, "Jaga diri lo." lalu tanggapanku, "Lo juga."

Tanpa kehangatan seperti dulu. Tanpa ketidakrelaan akan kepergiannya seperti dulu. Tanpa kasih sayang seperti dulu.

Aku tidak mau hubunganku dengan kak Kevin memburuk separah ini. Namun gengsiku selalu timbul setiap aku hendak mengetuk pintu kamarnya tiap malam.

Hingga perpisahan ini tiba.

"Karen, mungkin ucapan kak Kevin benar."

Aku tau ucapan Mama di mobil saat ini akan mengarah ke mana. Mama dan Papa memang mendengar pertengkaranku dan kak Kevin malam itu tanpa niat menengahi. Mereka berpikir bahwa kami pasti bisa menyelesaikan masalah ini dengan kedewasaan yang seharusnya telah kami kuasai. Namun usaha mereka untuk mendamaikan kami setelah itu tak kunjung berhasil. Kami selalu membuat alasan macam-macam tiap akan dipertemukan walau kami serumah. Ternyata ending dari segala keegoisan kami separah ini.

"Maaf, Ma. Karen sedang tidak bisa membahas masalah ini."

"Oke Mama ngerti. Tapi lunakkan dulu logikamu sebelum semuanya semakin lebih hancur daripada ini. Okay?"

Intonasi Mama lebih tegas dari biasanya. Aku tau, sebagai orangtua, Mama pasti kesal dengan keadaan anaknya yang seperti ini. Masalah serius kami membuat suasana rumah juga menjadi tidak baik.

Aku tau, tapi aku tidak berusaha untuk membenarkannya.

Aku tau, tapi aku tidak tau, apa yang aku tau.

Bego.

"Okay, Ma."

Itu yang pertama.

Kedua, entah untuk alasan apa, suatu malam Ivano mengajakku makan malam di sebuah cafe. Suasana cafe didesain sangat romantis hingga aku sempat berpikir bahwa Ivano yang membuat semua ini terlihat indah. Ia membawaku ke meja yang terletak di dekat jendela. Pemandangan dari jendela tersebut memang tidak begitu menarik, namun dengan kehadirannya di hadapanku membuat segalanya terasa sempurna.

Aku tau dan sadar bahwa ia nyaris saja melontarkan permintaan untuk menjadikanku pacarnya ketika dering handphonenya mengacaukan segalanya. Ia melirik caller ID di LCD hpnya dan dengan wajah panik, ia menggumamkan kata-kata tidak jelas dengan peneleponnya.

Setelah itu ia menutup telepon, mengantarku pulang tanpa menceritakan apa-apa.

Hanya dengan peristiwa itu, hubungan kami sedikit merenggang. Ivano yang biasanya menyempatkan diri untuk mengajakku makan siang sepulang sekolah, selalu pamit pulang dengan cepat bahkan akhir-akhir ini tidak pernah pamit pulang lagi.

Jam istirahat yang biasanya kami gunakan untuk sekedar mengobrol bersama juga menjadi jam istirahat yang tidak istimewa lagi.

Akibatnya, kami tidak sedekat dulu. Meski ia mengirimiku pesan selamat malam sebelum tidur, aku selalu merasa hal itu sudah menjadi rutinitas, bukan sebuah hal yang dilakukan dengan ketulusan.

Keadaan kacau ini tak mampu aku selesaikan. Aku berpikir bahwa mungkin ia sedang mendapat masalah serius sehingga ia membutuhkan sedikit jarak di antara kami. Namun jarak yang kuberi sepertinya menimbulkan masalah baru.

Itu yang kedua.

Ketiga, masalah baru sebagai akibat dari kekacauan kegilaan kedua adalah, Ivano yang kembali dekat dengan Radeana.

BittersweetTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang