Chapter 19 - Huru Hara Sehari-hari

24 9 0
                                    

Pizza yang Reihan pesan sudah diantar oleh petugas delivery. Mereka makan dengan lahap sambil menonton film di smart TV. Jika rumah tidak berbentuk bangunan, Jessi akan memilih Reihan sebagai rumahnya. Tempat dimana aman dan nyaman bisa ia rasakan. Tempat berbagi tanpa takut untuk dihakimi.

"Kamu bisa, gak, nonton film horror?"

"Bisa, kok. Aku malah suka film exorcist, zombie, horror, gore kaya gitu. Seru sih banyak jumpscare. Aneh, gak?"

"Nggak, kok. Aku senang akhirnya ada orang yang tontonannya satu selera. Kalau sama Jayden gak boleh nonton horror."

"Emangnya Jayden penakut, ya?"

"Iya, badan doang yang gede tapi takut hantu. Abis itu suka ngadu lagi."

"Ngadu sama mamanya?"

"Bukan, tapi ngadu sama Tera, pacarnya Gea. Terus nanti giliran Tera ceramah panjang lebar sama aku."

"Lucu banget, kamu jadinya kaya ngasuh Gea sama Jayden, ya? Seru banget punya teman yang solid kaya mereka."

"Iya, sih. Walau mereka kadang gak tahu diri, mereka punya posisi penting dalam hidup aku."

"How about me?"

Reihan tidak menyangka Jessi akan melayangkan pertanyaan itu pada Reihan. "Kamu orang baru di hidup aku, tapi udah punya posisi spesial juga."

"Pake telor empat, dong, kalau spesial?"

"Dih, emangnya kamu martabak?" Reihan mencium pelipis Jessi dengan lembut.

Akhirnya mereka berdua menonton dua film di Netflix. Ternyata meraka masih lapar, jadi Jessi memasak mie instan di dapur Gea. Dua mangkuk mie kuah sudah tersaji dan mereka memakannya sampai tidak tersisa.

"Aku aja yang cuci piring. Kamu istirahat aja dulu."

"Emangnya gak apa-apa kamu cuci piring?"

Reihan membereskan mangkuk dan gelas kotor yang ada di meja. Lalu membawanya ke sink untuk dicuci. "Palingan bakal hujan petir sama angin ribut aja. Bercanda. Santai aja, pekerjaan domestik kaya gini tuh basic life skill. Semua orang harus bisa, bukan cuma tugas cewek."

"Rei, kamu itu pasti manifestasi dari doa-doa yang orang tua kamu panjatkan setiap hari, deh."

"Kenapa emangnya?"

"For me, you're perfect enough."

"Masa, sih? Gak lah, aku masih banyak dosa. Masih suka ngambekan, masih suka berantem sama Rere."

Matahari terlihat akan tenggelam ke ufuk timur. Membuat langit jadi temaram. Awan putih terlihat berubah warna menjadi kelabu. Bersiap menyambut datangnya malam yang hampir tiba.

"Udah mau malam, nih. Aku bentar lagi balik, ya."

"Tanggung banget. Tunggu aku magriban dulu aja, ya? Nanti aku antar sampai depan rumah. Aku bawa mobil, kok."

"Nanti kamu disuruh main catur lagi sama papi."

"Gak apa-apa. Aku udah latihan di ponsel, kok, tiap hari."

"Buat ngalahin Papi?"

"Buat memenangkan hati Papi biar bisa terus sama anaknya." Reihan mencubit gemas pipi Jessi.

Handphone Reihan berbunyi, ternyata ada beberapa pesan masuk. Bunyi yang saling bersahutan dari notifikasi grup paling gaduh yang ada di aplikasi obrolannya.

Au Revoir [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang