Reihan sudah tiga hari tidak bertemu Jessi dari waktu yang dijanjikannya. Bahkan mochi oleh-oleh dari Sukabumi yang dibelikan Mamah pun hanya dikirim melalui ojek online. Mereka hanya berkabar lewat pesan, Reihan sedang sibuk memulai penelitian untuk skripsinya. Jiwa ambisiusnya merasa terpanggil.
Keadaan Jessi sudah semakin parah. Pagi ini dia sudah muntah-muntah, entah sudah berapa kali karena Jessi sudah lelah bolak balik ke kamar mandi. Ia masih nekat melakukan gencatan senjata dengan Mami.
Mami sudah curiga kalau Jessi tidak baik-baik saja. Mami melihat Jessi berjalan sempoyongan ke kamar mandi sambil memegang perutnya. Mami memutuskan untuk izin dari kantor dan berencana untuk mengajak Jessi ke rumah sakit. "Jess, kita ke rumah sakit, ya."
"Gak usah Mi, aku gak apa-apa."
"Gak apa-apa gimana? Kamu ini sakit."
"Aku baik-baik aja, Mi."
"Jess, mau panggil Reihan kesini buat nemenin kamu?"
"Jangan, dia lagi sibuk." Setelahnya penglihatan Jessi kabur lalu menggelap. Tidak sadar apa yang terjadi setelahnya karena badannya sudah ambruk, tergeletak di lantai.
Jessi sudah terbaring di ranjang rumah sakit. Ada infus yang tertancap di tangan kanannya. Siapa yang membawanya kesini pun, Jessi tidak ingat. Matanya berpendar saat lampu di langit-langit kamar itu dilihatnya. Orang yang pertama kali Jessi lihat adalah Reihan yang tertidur dalam posisi duduk di sebelah ranjangnya.
Wajahnya tampak lelah, ada kantung di bawah matanya. Hasil begadang beberapa hari ke belakang. Bahkan rambut-rambut pun tampak tumbuh di wajahnya.
Jessi mengusap pelan puncak kepala Reihan. Jessi tidak ingin membangunkannya karena Jessi tahu Reihan kekurangan waktu untuk tidur. Ia meraba rambut dengan aroma white musk yang menjadi favoritnya. Mengusap pipi yang kasar yang tidak sempat dicukurnya.
Jessi sudah memutuskan sesuatu. Ia tidak akan pergi, ia tidak mau pergi. Ia akan tinggal bersama lelaki yang sedang ada disampingnya, yang selalu menemaninya selama ini. Jessi tidak akan beranjak, hubungan ini akan terus berlangsung. Sekali ini saja Jessi ingin keras kepala.
"Jess, kamu udah bangun? Kenapa gak bangunin aku juga? Kamu makan dulu, ya? Tadi aku ada beliin nasi tim ayam yang biasa kamu beliin pas aku sakit. Makan, yuk. Aku suapin, ya." Reihan terbangun dan langsung sibuk menyiapkan nasi tim itu untuk Jessi.
Tuhan, bagaimana bisa aku melepas laki-laki sebaik ini?
***
Waktu menunjukkan jam delapan malam. Reihan belum salat isya dan ia bisa menebak kalau tidak ada tempat untuk salat di rumah sakit ini. Di dinding kamar rawat inapnya saja tertempel tanda salib yang besar. Lagi-lagi bagai sebuah tamparan yang semakin membuat Reihan tersadar bahwa ada jarak yang jauh membentang diantara mereka.
Om Bram dan Tante Ruth masuk ke dalam kamar setelah tadi izin pulang dulu untuk berganti baju dan Reihan berniat untuk pamit. Jessi sudah kembali tertidur setelah Reihan menyanyikan beberapa lagu untuknya.
"Om, Tante, saya pamit dulu, ya. Nanti kalau Jessi bangun, tolong bilangin aja besok saya bakal kesini lagi, kok."
"Iya, makasih, ya, udah jagain Jessi. Hati-hati di jalan." Reihan menyalami Tante Ruth dan Om Bram secara bergantian.
Reihan sempat mengusap tangan Jessi sebelum keluar kamar, lalu ia berjalan menuju pintu. Tidak sadar jika Om Bram ada di belakangnya sampai Om Bram memanggil namanya.
"Reihan ..."
Reihan menengok dan mendapati Om Bram mengajaknya duduk di kursi tunggu yang berada di luar kamar. Menepuk tangan di kursi sebelahnya, mempersilakannya duduk di sana. "Boleh kita bicara sebentar?"
"Boleh, Om. Ada apa, ya?"
"Kamu lagi sibuk? Sudah mulai peneletian buat skripsi?"
"Iya Om. Ada beberapa yang memang harus cepat dikerjakan, mudah-mudahan hasilnya memuaskan. Mohon doanya, ya, Om."
"Pasti. Saya senang sama anak muda yang punya semangat belajar tinggi."
"Terima kasih, Om."
Om Bram menarik nafas dalam sebelum berbicara lagi. Seperti ada beban yang coba ia lepaskan. Dan Reihan sepertinya menyadari itu. Hatinya tahu kemana arah pembicaraan ini.
Perasaannya tidak karuan mengetahui akhirnya waktu ini akan tiba juga. Waktu yang ia ulur terus menerus.
"Kamu sayang sama Jessi?"
"Sayang Om, sayang banget."
"Kamu tahu kan kita ini berbeda. Jadi, mau dibawa kemana sebenarnya hubungan ini menurut kamu?"
"Saya tidak bisa membiarkan Jessi jauh dari orang tua yang dari kecil menyayanginya, Om. Saya jamin Jessi tidak akan keluar dari apa yang diyakininya selama ini." Ada helaan nafas panjang, ada suara yang bergetar. Reihan tahu ini keputusan sulit. Tapi akan lebih sulit lagi jika ia terus menunda untuk jujur.
"Maksudnya? Kamu akan ikut dengan kami?" Pertanyaan yang sama sekali tidak pernah terbersit dalam pikiran Reihan. Tidak pernah sekalipun terlintas dalam hatinya untuk berpindah.
"Saya akan tetap dengan yang saya peluk juga. Mohon maaf, saya gak bisa, Om. Saya tidak akan berubah."
Reihan akui jika ia bukan hamba yang teramat taat. Ia akui jika dosanya masih bertebaran bagai debu tetapi untuk beralih, rasanya tidak akan pernah. Tidak ada sama sekali niatan untuk meninggalkan agama yang selama ini ia yakini.
Om Bram terlihat terharu dengan jawaban Reihan. Matanya basah, tidak terbendung lagi bulir air jatuh ke pipinya. Ia tidak menyangka akan membicarakan hal ini dengan anak muda yang bahkan belum lulus kuliah, Om Bram ingin memuji Reihan.
"Reihan ... kamu anak baik. Ayah dan ibu kamu sudah berhasil mendidik kamu dengan baik."
"Reihan, semenjak kenal dengan kamu, Jessi jadi sering tersenyum, lebih banyak bicara. Om tahu dulu Deo memperlakukan Jessi tidak baik tapi Jessi selalu menutupinya. Jessi membangun tembok untuk dirinya."
"Reihan, terima kasih karena sudah mengikis tembok itu. Kalau kita seiman, saya pasti dengan senang hati melepas anak saya pada kamu."
Dada Reihan seperti dibebani oleh berton-ton batu. Sesak sekali bahkan untuk mengambil satu tarikan nafas.
"Reihan.. Jessi tidak akan pergi dari kamu kalau kamu tidak meninggalkannya terlebih dahulu."
"Iya, Om. Mohon beri saya waktu sedikit lagi."
"Sampai kapan?"
"Setelah kami nanti wisuda, Om."
Om Bram menepuk-nepuk bahu Reihan. Seakan memberi pujian untuk keberaniannya mengambil keputusan. Bukan hal mudah meninggalkan orang yang kita sayangi.
"Ya, silakan kamu pulang dulu. Sampaikan salam untuk orang tuamu. Mereka pasti bangga punya anak seperti kamu."
Reihan mengangguk ragu. Om Bram sudah bangkit dari kursi untuk kembali masuk ke dalam kamar rawat inap Jessi. Reihan masih tergugu disitu, masih mencerna satu per satu hasil pembicaraan dengan Om Bram tadi. Ia tertunduk lesu atas keputusan yang diambilnya. Hatinya berkecamuk, apakah bisa ia menepati janjinya untuk meninggalkan Jessica setelah wisuda nanti? Bagaimana nanti Jessica setelah ia pergi? Bagaimana dengan hatinya saat melenggang jauh meninggalkan seseorang yang sangat ia kasihi?
Reihan bangkit berdiri dan melangkah gontai menuju ke parkiran. Ia tidak akan pulang ke rumah, apartemen Jayden yang menjadi tujuannya.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Au Revoir [END]
Novela JuvenilAu Revoir Blurb Reihan pernah merasakan sakitnya dikhianati. Jadi, dalam waktu yang lama ia enggan untuk membuka hati. Jessica tidak pernah tahu bahwa ada bentuk lain dari cinta, karena selama ini ia hidup dalam belenggu yang memenjara jiwanya. ...