Jam dinding di kamar VIP menunjukkan jam delapan. Entah ini siang atau malam karena Reihan sudah abai dengan lingkungannya selama dua hari ini. Hari dan bulan apa pun ia mendadak lupa. Rasa haus membuatnya terbangun. Tenggorokannya terasa sangat kering.
Ada Rere yang tidur terduduk di sebelah ranjangnya. Mungkin dia ketiduran, karena di telinganya masih terpasang earphone dan ponselnya sedang menampilkan drama Korea yang ditontonnya.
Reihan mengumpulkan tenaga yang ia punya dan mencoba untuk duduk. Tangannya bermaksud meraih segelas air yang ada di meja kabinet samping ranjangnya. Namun apalah daya, tutup gelasnya malah terjatuh ke kaki Rere dan membuatnya terbangun.
"Aa udah bangun? Mau minum, ya? Nih, aku ambilin." Rere memberikan gelas yang berisi air putih kepada Reihan.
"Makasih, Dek. Kamu tidur di sofa aja. Tidur posisi kaya gini gak enak."
"Iya, nanti aja. Aa mau makan gak? Mamah sama papah pulang dulu buat ganti baju. Mungkin sebentar lagi bakal kesini." Rere mencoba menerangkan karena Reihan menyapu ruangan dengan tatapan heran.
"Makan dikit aja. Maaf, ya, Dek, jadi ngerepotin."
"Gak apa-apa, yang penting sekarang Aa cepat pulih lagi. Pokoknya nanti aku bakal minta traktiran yang banyak kalau Aa udah sembuh." Rere menyuapi Reihan sambil cengengesan.
Reihan hanya mampu makan beberapa suap. Saat Rere akan menyuapinya lagi, ia menolak.
"Makan buah aja, ya? Ini ada buah paling durhaka."
"Buah apaan emangnya?"
"Melon Kundang."
Reihan hanya tertawa kecil mendengar jokes yang Rere katakan. Ia mencoba menghargai usaha adiknya yang ingin menghiburnya. Reihan mengusap pelan kepala Rere. Rere langsung memeluk Reihan. Reihan bersyukur, ia dikelilingi oleh keluarga yang menyayanginya.
Pintu kamar terbuka, ada Jayden yang menenteng satu plastik belanjaan. Bahagia terpancar dari wajahnya karena melihat Reihan sudah sadarkan diri.
"Tadi siang lo pingsan. Kata dokter, sih, dehidrasi. Tera sama Juna yang bawa kesini. Anak-anak yang lain pada nyusul."
"Iya. Makasih banyak, Jay."
"Sama-sama. Lo sembuh aja dulu. Makan yang banyak."
"Hmm.."
"Lo sakit, itu wajar. Tapi dari buku yang gue baca, kita bisa, kok, mengendalikan sejauh mana rasa sakit itu bakal kita biarkan. Gue percaya kalau lo bisa."
Pintu kamar terbuka lagi. Mamah dan papah sudah datang. Jayden akhirnya pamit pulang. Menyisakan Reihan yang masih memikirkan apa yang Jayden katakan.
***
Senin, 10 Juni 2019
Senin pagi adalah awal hari yang sibuk. Para siswa di SMA Taruna bersiap untuk mengikuti upacara bendera yang memang rutin diselenggarakan. Walau cuaca cerah, mataharinya tertutup awan. Ini menjadi keuntungan karena para siswa bisa terhindar dari panas yang biasa menyinari.
"Siap-siap aja lo baris terpisah kalau gak bawa topi," gerutu Marvel dengan pandangan menuduh pada Hagi dan Jayden. Mereka memang langganan lupa untuk masalah yang seperti ini. Biasanya Reihan dengan senang hati membawa topi lebihan untuk dipinjamkan pada mereka. Namun, hari ini Reihan masih di rumah sakit.
"Iya. Gue bawa sendiri topinya, karena Reihan gak sekolah." Hagi menjawab dengan enteng sambil mengeluarkan topi dari saku celananya.
"Harusnya, mau Reihan sekolah atau nggak, lo kudu sadar buat bawa topi sendiri. Gak usah ngandelin orang terus." Juna melanjutkan sesi ceramah kepada keduanya.
"Baik, Kak. Siap salah, Kak." Jayden tertunduk di hadapan Marvel dan Juna seolah sedang diospek.
"Bubar bubar. Ayo, pada baris," suara Tera memberikan instruksi untuk segera ke lapangan.
Upacara berjalan seperti biasanya. Membuat kaki lumayan pegal karena berdiri terlalu lama. Untungnya pagi ini tidak ada banyak pengumuman yang menambah panjang durasi upacara. Setelah aba-aba balik kanan bubar jalan, para siswa melebur menuju kelas masing-masing.
Daisy berlari ke kelas Hagi. Di antara teman Reihan yang lain, Hagi terlihat paling santai. Ini yang menjadi dasar pilihan Daisy. Ia ingin menanyakan kabar Reihan, karena sejak upacara tadi ia tidak melihat Reihan sama sekali.
"Reihan gak sekolah?" tanya Daisy langsung tanpa basa-basi.
"Masih berani nanyain dia? Lo masih peduli?" Hagi menyindir Daisy.
"Pengen tahu aja, emangnya gak boleh?"
"Menurut lo?"
"Bodo amat. Terserah." Daisy mendengkus dan membalikkan badannya.
"Lo gak ada niatan minta maaf gitu? Ngerasa bersalah gak?" Hagi mencecar Daisy dengan beberapa pertanyaan.
"Bukan urusan lo." Daisy berlalu meninggalkan Hagi yang masih terpaku mendengar jawaban yang didengarnya.
***
Sore hari, Reihan sudah diperbolehkan pulang oleh dokter. Wajah Reihan sudah ceria walau matanya masih sayu. Infus yang terpasang sudah dilepas oleh perawat. Rere masih mengemaskan barang sambil menunggu Papah menjemput mereka. Keadaan Reihan pun sudah membaik. Selera makannya sudah kembali, karena ia sudah bisa menghabiskan satu porsi makanan yang disediakan oleh pihak rumah sakit. Walaupun kata Rere, makanannya hambar. Jadi kemarin dia berinisiatif membeli sebungkus penyedap rasa saat ke minimarket. Sebuah ide brilian yang dibanggakannya pada Reihan.
"Dek, Aa mau bilang sesuatu. Maaf kalau bakalan bikin kamu kecewa."
"Kenapa emangnya?"
"Boneka pink itu bukan dari Jayden buat kamu. Tapi, itu punya Aa. Tadinya mau dikasih buat pacar Aa. Eh, mantan maksudnya, udah putus."
Reihan ingin meluruskan kesalahpahaman ini. Bukan apa-apa, dia takut adiknya itu merasa diberi harapan oleh Jayden. Walaupun Jayden adalah temannya, Reihan belum mau melepas adiknya. Jatuh cinta memang indah, tetapi patah hati bisa jadi sesakit yang Reihan alami sekarang. Ia tidak mau adiknya akan mengalaminya. Sebelum itu terjadi, lebih baik melakukan pencegahan sedari dini.
"Iya, aku udah tahu. Kak Ajay udah jelasin. Santai aja," jawab Rere dengan ketus.
Mamah masuk ke kamar sementara papah sedang mengurus administrasi. Rere pun sudah selesai mengemas barang. Mereka lalu segera pulang ke rumah.
Reihan sudah berlapang dada dengan apa yang terjadi. Tentang dirinya yang tetap melakukan yang terbaik sampai akhir. Tentang apa yang dilakukannya ternyata tidak mendapat balasan yang sama. Tentang hubungan dia dengan Daisy yang kandas. Biarlah, biar. Ini akan menjadi imun di masa depan bagi hatinya.
Perkataan Jayden semalam masih terngiang di telinganya. Entah apa judul buku yang Jayden baca. Atau mungkin Jayden hanya asal bicara. Yang jelas Reihan menyetujuinya. Benar adanya, jika ada beberapa rasa sakit yang bisa dikendalikan.
Sekarang fisiknya sudah sembuh. Mungkin luka di hatinya belum mengering. Namun, ia percaya, seiring berjalannya waktu nanti juga akan sembuh dengan sendirinya.
Berharap kepada manusia adalah kecewa yang disengaja. Menggantungkan bahagia atas yang kita lakukan pada orang lain itu harapan yang sebenarnya semu. Jika kita tidak bisa mendapatkan hasil yang imbang, segera akhiri. Hidup terlalu singkat untuk dijalani bersama orang yang salah.
Flashback end.
***

KAMU SEDANG MEMBACA
Au Revoir [END]
Teen FictionAu Revoir Blurb Reihan pernah merasakan sakitnya dikhianati. Jadi, dalam waktu yang lama ia enggan untuk membuka hati. Jessica tidak pernah tahu bahwa ada bentuk lain dari cinta, karena selama ini ia hidup dalam belenggu yang memenjara jiwanya. ...