10. His name, Jarvis.

4.2K 273 5
                                    

Haruskah ia pergi mengajar hari ini?

Jujur saja, Saskia masih takut bertemu dengan Rizki. Ia takut jika nanti pria itu kembali melecehkannya di area kampus. Saskia mendesah pelan, desahan putus asa itu terdengar oleh telinga gadis yang duduk berseberangan dengannya. Gadis itu kini sudah benar-benar fit kembali, ia juga sudah bisa berangkat ke kampus namun masih harus menggunakan tongkat untuk membantunya berjalan.

"Enggak bosen masak mie terus?" Audrey bertanya, untuk memecah keheningan diantara mereka. "Bahaya tau buat lambung."

"Saya enggak bisa masak hal lain selain mie instan."

"Kan bisa beli di online," jawabnya polos.

"Ongkirnya mahal, kalau saya beli terus di online mungkin gaji saya bakalan habis buat makan saja," jelas Saskia sambil meminum teh hangatnya.

"Kalau kamu mau nanti aku minta Papa buat kirim catering kemari, kamu enggak perlu bayar biayanya."

Tentu saja Saskia menolak mentah-mentah ucapan gadis itu. "Saya enggak mau ngerepotin Om Hutama."

"Papa, Saskia. Papa aku berarti Papa kamu juga." Audrey mengoreksi sedikit ucapan Saskia. "Itu buat aku juga biar enggak ikutan makan mie instan kayak kamu."

"Yauda buat kamu aja, saya enggak mau makan. Kalau pun mau makan hal lain, saya bisa beli di warteg dekat kompleks, atau makan di kantin kampus."

"Ish, kok ada ya orang seirit kamu?"

"Kenapa? Aneh? Kamu bisa berpikir seperti itu karena Papa kamu masih jadi donatur utama, nanti kalau sudah bekerja sendiri kamu baru paham bagaimana posisi saya."

"Nanti aku kerja di perusahaan Papa, dapet gaji sesuai kemauan aku, jadi aku gak bakal hidup irit deh biar bisa foya-foya setiap hari."  Gadis itu meniup mie instan yang masih mengeluarkan asap panas agar bisa segera disantap. "Bukannya kamu juga ditawarin kerja diperusahaan Papa, ya?"

"Iya, tapi saya enggak mau."

"Kenapa?"

"Kenapa saya harus jawab pertanyaan kamu?"

"Ish, gitu banget sama istri sendiri."

Ayolah, Saskia belum bisa terbiasa dengan sebutan 'istri' yang dimaksud oleh Audrey. Kalau 'teman hidup' mungkin Saskia bisa menerima sebutan itu. Tapi, lebay juga kalau diucap setiap hari apalagi jika mendengar secara langsung.

Teman hidup.

Jadi, Audrey adalah teman hidupnya, ya?

Memang bisa, teman hidup, bersama-sama, tanpa rasa cinta sedikitpun? 

Mungkinkah hal itu bisa dijalani keduanya?

Entahlah, Saskia pusing.

***

Ketik. Hapus. Ketik. Hapus. Setidaknya kegiatan itulah yang terus dilakukan Audrey sepanjang jeda antar mata kuliah pertama menuju mata kuliah berikutnya. Dia ingin menghubungi wanitanya— namun, astaga, bagaimana caranya? Apa yang harus Audrey katakan untuk memulai pembicaraan?

"Drey."

Audrey menutup ponselnya kala mendengar Jema memanggil. Jema memandangnya masih sama seperti kemarin; penuh rasa bersalah. Padahal Audrey tidak sakit parah, hanya sempat di rawat satu hari dan harus menggunakan alat bantu untuk berjalan, dan itu bukan masalah besar bagi Audrey.

"Gue minta maaf soal kemarin, gue seharusnya lebih bisa jagain lo."

"Mau jagain juga gimana caranya? Lo mau ngintilin gue terus gitu? Kan enggak. Udahlah gak pa-pa, yang salah tuh Fanya. Seharusnya dia yang minta maaf ke gue."

My Lecture is My Wife Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang