Chapter 41 - Kamu Siapa?

26 3 0
                                    


Hampir enam jam operasi berlangsung, Reihan dan Om Bram masih setia menunggu di depan kamar operasi. Daniel juga sudah ada di sana, ikut melangitkan doa untuk kesembuhan Jessi.

Sampai akhirnya derit pintu berbunyi, seorang dokter keluar dari kamar itu. "Operasinya berhasil, kita tunggu sampai pasien sadar. Mari kita doakan untuk hasil terbaik."

Perasaan lega membanjiri Reihan malam itu. Jessi sudah kembali ruang perawatan intensif, masih terbaring tak sadar diri. Gadis cantik yang kemarin masih tertawa bersama Reihan, kini tergolek lemah dengan berbagai alat bantu menempel di tubuhnya.

Om Bram mempersilakan Reihan untuk masuk karena ia lihat Reihan bisa mengendalikan diri. Sementara itu, Tante Ruth sedang dirawat di ruangan lain karena pingsan beberapa kali dan Kak Lita menjaganya di ruangan tersebut.

Reihan duduk di tepi ranjang pasien, ia amati bagaimana keadaan Jessi sekarang. Di wajah cantiknya terdapat beberapa goresan luka. Bagian pelipisnya terdapat lebam berwarna ungu dan biru, begitu juga di tangannya. Bahkan rambut panjangnya sudah hilang di beberapa titik, sengaja dibotaki untuk mempermudah saat proses operasi tadi.

"Jess, ayo, bangun. Kamu harus pulih seperti dulu. Katanya kamu kan mau pergi ke Perancis buat kuliah S2. Aku tahu kalau kamu kuat, jadi bertahan, ya. Aku mohon, Jess."

Kembali Reihan tatap setiap garis wajah Jessi, akan ia lakukan sepuasnya sebelum ia pergi. "Jess, aku bulan depan mau ke Kanada. Aku pikir dengan aku ninggalin kamu, ini akan mempermudah semuanya. Ternyata semua gak segampang yang aku kira."

Reihan menggenggam tangan Jessi yang terkulai, ia mengusap pelan tangan yang selama satu tahun ini membersamainya. "Jess, aku akui kalau dulu aku cemburu saat Daniel mulai mendekati kamu. Apalagi kamu tau kan, kalau kalian seiman, gak ada benteng pemisah di antara kalian. Terus mami dan papi kamu juga pasti udah suka sama Daniel. Dulu aku benci saat membayangkan kalian hidup bahagia, melihat kamu akan baik-baik aja tanpa aku."

Reihan meraba guratan luka di tangan Jessi. "Tapi ternyata ... aku lebih gak sanggup lihat kamu kayak gini." Reihan mengusap air mata yang menetes di pipinya. "Aku lebih berharap lihat kamu bahagia tanpa aku, bahagia dengan pria yang kamu pilih."

Reihan pernah bilang bahwa selain berbagi kebahagiaan dengan Jessi, ia juga ingin mereka berbagi beban bersama, dibagi dua saja biar terasa ringan. Andai itu bisa Reihan lakukan sekarang. Ia ingin semua sakit dan luka yang Jessi rasakan dibagi sama rata dengannya. Ada juga rasa sesal di hatinya, mengapa ia tidak menyempatkan diri untuk mengantar Jessi ke rumah teman Kak Lita.

"Aku gak akan cemburu lagi, Jess. Aku akan baik-baik aja dan menjalani hidupku dengan baik asal kamu sembuh, asal kamu bahagia."

Reihan bangkit dari duduk, lalu ia usap rambut Jessi. Tampak jahitan yang panjang di beberapa titik, membuat Reihan semakin pilu. "Dulu kamu pernah bilang, kalau di kehidupan selanjutnya kita ketemu, kamu akan berlari buat cari aku. Tapi, setalah aku pikir-pikir, kayanya gak usah, Jess. Kalau ada aku, kamu harus pura-pura gak kenal aja. Aku gak mau kalau kita bertemu hanya untuk berpisah lagi."

Reihan kemudian menunduk untuk mengecup kening Jessi satu kali. Ia raih tangan Jessi lagi dan menciumnya beberapa kali. "Ayo, bangun, Jess. Aku akan tunggu kamu."

***

Mamah, Papah dan Rere sudah tiba di rumah sakit. Menyalami dan mengucap kalimat  pengharapan kepada Om Bram. Lalu, secara bergantian mereka memasuki ruangan tempat Jessi dirawat. Belum ada tanda-tanda kalau Jessi tersadar.

Gea, Jayden, Tera, dan Juna ikut menyusul ke rumah sakit saat mendapat kabar tentang Jessi dari Reihan. Mereka hanya menunggu di luar ruangan, membawa beberapa makanan untuk Reihan.

"Kenalin ini teman gue, Arjuna," ucap Gea kepada Daniel yang duduk di kursi tunggu. "Lo tau gak dia siapa?"

Daniel menggelengkan kepala karena memang tidak kenal dengan sosok yang kini bersalaman dengannya.

"Juna ini atlet taekwondo, jadi awas aja kalau nanti lo bikin Jessi nangis. Gue bakalan suruh Juna buat ngehajar lo." Gea masih sempat untuk memberikan ultimatum kepada Daniel.

"Sayang, gak boleh kaya gitu." Tera membawa Gea ke belakang tubuhnya. "Maafin pacar gue, ya."

Daniel tersenyum menanggapi Tera. "Gak apa-apa, gue malah senang karena tahu Jessi disayangi oleh banyak orang."

Sekarang giliran Om Bram yang masuk ke ruangan Jessi. Reihan menghampiri Daniel yang terlihat sedang diinterogasi oleh temannya. Suara decit kursi menandakan Reihan sudah berada di sebelah Daniel.

"Hidup ini penuh dengan kejutan, ya, Niel."

"Benar, tapi itu yang bikin kita sadar kalau kita ini bukan siapa-siapa. Kita gak punya kendali penuh atas apa yang menjadi rencana kita. Selalu ada Tuhan yang menjadi penentunya. Tugas kita hanya berusaha semaksimal mungkin dan berdoa."

Reihan mengangguk setuju. Tidak seharusnya ia merasa sombong dan merasa semua masalah sudah ia selesaikan dengan baik sebelum ia pergi. Tidak akan ada yang bisa melawan saat takdir berkata lain.

"Jadi gimana? Lo tetap mau pergi?" tanya Daniel kepada Reihan.

"Liat nanti aja, Niel. Sekarang kita tunggu aja Jessi bangun dulu."

Semuanya sudah pamit pulang, menyisakan Reihan, Daniel dan Om Bram. Reihan kembali menemani Jessi di kamar perawatannya. Sementara Daniel, pergi mengantar Om Bram pulang untuk mengambil beberapa barang untuk keperluan Tante Ruth dan Kak Lita. Bahkan Reihan menggelar sajadah kecilnya di ruangan itu. Ia memohon Jessi bisa pulih seperti sedia kala.

Apa yang bisa Reihan lakukan selain berdoa? Meminta kuasa Sang Khaliq untuk berbaik hati membuat Jessi bangkit lagi. Reihan melantunkan ayat-ayat suci yang ia baca dari ponselnya. Mencoba merayu Yang Maha Kuasa untuk bisa memberikan keajaibannya kepada Jessi.

Sayup-sayup Jessi mendengar lantunan suara itu. Jemarinya mulai bergerak, berusaha mengangkat tangannya, tetapi ternyata tenaganya masih kosong. Di depan sana, ia melihat setitik cahaya. Suara itu seperti membangunkannya dari tidur panjang, menuntunnya untuk membuka mata sampai ia melihat semburat cahaya terang yang membuat pandangannya terasa silau.

Jessi berhasil membuka lebar matanya, walau rasa kantuk masih menguasainya. Tubuhnya tidak bisa bergerak terlalu banyak, dia hanya bisa menggerakkan tangannya pelan. Ada rasa nyeri yang hebat di beberapa bagian tubuhnya. Jessi kembali memejamkan mata untuk meredam rasa sakit itu. Setelah beberapa saat, ia kembali membuka mata.

Di hadapannya sedang duduk seseorang yang tengah melantunkan bacaan yang sangat asing di telinganya. Ia tidak tahu lagu atau mantera apa itu, yang jelas sangat terasa menenangkan.  Jessi mencoba mengingat wajah siapa, tetapi tidak berhasil.

"Kamu ... kamu siapa?"



Au Revoir [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang