3. Menepati Janji

4.7K 347 6
                                    

Gemericik hujan turun membasahi bumi, membuat tanah-tanah itu kian membasah dan licin. Aku hendak mencari tempat teduh, namun aku tidak sampai hati saat ada seorang anak yang masih menangisi kepergian sang ibu meski hujan turun membasahi bumi. Aku tidak bisa beranjak, sebagai manusia.m, aku harus menemaninya saat ayahnya sendiri sudah pingsan dan dibopong pergi menjauh dari area pemakaman.

"Ayo berteduh, nanti kamu sakit," kataku sambil memegang bahunya. Dia menggeleng, lalu terduduk lemah di samping kuburan Ibunya. Aku tak bisa melakukan apa-apa selain memayunginya agar pakaian yang ia kenakan tidak semakin basah.

"Mama tau kan, aku enggak bisa hidup tanpa Mama! Kenapa Mama ninggalin Audrey?! Nanti siapa yang bakal marahin Audrey kalau Aidrey pulang malem? Mama...! Audrey pengen ikut!"

Tangis pilu teriring hujan yang semakin deras disertai dengan angin menghujami wajahku, aku tidak bisa menahannya lagi, aku lantas menyeret Aidrey agar berteduh di salah satu pondok yang terletak tak jauh dari tempat Tante Hera dimakamkan.

"Kenapa sih, Mama harus pergi? Emang Mama pikir aku bisa hidup sendirian di sini?" Audrey masih meracau. Hidungnya sudah memerah dengan mata yang sembab hampir tak kelihatan bola mata Audrey.

"Masih ada Papa kamu," jawabku singkat.

Audrey tidak menjawabku. Dia duduk ditepian pondok sambil menunduk ke bawah. Bahunya masih bergetar kecil, namun aku bisa melihat Audrey bisa lebih tegar dari sebelumnya. Setidaknya untuk sekarang.

"Saya temani kamu pulang, ya."

Audrey menggeleng. "Aku mau di sini, aku enggak mau pulang. Aku gak tega kalau Mama harus sendirian di sini."

Aku tahu Audrey sedih, tapi bulu kudukku langsung merinding saat membayangkan bermalam ditengah kuburan. "Saya pernah diceritakan oleh Ayah kalau orang yang meninggal biasanya masih ada di rumah sampai hari ke-40."

Audrey menatapku, sendu. "Itu dongeng," katanya, keras kepala.

Sebelum hujan semakin deras dan akan lebih menyulitkan kami, aku pun menarik tangan Audrey agar dia mau berjalan beriringan denganku. Untung saja Audrey tidak berontak aku melakukan itu.

"Maaf saya tidak bermaksud buat kasar sama kamu," kataku saat kami berdua sudah duduk di dalam mobil dengan keadaan setengah nasah kuyup.

Audrey hanya mengangguk lantas memandang jauh ke arah jendela, dua puluh menit berselang kami sampai di rumah mewah milik Audrey. Rumah ini terasa sepi, di ruang tamu hanya ada Ayah yang sedang memainkan ponselnya.

"Ayah aku nganteri Audrey ke kamarnya dulu," kataku setelah menyapa Ayah.

"Iya, Nak. Tolong temani Audrey dulu ya, dia pasti sangat terpukul."

Dengan berat hati aku mengiyakan perkataan Ayah lalu menyusul Audrey masuk ke kamarnya.

"Drey... Saya bawain kamu roti dan susu," ucapku sembari membuka bungkus roti untuk Audrey. "Kamu belum makan dari kemarin."

Audrey menolak, dia malah merebahkan tubuhnya sqmbil memunggungiku dan aku kembali mendengar suara tanginya.

"Audrey. Makan dulu, nanti baru nangis lagi."

Audrey tidak mengindahkanku.

"Audrey—"

"Aku enggak mau! Kalo kamu ke sini cuma nyurih aku makan, mending kamu pergi! Aku pengen sendiri!"

Dia mengucapkan sederet kalimat itu tanpa memandang ke arahku.

Sabar. Sabar.

"Kalau kamu perlu sesuatu, saya ada di depan bareng Ayah."

My Lecture is My Wife Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang