Chapter 7 - Akhirnya Berakhir

40 13 0
                                    


Reihan hampir terlelap, tetapi ia mendengar ada yang mengetuk pintu kamarnya. Tidak mungkin itu adalah Rere atau Mamah, karena keduanya tadi sudah pamit akan pergi belanja ke supermarket. Reihan pun akhirnya melonggarkan selimut yang menutup badannya.

"Han, ini gue. Tera sama Juna. Boleh masuk gak?"

"Masuk aja, Ra. Gak gue kunci pintunya." Suaranya parau, bahkan Reihan lupa kapan terakhir kali ia minum. Sial sekali patah hati ini, bisa-bisanya dia mengubrak-abrik seorang Reihan dalam kurun waktu kurang dari dua puluh empat jam.

"Minum dulu, nih. Bibir lo udah kaya sawah pas musim kemarau," kata Tera sambil memberikan segelas air putih pada Reihan.

Reihan menerima gelas itu dan meminumnya beberapa teguk. Lidahnya terasa pahit, padahal ia belum meminum obat apapun.

"Tadi di jalan gue ketemu sama Rere dan Mamah. Terus minta izin buat liat lo ke rumah. Abisnya gue chat lo ceklis satu terus."

"Lupa juga nyimpen handphone dimana. Baterainya habis kali."

"Nih, sate ayam favorit lo. Tadi pas gue lewat sana, jadi ingat sama lo. Gue jabanin walau antri setengah jam."

"Tumbenan lo, Ra. Biasanya paling anti buat antri lama-lama," celetuk Juna.

Tera memberikan sate ayam yang masih terbungkus beserta piring untuk alasnya kepada Reihan. "Makanya lo jangan sia-siain perjuangan gue buat dapatin sate ini. Lo harus makan. Habisin semuanya."

"Lo mau gue suapin gak, Han? Biar romantis kaya orang-orang." Juna menawarkan diri.

"Nggak. Gue juga masih punya tangan."

Juna melihat ponsel Reihan yang berada di atas meja belajar. Lalu, ia berinisiatif untuk mengisi ulang baterainya.

"Boleh gue bahas nggak yang tadi Jayden omongin di lapangan?" Tera duduk bersila di lantai sambil melihat Reihan  yang terlihat mengenaskan. Bibirnya pecah-pecah dengan muka yang pucat.

"Apa yang bikin lo masih penasaran?"

Juna ikut duduk bersama Tera. "Gimana kalau Reno tahu lo pacaran sama Daisy?"

"Bukan urusan gue. Gue udahan sama dia." Reihan masih berusaha mengunyah sate ayam yang entah kenapa terasa hambar di lidahnya.

"Lo udah bilang putus?"

"Belum, sih. Tapi emang apa yang lo harepin lagi? Udah ketahuan busuknya."

"Bagus. Udah paling benar keputusan lo." Juna memberikan jempol ke arah Reihan.

"Han, lo harus tahu kalau ini bukan salah lo. Selama ini lo udah cukup baik sama dia. Emang dianya aja yang gak bersyukur." Tera berdiri dan menepuk bahu Reihan, mencoba menenangkan temannya itu.

Sepertinya Tera bisa menebak isi kepala Reihan yang rumit sejak semalam. Benar, sedikit banyak dia masih mempertanyakan apa salahnya sampai Daisy tega mengkhianatinya. Meraba-raba apa yang selama ini tidak dilakukannya.

Selama dua bulan, Reihan dengan tulus mengantar dan menjemput Daisy dari rumah ke sekolah walau jaraknya agak jauh. Mencoba memberi hadiah yang disukainya. Memberi kabar sesibuk apapun Reihan. Mengajaknya berjalan-jalan ke tempat yang Daisy mau. Bahkan rela mengurangi intensitas nongkrong bersama teman-temannya agar punya lebih banyak waktu bersama Daisy. Namun, ternyata bagi Daisy, itu tidak cukup.

Tak terasa mata Reihan basah. Airnya tak terbendung dan jatuh di pipinya. Sejenak matanya terpejam hanya untuk menghentikan laju air yang mengalir dari sana. Ia usap dengan punggung tangannya. Cukup. Hanya boleh sampai disini saja, tidak usah diratapi lagi. Begitu batin Reihan. Namun, tetap saja dadanya sesak bagai ada ratusan kilo beban bertengger disana. Bukankah cinta itu adalah memberi dan menerima? Lalu, mengapa ia banyak memberi namun sedikit menerima? Mengapa juga ia merasa selama ini berjuang sendirian?

Juna menyalakan ponsel Reihan. Banyak notifikasi pesan masuk dan beberapa panggilan tak terjawab yang berasal dari teman-temannya. Lantas Juna memberikannya kepada Reihan. Masalah ini harus cepat selesai.

"Lo liat deh, kali aja ada chat dari dia. Biar cepat kelar urusannya," ujar Juna.

Reihan mencari chat room Daisy dan membaca beberapa pesan dari temannya yang lain. Sebelumnya, ia menebak mungkin Daisy akan meminta maaf untuk kesalahannya. Namun, dugaannya ternyata meleset.

My Daisy 🌸
Han, kita putus ya

Reihan tertawa sinis melihat chat room itu. Tera dan Juna jadi penasaran. Tera sampai menaikkan alisnya sebagai kode menanyakan apa yang terjadi. Juna langsung meraih ponsel Reihan dan melihatnya.

"Waduh, ada, ya, manusia modelan kaya begini? Gue bales chatnya boleh gak? Mumpung dia lagi online nih."

"Serah lo, deh. Jangan kasar-kasar, kasihan." Reihan masih peduli dengan Daisy.

Reihan melempar ponselnya ke arah Juna. Ia duduk di pinggir tempat tidur lalu menyuapkan lagi sate ayam yang dibawa Tera. Satu suapan lontong dan Reihan masih mencoba menelannya.

My Daisy 🌸
Han, kita putus ya

Reihan Sagara
Y


My Daisy 🌸
Udah gitu aja?

Reihan Sagara
Gue ganteng, gue juga gak kere. Terus gue pintar dan keren. Lo nya aja yang gak bisa bersyukur.


My Daisy 🌸
Iya, kamu terlalu baik buat aku.

Reihan Sagara
Emangnya menurut lo, Moreno itu kriminal ya?


You blocked this contact.


Bersamaan dengan itu, tiba-tiba penglihatan Reihan menggelap. Kepalanya terasa sangat berat. Reihan masih mencoba mengatur nafas. Namun, badannya sudah tak kuasa menahan.

Ada suara keras yang mengejutkan Tera dan Juna. Piring berisi sate itu jatuh ke lantai. Menjadi kepingan yang berantakan. Tubuh Reihan ambruk.

***

Selang infus sudah terpasang di tangan kiri Reihan. Bau khas rumah sakit tercium di kamar itu. Sudah lima jam lebih saat Reihan dibawa ke rumah sakit. Namun, ia masih terbaring dan belum sadarkan diri.

Reihan asing dengan keadaan ini. Ia mencoba mengerjapkan matanya beberapa kali. Lampu terang adalah hal yang pertama Reihan lihat. Kemudian, ia sadar kalau ini bukanlah langit-langit kamarnya. Dindingnya pun mempunyai warna yang berbeda dari kamarnya.

"Dek, dimana ini?"

Rere adalah sosok yang pertama dilihatnya saat membuka mata. Ada Mamah dan Papah yang langsung bangkit dari sofa saat melihat Reihan sudah bangun.

"Di rumah sakit, A. Tadi Aa pingsan. Kak Tera sama Kak Juna yang bawa ke sini. Teman Aa yang lain pada nyusul bareng aku, mamah dan papah. Tapi, tadi abis Isya udah pada pulang."

"Baring aja lagi kalau masih lemas. Gak usah dipaksa." Suara Mamah terdengar menenangkan.

Reihan masih heran dan mencerna apa yang terjadi. Ia mencoba mengingat satu per satu momen sampai ia bisa terbaring di ranjang ini. Namun, ternyata energinya masih belum terisi. Mungkin benar kata Mamah, saat ini ia hanya perlu istirahat. Reihan kembali menutup matanya. Kemudian, ia terlelap lagi untuk mengistirahatkan tubuh dan hatinya.

Au Revoir [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang