Chapter 38 - Hari Terkutuk

11 5 0
                                    


Daniel terdiam mendengar apa yang Reihan katakan. Ia tidak bisa membayangkan betapa hancurnya hati Jessi saat Reihan meninggalkannya.

"Niel, sebelum bareng gue, Jessi melewati banyak hal yang lebih menyakitkan dari ini. Jadi gue yakin kalau bersama orang yang tepat, Jessi bisa melalui ini semua."

Reihan kemudian mengeluarkan secarik kertas yang sudah disiapkannya. Kertas itu berisi daftar hal yang Jessi suka dan Jessi tidak suka.

Hal yang Jessi suka
1. Aglio Olio
2. Badut Mampang
3. Nonton film exorsict, horror, gore
4. Bubur Ketan Hitam
5. Masakan rumahan
6. Kota Paris
7. Kue Mochi

Hal yang gak Jessi suka
1. Deovara si bajingan bangsat
2. Kalau janjian ngaret
3. Bohong

Reihan lalu memberikan kertas itu kepada Daniel. "Nih, gue kasih contekan dikit, sisanya lo cari tahu sendiri barengan Jessi, ya."

Daniel membaca surat itu dengan teliti, lalu dia berdecih. "Gak salah tulis lo? Lo lihat gak daftar yang nomor tiga? Dia gak suka dibohongin tapi lo bakalan melakukan kebohongan terbesar dalam hidup dia."

Reihan tertunduk lesu. Ini adalah keputusan  yang ia ambil, segala hal yang menjadi resikonya harus ia tanggung juga. Kemudian Reihan mengeluarkan selembar kertas lagi dari dompetnya. "Niel, selama ini gue selalu berusaha bahagiain Jessi karena gue tahu sakit yang dia tanggung gak main-main. Makanya tolong bantu gue buat nerusin kebahagiaan itu."

Dengan malas Daniel membaca lagi kertas itu. Daniel merasa malu dengan Reihan. Ia kira Reihan hanya membual tentang bahagia yang ia cipta bersama Jessi. Ternyata banyak hal yang telah Reihan lakukan. Daniel jadi ragu apakah ia bisa melakukan hal yang sama atau tidak.

Bucket List Reihan for Jessi

1. Jessi harus bisa nyetir sendiri
2. Jessi latihan Taekwondo
3. Ajak Jessi ke psikiater
4. Antar Jessi kursus bahasa Perancis
5. Minta tolong Gea dan Jayden tetap mau temenan sama Jessi
6. Bilang ke Om Bram buat cari orang yang baik yang pantas dampingin Jessi

"Tolong teruskan hal-hal baik yang dia jalani. Tolong bantu dia menggapai satu per satu mimpinya. Kalau lo beneran sayang sama dia, itu gak bakal jadi sesuatu yang sulit."

***

Reihan baru saja membereskan buku-buku yang ada di rak kamarnya. Hanya tinggal satu minggu  lagi tanggal wisuda akan digelar. Artinya semakin dekat pula perpisahan yang ia janjikan pada Om Bram akan terlaksana.

Intensitas pertemuan Reihan dan Jessi selama beberapa bulan ini bisa dihitung dengan jari. Mereka sama-sama sibuk mengerjakan skripsi. Setelah itu, mereka juga menyiapkan segala hal untuk perayaan wisuda nanti.

Jika tidak melihat kalender dan menyaksikan hari demi hari bergulir sebagaimana mestinya, Reihan merasa tiga bulan ini seperti tiga abad. Hari-hari penuh revisi dan juga hati yang ingin sekali menolak perpisahan. Bahkan Reihan merasa bahwa seharusnya hari wisuda ditiadakan dalam hidupnya.

Bagaimana pun, janji adalah janji. Hal terbaik dari janji adalah berusaha untuk menepatinya. Jika tidak, janji itu hanya akan menjadi bualan bagi pengucap janji dan sosok yang dijanjikannya.

Selama ini, dia bergerilya mempersiapkan semuanya dengan bantuan Tera. Sampai saat ini Jessi belum tahu perihal kepergian Reihan. Bukan apa-apa, sebenarnya Reihan pun masih menata hati. Siapa yang pernah benar-benar siap dengan sebuah perpisahan?

Terdengar ada yang mengetuk pintu kamarnya. "Aa, ini Mamah, boleh masuk gak?"

"Masuk aja, Mah. Pintunya gak dikunci."

Di balik pintu Mamah mencoba tegar. Matanya terlihat sembab dan hidungnya merah. "Gak kerasa, ya, minggu depan Aa udah mau wisuda."

"Iya, Mah. Anak yang dulunya suka ngambek, sekarang udah mau jadi sarjana."

Mamah duduk di tepian ranjang Reihan. Ia mengamati kamar yang tidak lama lagi akan ditinggalkan oleh pemiliknya. Ditelusuri tiap sudutnya, ditatap dari ujung ke ujung. Kamar yang selalu riuh dengan musik berisik akan berubah menjadi sunyi sepi. "Aa tahu kan kalau Mamah selalu doakan Aa terus? Tapi Aa juga jangan lupa jaga diri dari hal-hal yang gak baik.

"Iya, Mah. Mamah tenang aja."

"Terus tentang Jessi, maksud Mamah, gimana dia nantinya?"

Reihan menghentikan kegiatannya setelah mendengar nama Jessi terdengar. Ia duduk di sebelah Mamah dan menggamit tangan lembut itu. "Jessi bakalan baik-baik aja, gak lama dia akan terbiasa hidup tanpa Aa."

Tiba-tiba Mamah terisak, Mamah tidak bisa menahan tangisnya. Ia teringat akan Jessi yang membantunya di dapur. Senyuman hangat yang selalu Mamah rindukan. Pujian tulus yang Jessi ucapkan, "Masakan Mamah itu kaya angka 11, gak ada duanya di dunia."

"Setelah Aa pergi, Mamah harus janji untuk gak ngasih info apapun tentang Aa ke Jessi, ya."

"Tapi ini terlalu sakit buat Jessi." Mamah menarik salah satu tangannya dari genggaman Reihan, mengusap kedua matanya yang basah.

"Lebih jahat lagi kalau Aa bareng dia terus tanpa ngasih masa depan." Satu tahun rasanya sudah cukup lama bagi mereka berada dalam hubungan tanpa kepastian, tanpa masa depan. "Aa mau Jessi menemukan kebahagiaan dia sendiri, walau tanpa Aa lagi dalam hidupnya. Aa yakin kalau Jessi bisa. Dia harus bisa."

Mamah kembali terisak, air matanya meleleh lagi. "Semoga semua yang Aa rencanakan bisa berjalan sesuai yang Aa mau."

"Ini buat kebaikan Aa sama Jessi juga, kok, Mah. Percaya, ya, sama Aa."

Mamah mengusap air matanya. Lama ia memandang anak lelaki yang sekarang sudah bisa mengambil keputusan sulit dalam hidupnya. "Mamah selalu percaya sama Aa. Gunakan kepercayaan Mamah sebaik mungkin."

***

Hari wisuda akhirnya tiba. Mamah dan Rere sudah berdandan sedari pagi. Hari yang harusnya menjadi hari penantian selama kuliah empat tahun malah menjadi hari terkutuk bagi Reihan.

Teman-teman dari Bandung semuanya datang karena hari ini Reihan, Jessi, Gea dan Jayden serempak di wisuda. Buket berbagai warna sudah memenuhi mobil Tera dan Chaka. Ada juga bingkisan yang membuat mobil semakin sesak. Sudah bisa dipastikan jika setelah acara wisuda selesai akan ada sesi berfoto ria yang sangat lama.

Jessi datang bersama orang tuanya dan Kak Jelita. Ternyata Daniel juga hadir. Reihan senang melihatnya tetapi jauh di dalam hatinya ada juga rasa nyeri.

Setelah prosesi wisuda selesai akhirnya Reihan bisa bertemu dengan Jessi dengan leluasa. Ucapan selamat saling mengisi, yang bagi Reihan terdengar seperti senandung perpisahan. Bagai lagu pengiring berakhirnya kisah asmara antara dia dengan Jessi.

"Selamat, Rei. Semoga cepat dapat kerjaan yang baik dan sesuai dengan yang kamu inginkan." Om Bram menjabat tangan Reihan dan menepuk pundak dengan tangan satunya.

"Terima kasih, Om. Semoga Jessi juga bisa melanjutkan cita-citanya. Katanya dia mau ngambil S2 di Perancis kalau bahasa Perancisnya sudah lancar."

"Iya, kita usahakan yang terbaik. Lalu, bagaimana dengan janji kamu?"

Reihan tertegun. Akhirnya waktu yang ia ulur sudah sampai. Kisah ini akan berakhir, tidak akan ada perpanjangan lagi. "Saya akan tepati, Om. Saya akan pamit besok."

Au Revoir [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang