Chapter 27 - Rancang Rencana

18 9 0
                                    

Setelah mencari beberapa psikolog, akhirnya Jessi menemukan psikolog yang cocok dengannya. Reihan dengan telaten mengantar Jessi untuk konsultasi, ia ingin membantu Jessi untuk melewati semuanya. Ia ingin Jessi bisa sembuh dari trauma yang menghantuinya.

Reihan sampai lupa dengan kesehatannya sendiri. Sudah dua hari ini dia meriang, badannya demam dan kepalanya sangat pusing. Ia hanya bisa mendekam di kamar, tidak bisa kemana-mana dengan keadaan seperti itu.

Jessi berniat untuk menengok Reihan ke rumahnya. Rumah Reihan ada di komplek perumahan sederhana, tidak terlalu besar seperti rumah Jessi. Ada pagar besi berwarna hitam yang mengelilingi rumah itu. Di depannya tampak terparkir sebuah mobil yang sudah sering mengantarjemputnya kemana-mana.

Pot-pot tanaman hias tersusun rapi di beberapa rak yang berada di teras rumah. Ada juga pohon mangga yang sedang berbuah ranum. Seolah sedang menggoda untuk memetik buahnya untuk dijadikan rujak.

Tangan kanan Jessi memencet bel sementara tangan kirinya menenteng nasi tim ayam yang tadi dibelinya di salah satu kedai. Ia juga membawa beberapa camilan yang biasa ia makan bersama Rere.

Ini bukan pertama kalinya Jessi singgah ke rumah Reihan. Jessi sudah beberapa kali ke sini dan Jessi merasa sangat nyaman. Rumah yang benar-benar terasa rumah jika boleh Jessi menyebutnya. Tempat dimana kamu bisa disambut dengan hangat, tempat kamu merasa diterima apa adanya, tempat kamu bisa menjadi diri kamu sendiri.

Sesekali Mamah akan menelepon Jessi jika sedang memasak lauk yang banyak atau saat membuat cemilan yang Jessi suka. "Jessi, nanti mampir, ya, ke rumah sama Reihan. Ini Mamah lagi masak banyak." Suara keibuan yang khas, yang selalu Jessi suka saat mendengarnya.

"Sore, Mah." Jessi menyapa pada Mamah yang membukakan pintu. Di ruang tamu ada Rere yang sedang mengerjakan tugas klipping, dan suara Jessi membuatnya menghambur ke arah pintu untuk menyambut dan memeluknya.

"Dek, tanganmu dicuci dulu, banyak bekas lemnya. Masa mau langsung peluk Kak Jessi, sih? Nanti nempel ke baju Kak Jessi lemnya." Rere langsung cemberut mendengar omelan Mamah.

"Kak Jessi, kok, mau pacaran sama jelmaan kebo, sih? Dari pagi gak
bangun-bangun dia."

Jessi melirik arloji di tangannya. Angkanya menunjukkan hampir jam lima sore. "Masa, sih?"

Jessi meletakkan barang bawaannya di meja makan. Lalu ia mengeluarkannya dan menuangkannya ke dalam mangkuk. "Tadi katanya Rei gak mau makan bubur, jadi Jessi beli nasi tim aja."

Mamah mendengar Jessi bicara dan kembali ke dapur untuk mengecek masakannya. Lalu menyembulkan kepalanya dan menyuruh Jessi membangunkan Reihan. "Tolong dibangunkan sekalian, kayanya dia belum salat ashar."

Jessi menaiki tangga menuju ke lantai atas. Rumah Reihan terdiri dari dua lantai. Di lantai atas terdapat kamar Reihan dan kamar Rere. Orang yang pertama kali datang pun sepertinya  pasti akan tahu yang mana kamar Reihan. Pintunya polos tanpa tempelan apapun. Karena disebelahnya ada pintu berwarna pink dengan berbagai aksesoris yang sangat ramai menempel di pintunya.

"Rei, Rei, bangun dulu, yuk."

Tidak ada jawaban, Jessi kembali mengetuk pintu dan bersuara lebih nyaring. "Rei, ini aku Jessi. Ayo bangun dulu kata Mamah."

Setelahnya Jessi mendengar suara berdebam dan ringisan. Jessi masih berada di depan pintu untuk memastikan apa yang terjadi.

Pintu terbuka dan Reihan memegang bahu di hadapannya. "Udah lama nyampe rumah? Maaf, ya, gak bisa jemput, masih gak enak badan."

"Bahu kamu kenapa?" tanya Jessi penasaran.

"Tadi kakinya belibit sama bed cover jadi jatuh dari ranjang."

"Ih, ada-ada aja. Sana mandi dulu, kata Mamah kamu juga belum salat."

"Siap, Tuan Putri."

Jessi menuruni tangga dan kembali bergabung dengan Mamah di dapur. Ia melihat langsung Mamah sedang mengulek bumbu memakai cobek. "Ada yang bisa Jessi bantu gak, Mah?"

"Tolong cuci timun yang buat lalapan, abis itu diiris, ya."

Di rumahnya sendiri Jessi jarang sekali masuk dapur. Mami memang memesan catering bulanan, jadi tidak pernah ada kegiatan memasak bersama di rumahnya. Jessi memaklumi, tugas Mami berat. Seharian berkutat dengan pekerjaan di kantor, mungkin saat di rumah ingin beristirahat. Tidak harus repot memasak untuk orang yang berada di rumah. Tapi setelah melihat interaksi Rere dan Mamah saat memasak jujur saja ada rasa iri di hatinya.

Untungnya Mamah menyambut dengan baik keinginan Jessi. Mamah mengajak Jessi untuk terjun ke dapur. Menerangkan satu per satu nama-nama bumbu dapur dan rempah, menjelaskan resep dari menu-menu andalannya. Hal yang tidak pernah Jessi dapatkan  di rumahnya sendiri.

Menyenangkan sekali rasanya mencicip makanan yang akan kita sajikan. Mengoreksi rasanya, apakah sudah pas dengan selera atau belum. Lalu menyiapkan peralatan makan dan duduk di meja makan bersama-sama.

Di meja makan ini tidak pernah sepi. Selalu ada cerita untuk dibagi, ada masalah yang terpecahkan, ada bahagia yang disebarkan.

Reihan sudah turun ke bawah. Rambutnya masih basah pertanda ia sudah mandi. Ia hanya memakai kaus hitam beserta sarung untuk bawahannya.

Reihan duduk di salah satu kursi makan. Mengambil goreng tahu dan memakannya. Lalu pandangannya tertuju pada semangkuk nasi tim ayam. "Ini kamu yang beli Jess?"

"Iya, tadi kan kamu bilang gak mau makan bubur. Jadi aku beli itu aja, suka gak?"

Reihan menyuapkan nasi tim itu ke mulutnya. "Suka, kok. Enak, enak."

Reihan menghabiskan isi mangkuknya dan meminum segelas air. Lalu mengajak Jessi ke halaman belakang. Ada kursi kayu tempat Papah bersantai disana.

"Jangan begadang terus makanya. Tubuh kamu lagi protes karena diforsir terus menerus."

"Ya, gimana, dong. Tugas lagi banyak-banyaknya sampai buat ketemu sama kamu aja susah. Sini, dong, aku kangen."

Jessi lebih mendekatkan diri ke sisi Reihan. Memegang dahinya untuk mengecek suhu badan Reihan. "Udah gak panas sekarang."

"Udah sembuh, kok, kan udah ditengokin kamu."

Jessi senang dengan perlakuan Reihan, tetapi sisi lain di hatinya punya keinginan yang lebih. Walau sejak awal Jessi tahu jika hubungan ini tidak punya masa depan. Namun hatinya tetap bersikeras untuk meminta selamanya.

"Jess, ayo makan dulu. Udah siap, nih." Mamah memanggil dari dalam rumah. Jessi dan Reihan berdiri untuk menuju ke dapur.

"Jessi aja yang diajak makan, aku nggak." Reihan merajuk pada Mamah.

"Bukannya Aa barusan udah ngabisin nasi tim satu mangkuk, ya?" Rere bertanya dengan nada meledek.

"Itu cemilan doang, Dek". Reihan mencubit gemas pipi Rere. Lalu Rere segera melepaskannya dan balas mencubit tangan Reihan. Walau sering bertengkar, Jessi bisa melihat rasa sayang dari keduanya. Rere kagum akan sosok Reihan. Juga Reihan yang sayang dengan adiknya. Jessi bahkan lupa kapan terakhir dia bisa bercanda seperti itu dengan kakaknya.

"Papah masih di Lembang, Mah?" Jessi menanyakan hal itu pada Mamah yang sedang duduk disampingnya.

"Iya, begitu kalau sudah hobi. Susah buat dicegah. Mungkin kalau Reihan udah lulus, kami mau pindah ke Bandung aja biar dekat."

"Habis lulus mah langsung nikah, A?" Sebuah pertanyaan iseng yang berbahaya.

"Cari kerja dulu kali. Emangnya beli makan bisa dibarter sama cinta doang," ujar Reihan dengan nada bercanda.

Jessi hanya bisa tersenyum mendengar hal itu. Sebuah pertanyaan muncul, menelisik di hatinya. Adakah dirinya  menjadi bagian dari rencana masa depan Reihan?

Au Revoir [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang