Hari Minggu yang ditunggu akhirnya tiba. Hari yang biasanya digunakan untuk rebahan atau berkumpul dengan keluarga. Bagi Reihan, akan menjadi hari yang agak penting. Hari dimana ia akan punya teman baru, mungkin. Dia tidak yakin kalau Jessica akan datang sendiri. Seperti yang Gea katakan, ia tidak mau bertemu dengan orang yang baru ia kenal sendirian. Jadi Reihan tidak akan mempermasalahkan itu. Datang sendirian atau dengan temannya, tak masalah.
Bahkan ia sudah memberi penanda di kalender ponselnya. Cloudy Cafè, 02 PM tertulis sebagai pengingat. Otaknya masih menyanggah kalau ini hal penting. Namun, hatinya berkata lain. Ayo, kamu harus tampil lebih menarik hari ini.
Setelah makan siang, Reihan sudah berangkat. Ia pergi ke apartemen Gea terlebih dahulu untuk mengambil mobil. Ia tidak ingin telat. Tidak ingin memberi kesan pertama yang kurang baik. Ia memilih memakai celana jeans berwarna biru. Tentu saja tanpa bolong di lutut yang biasa dipakainya saat jalan dengan Gea dan Jayden. Serta kaus hitam yang dibalut kemeja flanel berwarna dominan biru.
Hampir setengah jam perjalanan, akhirnya Reihan sampai di Cloudy Cafè. Masih ada waktu lima belas menit menuju waktu yang dijanjikan Jessica. Reihan terlebih dahulu memesan minum dan makanan ringan. Reihan mulai membuka aplikasi game dan memasang airpod. Menunggu tidak akan terasa lama kalau dipakai bermain game.
Hanya tersisa lima menit ke jam 2 sore dan ada sesosok bayangan yang lewat di meja yang Reihan tempati. Sudah dua kali dia mondar mandir. Reihan tidak menyadari hal itu sampai ada bunyi kursi yang ditarik dan Jessica ada di depan matanya.
Jessi mengamati meja kemudian melihat jam tangannya. Ada piring berisi fish and chips yang tinggal setengah. Juga segelas Ice Americano yang isinya hampir habis. Berarti menandakan Reihan sudah agak lama disini. "Udah lama nunggu, ya? Gue gak telat, kan?"
"Gak. Gue emang sengaja datang awal aja. Takut macet di jalan"
"Gue kejauhan, ya, milih tempatnya?"
"Lumayan, sih. Tapi, gak apa-apa. Gue jadi punya referensi tempat nongkrong baru. Cozy juga disini. Lo sering kesini?"
"Kalau lagi nugas biasa kesini. Aglio Olio nya enak. Favorit gue, tuh."
"Silakan order aja. Gue juga mau nambah, nih. Kita coba rekomendasi dari lo."
"Gue Jessica, HI. Panggil Jessi aja biar gak kepanjangan."
"Reihan, Teknik Sipil. Gue minta maaf kalau pas di kantin sospol gue kasar sama lo."
Reihan mengulurkan tangannya, menyambut tangan Jessica. Ia agak membungkukkan badannya karena ia ingin Jessica tahu kalau ia tulus meminta maaf.
"Maafin gue juga, ya. Baju lo jadi kotor waktu itu."
"Lagian lo gak sengaja, kan? Gak usah dibahas lagi."
Ada senyum yang merekah di bibir Jessica. Ada sorot mata yang bicara saat keduanya mengobrol. Sesekali terdengar tawa renyah dari Jessi dan Reihan suka mendengarnya. Juga tentang bagaimana Jessi mendengarkan apa yang Reihan terangkan. Tentang bagaimana Jessi bercerita dengan antusias. Tentang apapun topik yang mereka bahas. Dari cerita kampus sampai rekomendasi makanan yang menurut mereka enak.
Lalu, Reihan mengingat satu hal. Ia mengambil sesuatu dari tasnya. Paper bag dengan isi yang masih utuh. Reihan menyodorkan paper bag itu ke hadapan Jessi.
"Sori Jess, kalau boleh jujur gue ngajak ketemu buat balikin ini. Ini tuh too much buat sekedar noda kecap di kemeja gue."
Jessi memejamkan mata sambil menarik nafas dalam-dalam. Sebenarnya ia tak ingin membahas hal ini. Jujur, ia malu. Namun, agar salah paham ini tidak berlarut, nampaknya Jessi memilih untuk meluruskannya.
"Lo ingat gak pas hari dimana lo masuk ke perpus?"
"Perpustakaan kampus? Oh, pagi-pagi, kan? Gue mau pinjam buku buat lengkapin tugas. Kenapa emangnya?"
"Gue ngikutin lo. Tapi beneran gak maksud ngintilin gitu. Gue cuma mau minta maaf tapi kayanya waktunya gak tepat soalnya lo kaya buru-buru gitu."
Terjawab sudah sekarang. Tidak ada setan yang mengikuti Reihan. Reihan harus malu karena memfitnah setan dan membuat Jayden malas pergi ke perpustakaan kampus.
Jessi masih menarik nafas panjang di sela ceritanya. Reihan hanya mendengar dan menunggu dengan sabar. "Terus gue sampai ngikutin lo ke rental komputer. Gak taunya disana gue malah ketemu seseorang yang paling gue hindari di dunia."
Reihan mulai menerka kemana arah pembicaraan ini. Ia menyusun ingatannya dan mengaitkannya satu per satu bagai kepingan puzzle. Namun, ia tak berani memotong pembicaraan. Bukan hal yang mudah untuk bercerita kepada orang yang baru saja dikenal. Jadi Reihan sangat menghargai keberanian Jessi.
"Yup, lo benar. Cewek yang hampir ditampar cowok psycho itu gue. Lo udah nolongin gue. Makasih, ya, makasih banget."
Mata Jessi sudah tak kuasa membendung air yang akan tumpah. Tetesannya jatuh mengalir di pipi.
Reihan mengambil beberapa lembar tisu yang ada di meja dan memberikannya kepada Jessi. "Lo hebat. Lo pasti kuat banget."
Ada isak tangis yang terdengar. Harusnya air mata Jessi berhenti saat ia mengusapnya dengan tisu. Namun, ketika mendengar Reihan berkata kalau ia hebat, tangisnya semakin menjadi.
Biasanya orang akan berkomentar kalau Jessi adalah perempuan bodoh atau tolol. Bukan sekali, dua kali ia mendengar umpatan itu. Selama menjalin hubungan dengan Deo, telinganya seperti sudah biasa mendengar kata umpatan.
Jessi telah terjebak dalam toxic relationship. Deo lihai memanipulasi, pandai membuat Jessi merasa kasihan padanya. Padahal sering didapatnya Deo tak bisa mengontrol emosinya dan main tangan. Namun, dengan alasan sayang Jessi terus memaafkannya.
Teman Jessi sudah banyak yang mengingatkan agar segera putus. Namun, waktu itu Jessi masih dibutakan cinta. Jadi teman-temannya sudah malas dan memilih menjauh karena Deo sangat menyebalkan dan membatasi akses Jessi.
Enam bulan lamanya Jessi terjebak dalam kubangan hubungan yang menyesakkan. Bagai benang kusut, tak bisa diurai tapi masih bisa dijalani. Sampai akhirnya Jessi sadar, kalau bukan kewajibannya untuk membuat Deo menjadi manusia lebih baik. Untuk apa bersikeras merubah seseorang saat ia sendiri menolak dengan sengaja?
Jessi mengambil keputusan besar. Ia putus dengan Deo. Tentu saja Deo tidak terima. Ia masih manipulatif dan mengejar Jessi. Jessi lelah, ia seperti sendirian. Teman-temannya masih berjarak dan ia pun malu untuk memulai mengakrabkan diri lagi. Orang tua Jessi pun hanya tahu kalau selama ini Deo lelaki baik-baik. Jessi tidak pernah bercerita keburukan Deo.
Jadi disinilah Jessi. Masih memejamkan mata agar air matanya tak jatuh lagi. Bisa-bisanya dia menangis di depan seseorang yang baru ia kenal.
"Maaf, ya, jadi nangis-nangis gini."
"Gak apa-apa. Gak usah ditahan kalau masih berat."
"Makanya lo terima ini. Gue tulus berterima kasih sama lo. Gue gak tahu gimana jadinya kalau waktu itu lo gak nolongin gue."
Reihan akhirnya menarik paper bag itu dan menerimanya. "Ini gue terima. Makasih, ya. Kalau lo mau cerita, i'm all ears."
Ada aura cerah di muka Jessi saat mendengar itu. Hatinya seperti ditumbuhi bunga yang bermekaran. Dipenuhi kupu-kupu yang membuat perutnya seperti digelitik.
KAMU SEDANG MEMBACA
Au Revoir [END]
Teen FictionAu Revoir Blurb Reihan pernah merasakan sakitnya dikhianati. Jadi, dalam waktu yang lama ia enggan untuk membuka hati. Jessica tidak pernah tahu bahwa ada bentuk lain dari cinta, karena selama ini ia hidup dalam belenggu yang memenjara jiwanya. ...