Aku menaruh dua gelas cangkir di meja kemudian ikut duduk di sofa sambil memandang kedua orang tuaku dengan tatapan yang penuh akan kecurigaan. Bagaimana tidak, mereka datang jauh-jauh dari Palembang, tempat tinggal mereka, tanpa memberitahu aku terlebih dahulu. Dadakan lah istilahnya, hingga membuatku tak punya persiapan apapun di sini.
"Kenapa, ayah sama ibu diem?" tanyaku hati-hati. "Kalo enggak ada yang mau langsung di omongin, Saskia mau balik ke kantor."
Ayah bergerak, mengambil handphone-nya dari saku kemudian menghubungi seseorang di seberang sana, percakapan mereka singkat sekali, Ayah hanya mengabarkan kalau mereka sudah berada di rumahku dengan selamat kemudian sambungan telepon dimatikan, sedangkan Ibu malah beranjak ke dapur tanpa sepatah kata pun. "Ayah, ibu, ada apa?" tanyaku, sekali lagi.
"Cocok enggak acting ayah jadi orang dingin?"
"What?" celetukan Ayah membuatku hampir saja tersedak minuman soda yang baru saja masuk ke mulutku.
"Ayah habis nonton drama korea, Sas. Kalo di Korea, tiap ketemu anak tuh jangan langsung ngobrol tapi harus terlihat berwibawa dulu."
Hah?
Aku sulit mencerna kalimat laki-laki yang berusia 46 tahun di depanku ini.
"Ahh, dasar enggak gaul. Makanya jangan kerja mulu, sesekali nonton drakor juga perlu."
Aku makin melongo.
Astaga!
"Ih Ayah!"
Ayah tertawa pelan. "Ayah kangen sama kamu, memangnya Ayah enggak boleh datang kemari sesuka hati ayah?"
Aku menggaruk kepalaku yang tiba-tiba gatal. "Enggak, sih. Tapi kan, kalau bilang dulu, Saski bisa beres-beres atau nyiapin apa kek," ucapku.
"Ish ish, kaya sama siapa aja. Ngapain beres-beres dulu, kan—"
"ASTAGA SASKIA! INI PANCI KENAPA BISA SAMPE BERKERAK GINI? INI JUGA KULKAS KAMU ISINYA MAKANAN INSTAN SEMUA, enggak sehat tau!"
Aku mendengar Ibu mengomel.
Itulah maksudku dengan beres-beres.
Aku belum sempat membereskan seluruh makanan instan yang ada di kulkas, kalau ketahuan Ibu bisa dibuang semua makananku. Dan benar saja, makanan yang ada di kulkas sudah ibu masukkan ke dalam plastik besar berwarna putih. "Ibu ngapain dibuang? Mubadzir tau, dosa." kataku, sambil bersnjak menghampiri ibu dengan plastik ditangannya.
Ibu berkacak pinggang. "Ini makanan udah basi, Saskia. Liat expired nya, untung aja kamu enggak keracunan. Ibu si yakin kalau Ibu enggak datang, makanan basi ini bakal pindah ke perut kamu."
Iya, kah? Memang sejak kapan expired-nya? Aku tidak pernah memperhatikan hal semacam itu, tiap belanja pasti langsung aku masukkan ke dalam keranjang tanpa melihat bagaimana komposisi dan tanggal kadaluarsanya.
"Aduh, Ibu, itu soda aku juga kenapa dikeluarin?"
Ibu menatapku tajam. "Bibi kamu di kampung tuh kena gagal ginjal gara-gara minum ginian terus, lebih baik dibuang."
Aku menghela napas, membiarkan semua makanan dan minuman kesayanganku raib dibuang oleh Ibu. Begitulah ibuku, dia sangat ketat terhadapku. Bahkan saat aku masih menetap bersama mereka, aku tidak diizinkan jajan di luar, selalu disuruh bawa bekal dari rumah. Gunanya apa? Ya biar sehat saja, padahal lima tahun semenjak aku merantau, aku selalu makan makanan instan dan fastfood, tapi lihatlah aku, aku baik-baik saja di sini. Huhh, Dasar ibu-ibu.
"Kamu sama Ibu tuh ribut aja, enggak pernah akur." komentar Ayah saat aku kembali duduk di sofa ruang tamu.
"Ya ayah, kenapa enggak misahin kami."
"Buat apa pula ayah lakukan itu? Kan seru, rumah jadi rame. Ayah suka."
Jawaban Ayah memang selalu di luar nalar logikaku. "Ayah belum jawab pertanyaan aku tadi."
Ayah meletakkan ponselnya di meja. Lelaki berusia hampir setengah abad itu kali ini menatapku serius dengan alis yang hampir bertaut. "Umur kamu sekarang berapa, Sas?"
"27, Yah."
"Cukuplah buat menikah. Ayah sudah jodohkan kamu dengan seseorang, kamu kenal kok orangnya."
Apa?!
Apalagi ini?!
Sumpah! Lebih baik semua makanan instanku dibuang oleh Ibu daripada harus berurusan dengan jodoh-jodohan seperti ini.
"Ayah ih! Aku gak mau nikah!"
Aku beringsut duduk di samping Ayah lalu memohon untuk tidak menjodohkanku dengan siapapun karena aku tidak mau menikah, aku tidak mau keluar dari zona nyamanku, aku tak ingin bersama orang asing dan berbagi tempat tidur. Dan, dan aku tidak mau orang itu melihat seluruh tubuhku tanpa busana! Aku merengek pada Ayah, tapi ayah kembali dalam mode cool.
"Inget enggak sama Hardian anak om Beni?" tanya Ayah.
Aku coba mengingat Hardian yang ayah maksud.
Oh! Hardian si anak menyebalkan itu?! Hardian yang suka menbully ku gara-gara waktu kecil aku memiliki tubuh gemuk dan kulit kucel macam gembel di jalanan? Aku ingat dan tahu betul bagaimana Hardian, bahkan aku tidak ingin bertemu lagi dengannya karena aku sangat membenci bocah laki-laki itu.
"Dia nyebelin, Ayah. Waktu kecil hobi ngebully sampe aku gak sekolah kalau ada dia di situ."
Bagaimana mungkin aku akan menghabiskan waktu dengan orang yang sangat menyebalkan seperti Hardian?
Big NO!
"Itu kan waktu kamu kecil, toh. Sekarang udah beda, Hardian punya posisi bagus di perusahaan tambang tempat dia kerja, masa depan kamu terjamin kalau nikah sama dia," jelas Ayah sambil melepaskan rangkulan tanganku. "Kamu sudah dewasa, sudah waktunya mikirin nikah. Kalau enggak nikah, memangnya kamu mau jadi perawan tua? Ayah sih gak mau, nanti apa kata dunia?"
"Jadi ayah lebih mikirin apa kata dunia daripada mikirin perasaan aku?"
Ayah mengangguk santai.
"Ayah!"
Aku menutup wajah frustrasi. Pantas saja Ayah dan Ibu tiba-tiba datang ke sini tanpa konfirmasi terlebih dahulu, ternyata ada niat terselubung.
"Aku gak mau nikah, Yah!"
"Kenapa?"
"Aku lesbi!"
Ayah terkejut, begitupun aku.
Bisa-bisanya....
Tapi respon ayah, jauh diluar dugaanku.
~~TBC.
Halo guys, semoga kalian suka ya dengan cerita yang baru seumur jagung ini.
Terimakasih :)
KAMU SEDANG MEMBACA
My Lecture is My Wife
ChickLit18+++ Menceritakan tentang Saskia Larissa, seorang dosen Prodi Akuntansi yang dijodohkan secara tidak sengaja dengan Mahasiswinya sendiri, Audrey Sheilla. Perjodohan itu membawa Saskia menemukan dirinya yang 'baru' setelah perasaannya mati selama be...