4. Terlalu berjarak

4.4K 322 6
                                    



Bisa dibilang, Saskia orang yang aneh. Ekspresinya selalu datar, tidak nampak ketertarikannya pada hal lain selain fokus membaca buku dan menyendiri di balkon sambil sesekali melakukan pekerjaannya sebagai dosen. Sudahlah, aku tidak ingin terlalu membahasnya, aku akan mencoba untuk tidak ambil pusing dengan setiap kelakuan Saskia.

"Oy, hari ini jangan lupa ada latihan ya," kata teman satu organisasiku di kampus, namanya Jema yang kebetulan satu kelas denganku di semester 1 ini. Kebetulan, di kampusku sudah menggunakan sistem paket, jadi aku dan Jema akan satu kelas terus sampai semeter 6 dan akan berpisah ketika semester 7 ke atas jika memang kami memilih mata kuliah seminar porposal yang berbeda, setidaknya begitulah kata salah satu pengisi acara pada saat PKKMB kemarin.

"Iyaa, lo tenang aja. Gue gak bakal kabur," balasku pada Jema. Jema hanya mengangkat jempol kemudian berlalu pergi lebih dulu keluar karena temannya sudah menunggu di depan kelas. Sedangkan aku? Aku menunggu Mario selesai beres-beres di meja belakang, Mario menggandeng tanganku saat dia sudah siap untuk pergi. Pergi kemana? Tentu saja kantin lah, aku kelaperan sehabis mengikuti mata kuliah sebanyak 4 SKS.

Aku celingukan mencari ketiga temanku yang lain, ah di sana ternyata sudah ada Gea, Najwa dan Dion. Mereka sudah duduk di kursi kantin tapi belum ada makanan.

"Eh kenapa muka si Dion, sedih amat keliatannya," kataku sambil duduk di samping Najwa yang tengah fokus membaca buku pengantar Ekonomi yang baru aku lihat judulnya saja sudah membuatku pusing dan mual.

"Abis kena semprot bu Saskia tadi," jawab Gea mewakili Dion. Gea satu kelas dengan Dion, jadi wajar kalau dia tahu tentang situasi Dion.

"Hah serius? Emang lo diapain sama dia?"

"Di suruh ngulang mata kuliah dia gara-gara si Dion gak sengaja kentut pas kelas, lagian ni anak pea banget anjing ada dosen malah tidur pules mana kentut lagi," terangnya menjawab pertanyaan Mario yang langsung mengundang tawa kami semua, termasuk Najwa yang datang membawa nampan berisi es nurtrisari rasa jeruk untuk kami semua. Kalian jangan berpikir buruk dulu, Najwa tidak kami jadikan pembantu, memang ini bagian dia untuk membeli makanan dan kami akan gantian untuk melakukan itu. "Lo tau kan ya, muka gloomy bu Saskia kayak apa? Dia sampe batalin kelas gara-gara marah sama nihh bocah dan ngasih kita tugas seabrek sebagai gantinya."

"Bangsat Dion, pantesan lo disuruh ngulang, untung aja lo kaga DO," kata Gea masih dengan sisa tawa yang tersisa. "Mana tuh dosen killer banget lagi, bisa-bisanya."

"Gue gak sengaja kentut anjing," jawab Dion masih dengan mukanya yang memelas. Kasihan juga. "Gimana kalau tu orang nikah, terus suaminya kentut pas tidur ya? Udah pasti bakal cere kali,"

Ucapan Dion membuatku salah tingkah, aku lupa memberitahu mereka tentang pernikahanku kemarin yang tentu saja sangat dirahasiakan itu, aku bahkan tidak tau akan memberitahu mereka atau tidak.

"Najwa, kamu udah beli minum belum?" tanyaku saat minuman kami terasa kurang satu, dan ternyata jawaban Najwa membuat kami langsung tidak enak hati.

"Aku lagi puasa hari senin." Diantara kami semua yang mirip dengan setan, Najwa justru tetap pada pendiriannya menjadi orang yang soleh dan taat pada agamanya.

"Ahh, kenapa lo gak bilang?"

"Gak pa-pa, kok." jawab Najwa untuk menenangkan rasa tidak enak hati kami semua.

Terdengar desahan putus asa dari Dion. "Kalau gue beneran ngulang gimana?"

Gea pun menimpali. "Sebelum beneran terjadi, saran gue lo minta maaf aja dulu sih."

"Eh tapi sumpah, liat mukanya aja gue udah takut ya meskipun dia cantik pake banget," jawab Dion frustrasi, Aku setuju, istriku memang cantik, hehe. "Kalau gak galak sih, kayanya bakal gue pacarin deh."

"mana mau dia sama playboy kampung kaya lo anjir," kata Mario. "Gue yakin spek dia sih minimal perwira lah," jawabnya dengan sangat yakin. "Secara dia dingin banget gue liat."

"Tapi menurut aku, Bu Saskia itu baik kok," kata Najwa tiba-tiba, yeah diantara kami semua, hanya Najwa yang selalu punya pikiran paling positif. "Waktu itu dia senyumin aku pas pulang."

Hanya itu? Astaga! Semua orang juga bisa kali. Temanku yang satu ini memang sangat naif.

Siang hari menuju sore, aku sudah berada di tempat latihan futsal di mana teman-temanku sudah menunggu

***

Huhhh... lelah sekali hari ini, kegiatanku amat padat, dari mulai kunpulan dengan anak himpunan sampai latihan futsal sampai memnuatku harus pulang larut malam begini. Untung saja besok adalah hari sabtu, sesuai dengan rencana, aku akan meminta izin pada Papa sebelum pergi.

Sbenarnya Papaku bukan tipikal orang yang strict pada anaknya, dia membebaskanku mau melakukan apapun asal positif dan tidak merugikan orang lain, yah setidaknya ada kegiatan positif yang aku lakukan meskipun tidak banyak. Sisanya yaa pintar-pintar aku menyembunyikan semua kelakuanku di belakang Papa.

"Kok gelap ya? Dia udah tidur?"

Aku baru ingat, kalau sekarang aku tinggal dengan orang lain, dan orang itu adalah dosenku sendiri. Si wajah gloomy yang lempeng sekali ekspresi dan tingkah lakunya. Aku berjalan pelan menuju ruang keluarga, kulihat hanya ruangan itu yang masih menyala lampunya dibarengi dengan suara televisi, dan benar saja, di situ ada Saskia tengah menonton drama Korea. Serius? Aku kira dia tidak suka menonton di televisi.

"Hm," aku berdehem. Lalu Saskia menoleh, hanya sekilas kemudian lanjut nonton drama decendent of the sun dengan khusyuk. "Minimal dapet sambutan kek," kataku dengan kesal, lalu duduk di sofa sedangkan dia tengah selonjoran di bawah, memang tidak sopan, tapi biarlah. Di rumah ini, dia istriku.

"Sambutan apa? Kamu bukan rektor," jawabnya dengan tak acuh sambil memakan pop corn yang kelihatannya enak. "Kenapa malam sekali pulangnya?"

"Kenapa? Kangen aku ya?" tanyaku, menggodanya dan dengan polos dia menggeleng sambil mendongak menatap ke arahku.

"Papa tadi nanyain kamu ke saya," katanya. "Saya gak tau harus jawab apa, karena saya gak tau kamu pergi ke mana."

"Kenapa gak kamu tanya langsung aja ke aku."

"Saya tidak punya nomor kamu, Audrey," katanya lagi.

"Astaga! Iya ya, aku lupa, kita belum saling bertukar nomor telepon." Bisa-bisanya. Aku tidak yakin aku bisa tahan lebih lama hidup bersama orang sepertinya atau kah akan menyerah lebih dulu saat sadar bahwa kami tidak ada satupun yang berusaha untuk terbuka satu sama lain. Bukannya aku tidak mau, hanya saja, Saskia sangat menutup diri, aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan agar dia lebih terbuka padaku, setidaknya, bicara dengan intensitas yang lebih banyak, karena aku tidak jika hanya diam saja jika ada orang di depanku.

"Kayaknya enggak perlu," ucapnya sambil menatikan televisi yang tadi menyala. "Nanti saya suruh Papa hubungi kamu langsung."

Lalu dia berlalu pergi, namun aku menahan tangannya. "Aku tau hubungan kita emang cuma sebatas menuruti keinginan terakhir Mama, tapi apa enggak bisa kamu sedikit aja lebih ramah ke aku?"

"Buat apa?"

"Stop nanya buat apa! Kalau emang enggak mau, kamu bisa nolak dari sekarang. Aku enggak akan nahan kamu di sini," kataku yang tiba-tiba berapi-api, aku kesal jika diabaikan oleh seseorang.

"Aku kira kamu bisa bikin aku gak kesepian."

"Saya bukan orang yang sebaik itu."

Baiklah, memang salahku karena terlalu banyak berharap padanya. Aku juga bingung di mana letak otakku saat Papa tiba-tiba menjodohkan aku dengannya yang notabenenya bukan tipeku sekali.

Sepertinya saat itu aku terkena sihir darinya.





~TBC.

My Lecture is My Wife Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang